Simak Penjelasan Ahli Hukum Berikut Agar Yayasan Tak Melanggar Hukum
Berita

Simak Penjelasan Ahli Hukum Berikut Agar Yayasan Tak Melanggar Hukum

Dalam rangka menghindari pemidanaan dengan regulasi Yayasan, Pencucian Uang, dan bantuan Terorisme internasional.

Oleh:
NEE
Bacaan 2 Menit
Foto: NEE
Foto: NEE
Belajar dari kasus Yayasan Keadilan Untuk Semua (KUS) yang tengah menghadapi kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang tentang Yayasan, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, bahkan diduga menyalurkan bantuan untuk terorisme internasional, kepatuhan para pengurus yayasan pada regulasi terkait mekanisme kerja dan penggunaan dana yayasan perlu untuk diperhatikan kembali. Pasalnya, bisa menghadapi ancaman pidana serius jika terbukti bersalah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang.

Yang sering terjadi adalah seringkali dana yayasan digunakan untuk menggaji para Pengurus, Pembina, dan Pengawas. Padahal, berdasarkan UU No.16 Tahun 2001 jo.UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan, hal tersebut jelas dilarang. Masalah lainnya adalah soal sumber pengumpulan dana oleh yayasan dan penyalurannya. (Baca Juga: Revisi UU Geser Model Penanganan Terorisme)

Belakangan ini, Kepolisian tampak sedang memeriksa kemungkinan dana kemanusiaan yang dikelola oleh yayasan disalurkan untuk mendukung jaringan teroris internasional. Pengumpulan dana yayasan pun dicurigai dapat menjadi sarana tindak pidana pencucian uang. Lalu bagaimana seharusnya yayasan bekerja? (Baca juga: Menko Polhukam: UU Pemberantasan Terorisme Merupakan Senjata Aparat)

Yetty Komalasari Dewi, Dosen FH UI yang mendalami mengenai hukum Yayasan, berpendapat perlu disadari bahwa sejak awal yayasan didefinisikan sebagai badan hukum yang terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan penggunaannya untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

“Yayasan itu sebenarnya konsepnya sama dengan yang dikenal Islam dengan wakaf, tidak ada kepemilikan, sepenuhnya (kekayaan) untuk masyarakat yang berkepentingan dari tujuan yayasan,” jelasnya.

Sebuah yayasan diatur oleh UU Yayasan tidak dapat memiliki anggota, namun memiliki organ Pengurus, Pengawas, dan Pembina. Orang-orang yang mengisi posisi tersebut sepenuhnya bekerja secara sukarela tanpa imbalan apapun. Oleh karena itu, sejak awal harus disadari bahwa menjadi pengelola yayasan bukanlah sebuah pekerjaan mencari penghasilan.

“Kalau misalnya mau menjadi pengurus yayasan semestinya memang sudah financially funded, bukan mencari uang dari yayasannya,” kata Yetty.

Hal tersebut memang ditegaskan dalam Pasal 5 UU Yayasan. Sanksi pidananya, jika melanggar adalah maksimal penjara 5 tahun ditambah kewajiban mengembalikan semua kekayaan yayasan yang diambil. Satu-satunya pengecualian untuk menggunakan dana yayasan bagi honorarium adalah bagi profesional di luar organ yayasan yang disewa jasanya untuk keperluan yayasan.

“Kalau organ yang memang internal yayasan itu tidak boleh digaji, yang boleh itu adalah profesional,” ujar Yetty.

Ada celah hukum yang sering digunakan oleh pengurus yayasan dengan membentuk Pengurus Harian Yayasan. Namun menurut Yetty, praktik ini pun bermasalah karena pada dasarnya jika terlibat mengelola yayasan secara rutin pada dasarnya adalah bagian dari pengurus yayasan yang dilarang untuk mendapat imbalan apapun dari yayasan. Bagi Yetty, profesional yang dimaksud hanyalah untuk keperluan tertentu seperti jasa akuntan publik untuk mengaudit keuangan yayasan.

Terkait penerimaan dana oleh yayasan, Yetty menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban yayasan untuk membuktikan bahwa sumber dana sumbangan yang diterimanya sah secara hukum ataupun tidak.

“Lho yayasan itu tidak seperti bank, tidak profit oriented, penyaluran dana ke yayasan semata-mata dengan trust (penyumbang),” ujarnya.

Menurutnya, Pasal 26 UU Yayasan telah jelas menyatakan bahwa kekayaan yayasan itu berasal dari sumbangan, tidak diatur harus ada kejelasan identitas dan sumbernya sehingga hal itu diperbolehkan.

Yunus Hussein, mantan Kepala PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) berpendapat, pengurus yayasan tetap harus berupaya mewaspadai kemungkinan pencucian uang. “Kalau ada orang menyumbang, harus jelas siapa penyumbangnya, lalu dibuatlah pernyataan kalau perlu yang tercetak, dalam kwitansi, bahwa sumbangannya bukan berasal dari tindak pidana dan bukan juga tujuan pencucian uang,” kata Yunus.

Mengenai upaya mewaspadai agar sumbangan tidak disalahgunakan untuk penerima yang salah seperti jaringan teroris internasional, Yunus mengingatkan Pasal 4 UU No.9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Ia mengatakan jika dalam pencucian uang yang jadi masalah adalah sumber dananya, maka dalam pendanaan terorisme yang menjadi poin adalah siapa penerimanya meskipun sumbernya halal secara hukum.

“Kalau menyumbang, jelas kepada siapa, kalau anda ragu-ragu mendingan kepada lembaga internasional yang sudah dikenal, nanti terserah dia mau memberikan kemana,” ujarnya.

Sementara itu, ahli hukum UI tentang terorisme yang juga aktivis HAM, Heru Susetyo, mengingatkan bahwa kemungkinan yayasan melanggar hukum perlu dihindari dengan kesadaran pengurusnya agar selalu menjaga akuntabilitas pengelolaan dana oleh yayasan sesuai tujuannya, menjaga profesionalisme, interaktif, dan transparan kepada para donatur.

“Kasus kriminalisasi bantuan kemanusiaan karena dugaan membantu teroris ini soal politik, bukan soal hukum, akhirnya susah menyalurkan bantuan kemanusiaan. Tidak ada perlindungan khusus untuk lembaga kemanusiaan, (karena)soal kemauan politik, bukan ranah hukum,” kata Heru untuk mengingatkan para pengelola yayasan agar terhindar dari kriminalisasi.

Tags:

Berita Terkait