Di Hadapan Negara G-20, Indonesia Tegaskan Komitmen Ikut AEoI dan Prinsip BEPS
Berita

Di Hadapan Negara G-20, Indonesia Tegaskan Komitmen Ikut AEoI dan Prinsip BEPS

Pemerintah meyakinkan Negara anggota G-20 bahwa Indonesia Layak Ikut dalam program AEoI. Sebab, bila Global Forum menilai Indonesia tidak layak ikut program ini, maka Indonesia akan mengalami kerugian karena kesepakatan global ini bersifat resiprokal.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Pemerintah Indonesia dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 di Baden-Baden, Jerman pada 17-18 Maret 2017 kemarin menegaskan pentingnya komitmen perpajakan internasional guna mengatasi penghindaran pajak.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Indonesia sangat membutuhkan kerjasama perpakajakan internasional untuk mengatasi penghindaran pajak. Dari pengalaman Indonesia melaksanakan program pengampunan pajak (Tax Amnesty) misalnya, diketahui banyak wajib pajak Indonesia yang selama ini tidak mendeklarasikan aset dan pendapatan yang disimpan di luar negeri.

“Kerjasama pertukaran informasi penting bagi tercapainya aturan dan implementasi perpajakan yang adil antar negara. Tidak ada lagi tempat aman untuk para penghindar pajak di dunia,” kata Ani, sapaan Sri Mulyani, dalam keterangan tertulisnya pada Minggu (19/3).

Lebih lanjut, kata Ani, pengalaman Indonesia dalam melaksanakan program tax amnesty ternyata dimana hasilnya menunjukkan bahwa aset yang dideklarasikan sangat besar sementara aset yang direpatriasi masih relatif kecil. Indonesia memandang negara anggota G-20 harus bekerja bersama-sama untuk mewujudkan program kerja sama perpajakan internasional yang kuat dan transparan, namun tetap memperhatikan keadilan dan kesiapan seluruh negara yang ingin ikut berpartisipasi di dalamnya.

(Baca Ulasan Penting tentag Persiapan Indonesia Jelang AEoI: Regulasi yang Harus Dipersiapkan Jelang Implementasi Automatic Exchange of Information)

Ani menekankan, jangan sampai negara yang ingin bergabung dalam program Automatic Exchange of Information (AEoI) dan pelaksanaan prinsip penghindaran Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) kemudian menjadi korban dari program itu sendiri akibat ketidakmampuan negara tersebut menyiapkan diri. Indonesia berharap dengan implementasi program kerjasama tersebut, maka tidak ada lagi ‘loophole’ bagi praktek-praktek penghindaran pajak internasional serta tidak ada lagi negara yang menggunakan perbedaan sistem pajak untuk melakukan inovasi instrumen keuangan yang bertolak belakang dengan semangat BEPS dan AEOI.

“Indonesia sebagai negara anggota G-20 siap berpartisipasi dalam implementasi kerjasama pertukaran informasi perpajakan otomatis (AEoI) dan pelaksanaan prinsip BEPS secara menyeluruh dan efektif. Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negera G-20 juga secara bulat menyepakati agar program AEOI dan BEPS sepenuhnya diimplementasi mulai bulan September 2017 dan selambat-lambatnya pada bulan September 2018,” papar Ani.

Sebelumnya, Direktur Perpajakan Internasional pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan perlu ada tambahan regulasi agar Indonesia dianggap layak mengikuti era keterbukaan informasi. Sebagai salah anggota dari Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose, Indonesia diwajibkan memenuhi regulasi domestik paling lambat 30 Juni 2017.

“Kita perlu ada tambahan aturan untuk lebih menguatkan semua itu,” kata John kepada hukumonline di Jumat (03/3) yang lalu.

John menambahkan, jika tak memenuhi persyaratan hingga akhir Juni 2017, Indonesia harus menerima konsekuensi ditetapkan sebagai negara dengan status fail to meet its commitment. DJP sendiri saat ini fokus menyelesaikan sejumlah regulasi yang dinilai menghambat implementasi keterbukaan informasi yang berkaitan dengan upaya pembukaan data nasabah untuk kepentingan pajak. (Baca Juga: Kebut Revisi UU Demi Mengejar Implementasi Automatic Exchange of Information)

Misalnya, revisi UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU KUP). Salah satu substansi dalam UU KUP dinilai menghambat otoritas pajak karena hanya memiliki akses informasi perbankan yang terbatas.

“DJP diberikan power penuh untuk mengakses data atau informasi keuangan milik nasabah. Ini standar internasional, bukan untuk DJP saja. Katakan, (misalnya) Singapura juga begitu, ini dalam rangka menjalankan AEoI. Indonesia ini harus memenuhi standar minimum, kalau tidak, kami tidak diikutkan (dalam AEoI),” jelas John.

Pasal 35 UU KUP mengatur otoritas dimungkinkan untuk dapat mengakses data perbankan selama ada permintaan dari Menteri Keuangan sepanjang wajib pajak (WP) sedang dalam pemeriksaan, penyidikan atau penagihan. Artinya, jika wajib pajak tidak dalam pemeriksaan, penyidikan, atau penagihan, otoritas pajak tidak dapat mengakses data perbankan WP. (Baca Juga: Penuhi Syarat Automatic Exchange of Information Lewat Revisi KUP)

Sebetulnya, DJP telah menerbitkan regulasi untuk mengatasi hambatan itu, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.010/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PMK No. 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi. Pasal 3A Angka 7 aturan tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pertukaran informasi secara otomatis, nasabah secara sukarela memberikan persetujuan/ pernyataan/ surat kuasa/ instruksi tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk memberikan informasi kepada DJP melalui otoritas terkait.

“Jadi kita sekarang sedang fokus mem-follow up penyelesaian UU KUP. Sekarang sudah sampai di DPR. Ini akan kita jadikan lex specialis, nanti itu akan mengatur mengenai pelaksanaan keterbukaan informasi,” tambah John.

Tak hanya UU KUP, John menilai ada peraturan lain yang dinilai menghambat implementasi AEoI terkait aspek kerahasiaan perbankan, antara lain UU No. 10 Tahun 1998  tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, lalu UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan UU No. 21 Tahun 2008  tentang Perbankan Syariah. Misalnya, Pasal 44A UU Perbankan mengatur akses terhadap data perbankan dapat dilakukan selama ada permintaan tertulis dari Menkeu dengan mencantumkan nama pejabat pajak, nama dan nomor rekening nasabah, maupun alasan permintaan.

Sebagai solusinya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 4 Desember 2015 menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 25/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Melalui aturan ini, LJK wajib menyampaikan laporan kepada otoritas pajak berupa informasi nasabah asing terkait perpajakan untuk diteruskan kepada otoritas negara mitra atau yurisdiksi mitra. (Baca Juga: Kata OJK Soal Rencana Penghapusan Prinsip Kerahasiaan Perbankan)

“Dari pihak perbankan sudah mengatakan, pada waktu dia (nasabah) isi formulir baik di bank, asuransi, pasar modal, atau perusahaan jasa keuangan lainnya. Mereka (nasabah) membuat pernyataan bahwa data mereka siap untuk di pertukarkan atau dibuka untuk tujuan misalnya yang diminta pemerintah,” kata John.

Dikatakan John, selain melakukan revisi atas empat undang-undang diatas, ada opsi dari pemerintah untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai payung hukum. Sejauh ini, Perppunya masih dibahas. Fokusnya mengatur penerapan AEoI terkait nasabah khusus Warga Negara Asing (WNA). Lantas apakah era AEoI ini tidak berlaku buat Warga Negara Indonesia (WNI)?

John menjelaskan, AEoI memang hanya untuk nasabah asing. Sementara, untuk keterbukaan informasi nasabah domestik, akan dibuat regulasi tersendiri yakni mengenai BEPS. Aturan itu masih dalam tahap perancangan regulasi. Mengenai waktu terbitnya, John belum bisa menceritakan. Namun yang pasti, aturan itu disebut-sebut akan terbit dalam waktu yang tidak begitu lama lagi.

“Jadi jangan kita membuat celah sehingga kita tidak diikutkan. Semua masyarakat harus mendukung. Kita perlu ini (AEoI), supaya program-program pemerintah seperti Nawacita, Infrastruktur, bisa dibiayai oleh rakyatknya sendiri. karena kapasitas pajak kita besar sekali apalagi dengan adanya keterbukaan, semuanya menjadi kelihatan,” tutup John.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR, Andreas Eddy Susetyo mengatakan Indonesia jika dinilai dari segi ketersediaan informasi, akses terhadap informasi, serta mekanisme pertukaran informasi mendapat rating “partially compliant”. Penilaian itu berangkat dari temuan Global Forum dimana otoritas pajak Indonesia hanya memiliki akses informasi perbankan yang terbatas.

“Di Indonesia ada undang-undang yang dianggap akses informasi itu tidak bisa berjalan secara otomatis. Artinya, kalau kita ingin meminta data nasabah kita yang ada di luar negeri, itu mereka bisa menolak permintaan kita. Padahal kepentingan kita yang jauh lebih besar daripada mereka,” kata Eddy.

Eddy menambahkan, pertemuan G-20 pada Juli 2017, OECD akan memberikan daftar negara-negara yang dianggap tidak koperatif (non-cooperative jurisdiction) yang mana dinilai dari tiga kriteria. Pertama, negara tersebut mendapat rating partially compliant maupun non-compliant saat peer review assessment. Di sini, dari kriteria itu Indonesia ditetapkan sebagai negara yang tidak kooperatif.

Kriteria kedua adalah tidak berkomitmen mengimplementasikan AEoI berdasarkan format Common Reporting Standard (CRS) paling lambat tahun 2018. Di sini, Indonesia telah berkomitmen di tahun 2018, hanya saja belum memiliki pedoman dan implementasi CRS. Kriteria ketiga, negara harus menandatangai Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC). Indonesia sendiri untungnya telah meratifikasi konvensi tersebut.

“Saya lihat, Indonesia harus bisa memenuhi ketentuan internasional tersebut supaya bisa dianggap sebagai negara kooperatif. Bukan hanya KUP, Bank, Perbankan Syariah, dan Pasar Modal. sehingga bisa secara regular bisa serahkan informasinya,” kata Eddy.

Pemerintah Minta Indonesia Jadi Anggota FATF
Dalam pertemuan itu, Menkeu juga menyampaikan keinginan Indonesia menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF) dan meminta dukungan penuh dari negara-negara anggota G-20. Ani mengatakan bahwa keberadaan Indonesia sebagai anggota FATF akan memberikan kontribusi besar kepada dunia dalam pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme, mengingat Indonesia merupakan negara strategis dengan sistem keuangan yang terbuka.

“Manfaat terhadap domestik juga sangat besar di mana Indonesia dapat mempersiapkan regulasi terkait AML/CFT sejalan dengan standar internasional, dan juga dapat secara aktif berperan dalam membangun standar global terkait AML/CFT,” sebut Ani.

Dalam pertemuan ini, Menkeu melakukan beberapa pertemuan bilateral dengan negara G-20 lain, seperti Perancis, Australia, China dan Kanada serta Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk meminta dukungan terkait implementasi AEOI dan keanggotaan di FATF. Agenda utama yang dibahas adalah Indonesia meminta dukungan negara negara dan OI tersebut untuk implementasi AEOI dan keanggotaan Indonesia di FATF.

“Hasil dari negosiasi bilateral tersebut menunjukkan hasil yang positif di mana negara negara dan OI yang ditemui mendukung sepenuhnya keinginan Indonesia tersebut,” sebut Ani.

Keinginan agar Indonesia bisa bergabung dalam FATF juga pernah disampaikan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin saat menyampaikan agenda kerja sepanjang tahun 2017, awal Januari 2017 yang lalu. Pada kesempatan itu, Kiagus mengatakan bahwa PPATK ingin meningkatkan posisi PPATK dalam fora internasional sebagai lembaga intelijen keuangan. (Baca Juga: 12 Fokus Kerja PPATK Tahun 2017)

“Di Tahun 2017 PPATK berusaha agar dapat diterima menjadi anggota Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF),” kata Kiagus, Senin (9/1).

Kaigus menambahkan, lahirnya PPATK sejak tahun 2002 tidak lepas dari Rekomendasi FATF yang menyatakan perlunya setiap negara memiliki Unit Intelijen Keuangan yang memiliki fungsi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme. Hingga saat ini, lanjutnya, PPATK aktif dalam berbagai forum internasional yang diselenggarakan oleh FATF, Asia Pacific Groups on Money Laundering (APG), maupun Egmont Group sebagai wadah Unit Intelijen Keuangan di seluruh dunia.

“Dalam berbagai kesempatan, PPATK meraih Best Egmont Case Award sebagai bentuk partisipasi aktif dan konstruktif PPATK dalam forum-forum internasional,” katanya.

Selain itu, PPATK juga aktif dalam berbagai forum regional, yang ditandai dengan dipilihnya Wakil Kepala PPATK sebagai co-chair subgroup ASEAN on AML/CFT serta co-chair Regional Risk Assessment ASEAN & Australia. PPATK bersama dengan Australian Transaction Report and Analysis Centre (AUSTRAC) juga sukses menyelenggarakan Counter-Terrorism Financing Summit (CTF Summit) sebagai forum regional pertama yang bertujuan untuk optimalisasi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme di kawasan Asia Pasifik.

Pasca CTF Summit yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali Tahun 2016, peran PPATK semakin mengalami peningkatan dalam berbagai forum regional maupun internasional yang terkait dengan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Berbagai bukti yang menunjukan penguatan peran PPATK di forum dan organisasi internasional serta regional antara lain: Pembentukan Financial Intelligence Consultative Group (FICG), sebagai solusi regional Asia Tenggara dan Australia untuk meningkatkan kualitas pertukaran informasi antar Unit Intelijen Keuangan.

Salah satu capaian besar lain yang dicapai PPATK dalam CTF Summit bersama FIU kawasan Asia Tenggara dan Australia juga berhasil menyusun Regional Risk Assessment on Terrorist Financing (RRA-TF). RRA-TF merupakan penilaian risiko pendanaan terorisme pertama di kawasan Asia Tenggara dan Australia. Penilaian risiko di kawasan Asia Tenggara dan Australia ini juga merupakan yang pertama kali diselenggarakan di dunia internasional.

“Melalui RRA, dapat diketahui kerentanan, ancaman dan dampak dari pendanaan terorisme di kawasan regional periode 2013 s.d. 2015. Penilaian tersebut mengacu pada standar FATF, dan bersumber pada National Risk Assesment (NRA) masing-masing negara untuk memperoleh nilai rata-rata di kawasan regional,” tutup Kiagus.
Tags:

Berita Terkait