Mempersoalkan Isu HAM dan Lingkungan di Tengah Dorongan Investasi Industri Minerba
Meneropong Bisnis Tambang Pasca PP Minerba

Mempersoalkan Isu HAM dan Lingkungan di Tengah Dorongan Investasi Industri Minerba

Mendorong investasi di sektor minerba mestinya juga memenuhi aspek penting lainnya, yakni tanpa pelanggaran terhadap HAM, tanpa membuat limbah yang merusak lingkungan, dan memilah skema pembiayaan yang ramah lingkungan. Sebab, melanggar satu atau seluruhnya berarti melaggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Dua tahun silam, pemerintah menetapkan pedoman perencanaan dan pembangunan industri. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 yang disahkan 6 Maret 2015 lalu, memuat agenda penting jangka panjang dimana salah satu tujuannya adalah menjadikan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional.

Belasan strategi ditetapkan, diantaranya ditempuh dengan cara mengembangkan industri hulu dan industri antara berbasis Sumber Daya Alam (SDA), melakukan pengendalian ekspor bahan mentah dan sumber energi, dan pembangunan sarana dan prasarana industri. Semua itu dilakukan agar tujuh sasaran pembangunan industri, salah satunya peningkatan pertumbuhan industri mencapai 2 digit tahun 2035 dan kontribusi industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 30% dapat tercapai.

Sayangnya, menurut Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika pada Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan, kapasitas industri tambang di Indonesia masih tergolong kecil. Secara kuantitas saja misalnya, perusahaan yang tercatat bermain di industri ini baru 140 perusahaan. Total pekerja yang terserap dari ratusan perusahaan itu juga dikisaran 31.000 pekerja dan nilai investasi yang masuk di angka Rp34,59 triliun.

“Indonesia masih sangat terbatas. Kebanyakan industri small dan medium. Industri besar dan sedangnya bisa dihitung,” kata Putu. (Baca Juga: Mencermati Konstitusionalitas Kebijakan Hilirisasi Mineral)

Putu menambahkan, Kemenperin mendapat tiga amanat untuk mengembangkan industri ini sebagaimana ditetapkan dalam RIPIN 2015-2035. Pertama, meningkatkan nilai tambah dari sumber-sumber daya yang dimiliki misalnya dengan cara melakukan pengolahan agar memperoleh nilai tambah. Ambil contoh misalnya, kata Putu, bijih nikel akan dihargai sangat rendah ketika tidak dilakukan pengolahan pasca digali sama sekali. Harga per ton bijih nikel mentah itu cuma dihargai 20 dollar.

Beda halnya, jika bijih nikel itu diolah dan diproses menjadi logam yang paling rendah, misalnya menjadi Nickel Pig Iron (NPI). Harta per ton NPI itu dihargai kisaran 2,000 – 3,000 dollar. Apalagi, bila NPI itu diproses kembali hingga menjadi stainless steel, maka harga per ton itu bisa terdongkrak dan berada di kisaran 9,000 – 10,000 dollar. Amanat yang kedua, adalah peningkatan kemampuan industri. Ada banyak sumber untuk bisa meningkatkan nilai tambah.

Lantas, pertanyaanya apa sumber daya sudah cukup? Menurut Putu, industri masih banyak mengandalkan tenaga asing dalam rangka meningkatkan nilai tambah sumber daya tersebut. Selain karena persoalan minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) asal Indonesia, persoalan keterbatasan tekonologi juga menjadi isu lanjutan dalam rangka melakukan upaya peningkatan nilai tambah sumber daya tersebut. Alhasil, banyak perusahaan asing beserta SDM nya masuk untuk mengolah industri logam dalam negeri. (Baca Juga: Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia)

“Kita harus dorong investasi yang masuk di bidang pertambangan itu adalah investasi yang juga mempunyai teknologi pengolahan,” kata Putu.

Hukumonline.com

Lebih lanjut, Putu juga mendorong agar upaya menarik perhatian investor itu juga diikuti dengan pemilahan perusahaan asing yang masuk terutama ke industri tambang apakah dari segi teknologi sudah memiliki kemampuan untuk melakukan pengolahan hasil tambangnya. Sebab, bila perusahaan itu masuk lantaran hanya ingin menambang tanpa melakukan pengolahan dalam arti mereka hanya menambang dan menjualnya dalam bentuk mentah, hal itu turut berdampak pada upaya pemerintah mempercepat kapasitas industri dalam negeri.

“Jadi jangan sampai nanti di BKPM mengharapkan investasi bidang peningkatan dari hasil tambang, tapi pada saat yang sama, BKPM juga mengundang para penambang yang tidak mempunyai teknologi untuk mengolah,” sebut Putu.

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Farah Ratnadewi Indriani, pada kesempatan yang sama, mengatakan bahwa BKPM fokus menarik investor di sejumlah sektor prioritas untuk masuk ke Indonesia. Namun, BKPM tetap memperhatikan keseimbangan antara jumlah perusahaan dalam negeri dengan perusahaan asing. (Baca Juga: Regulasi Labil Berdampak Pada Iklim Investasi Pertambangan)

“Tentunya investor itukan melihat dia akan datang kalau peluang investasinya ada. kedua, apakah memang dia, ada daftar DNI (Daftar Negatif Investasi,-red) ada yang bisa masuk, ada yang bisa dengan persyaratan, ada yang UKM, kemitraan, ada yang memang tertutup untuk asing dan dalam negeri,” jelas Farah.

Farah menegaskan, bahwa investasi merupakan salah satu tumpuan pertumbuhan ekonomi atau bagaimana kita mempertahankan pertumbuhan ekonomi kita. Apabila investor akan masuk ke suatu negara melakukan investasi, tentu mereka melihat kondisi perekonomian di negara yang bersangkutan. Untungnya, survey Bank Dunia terbaru menetapkan Indonesia berada di peringkat 91 karena Indonesia dianggap sebagai negara yang memberikan kemudahan berusaha bagi para investor.

“Untuk mempertahankan dan mencapai realisasi investasi, BKPM lihat industri logam, kimia dasar, barang kimia, masih jadi sektor yang dituju investor. Kedua pertambangan. Jadi 5 besar dari sektor yang diminati masih di industri. Jadi kita sebagian besar investor masih di sektor industri,” kata Farah.

Hukumonline.com

Industri Minerba Pasca PP No.1 Tahun 2017
Konstitusi mengamanatkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan minerba tentunya harus memberikan nilai tambah yang signifikan bagi pendapatan negara untuk selanjutnya dipergunakan bagi kesejahteraan masyarakat.

UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai payung hukum dalam pengelolaan minerba mensyaratkan bahwa pengelolaan minerba harus memberikan nilai tambah ekonomi bagi negara, pengelolaan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat setempat. Sebagai pedoman teknisnya, pemerintah menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Diterbitkannya PP Nomor 1 Tahun 2017 diperlukan agar UU Nomor 4 Tahun 2009 dapat ditegakkan dan pemerintah dapat mengatur secara tegas pengelolaan minerba yang memberikan manfaat yang lebih besar bagi negara, yakni peningkatan penerimaan negara, terciptanya lapangan kerja bagi Rakyat Indonesia, manfaat yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, iklim investasi yang kondusif, hingga divestasi hingga mencapai 51%.

Dari revisi keempat itu, sebetulnya terdapat empat ketentuan yang diubah, yakni yang berkaitan dengan perpanjangan izin usaha pertambangan, penjualan mineral dan batubara, kewajiban divestasi, dan kewajiban pemurnian dan penjualan konsentrat mineral ke luar negeri. Menariknya, dua dari empat poin ketentuan yang direvisi itu, yakni penjualan mineral dan batubara serta kewajiban pemurnian dan penjualan konsentrat mineral ke luar negeri bersinggungan langsung dengan tiga isu seksi, yakni aspek pemenuhan terhadap HAM, pengolahan limbah, dan keuangan berkelanjutan.

Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Siti Noor Laila, pada kesempatan sebelumnya mengatakan bahwa masih ada banyak pelanggaran yang bersinggungan dengan isu HAM yang dilakukan perusahaan tambang, salah satunya Freeport. dalam konteks ini, Komnas HAM menilai Freeport, Pertama, tidak pernah melibatkan suku asli Papua, yakni Amungme-Kamoro dalam hal penguasaan lahan. Kedua, kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri saat masyarakat Papua menggelar aksi. Dan yang ketiga, soal lingkungan hidup dan ketenagakerjaan Freeport.

“PTFI (Freeport) dilaporkan karena ada 28 pekerja yang tewas dan 10 lainnya luka-luka serta ada pemberangusan serikat buruh disana,” kata Siti akhir Februari kemarin di Jakarta.

Siti melanjutkan, dalam laporannya kepada Presiden, Komnas HAM memberi rekomendasi yang salah satunya adalah meminta agar pemerintah melakukan audit keseluruhan aspek baik bisnis, HAM, ataupun aspek lingkungan kepada Freeport agar temuan-temuan serta laporan yang disampaikan sejumlah pihak kepada Komnas HAM bisa teruji secara data dan fakta.

Tak hanya bagi Freeport, Komnas HAM, sebut Siti, juga mendorong pemerintah agar ikut bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan Freeport lantaran pemerintah dianggap membiarkan Freeport terus menerus tanpa menegur atau memberikan peringatan apapun. Sebagai informasi, FCX dan Freeport tegas menyatakan bahwa mereka berpartisipasi dalam voluntary principles on security dan human rights dimana mereka juga mengklaim berkomitmen terhadap pelaskaan HAM.

“Pemerintah harus kukuh gunakan konstitusi sebagai alat bargaining dengan Freeport,” tutup Siti.

Aktivis Jatam, Siti Maimunah, mengatakan bahwa Freeport punya segudang masalah mengenai pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah tailing langsung ke sungai Ajkwa tanpa diolah terlebih dahulu. “Freeport bikin sungai tercemar. (Bahkan) pemerintah papua sebut ada lima sungai yang rusak,” kata Siti.

Fakta itu, kata Siti, dikuatkan oleh pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya sekira Februari 2015 lalu. Waktu itu, Menteri Siti mengungkapkan bahwa audit lingkungan Freeport dilakukan terakhir kali tahun 1990. Setelah itu, audit lingkungan memang sudah tidak dikenal dan berganti isitlah menjadi pengawasan tahunan. Pemeriksaan itu rutin namun yang terakhir dilakukan tahun 2011 lantaran alasan keamanan menyangkut orang yang melakukan pengawasan ke lokasi secara langsung.

Ironisnya, Freeport sendiri saat itu berdalih telah melakukan pengolahan limbah yang didasarkan pada Keputusan Menteri LHK No.55/MENLH/12/1997. Waktu itu, Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama menanggapi hal tersebut dan menyebutkan bahwa pemerintah terus melakukan inspeksi secara berkala mengenai pengelolaan limbah yang dilakukan Freeport. Sehingga, Riza memastikan bahwa Freeport tidak melanggar aturan terkait pengelolaan limbah.

Lantas apa kaitannya dengan isu keuangan berkelanjutan?Pemerintah terus berupaya mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri. Pembangunan smelter penting bagi semua perusahaan tambang. Sejak 12 Januari 2014, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor. Larangan ekspor mineral mentah itu amanat UU No.4 Tahun 2009. Undang-undang ini mewajibkan semua perusahaan tambang membangun smelter agar memiliki efek pengganda bagi pembangunan.

Direktur Bidang Sustainable Finance pada Grup Dukungan Strategis Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Edi Setijawan mengatakan bahwa regulator terus mendorong lembaga jasa keuangan agar melalukan uji tuntas (due diligence) tambahan sebelum mengucurkan kreditnya terhadap perusahaan yang bergerak di sektor non-green project. Langkah ini menjadi perhatian regulator pasca digagasnya peta jalan keuangan berkelanjutan (sustainable finance) Desember 2014 lalu.

“Kalau mereka (perusahaan) dapat proper yang dikeluarkan KLHK merah, itu bank ngga akan ambil. Bank-bank sudah mulai peduli sejak kita meng-annouce kebijakan sustainable finance mereka sudah (berdasarkan pemantauan OJK) memperhatikan banget. Kalau proper merah mereka ngga akan kasih, apalagi hitam,” kata Edi saat diwawancarai hukumonline.

Kriteria penilaian proper oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terdiri dari dua kategori, yaitu kriteria penilaian ketaatan dan kriteria penilaian lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance). Kriteria penilaian ketaatan menjawab pertanyaan sederhana apakah perusahaan sudah taat terhadap peraturan pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan yang digunakan sebagai dasar penilaian saat ini adalah peraturan yang berkaitan dengan persyaratan dokumen lingkungan dan pelaporannya berupa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dokumen pengelolaan dan pemantauan kualitas lingkungan ((UKL/UPL).

Lalu, peraturan mengenai pengendalian mengenai pencemaran air yang dimana air limbah yang dibuang ke lingkungan harus melalui titik penaatan yang telah ditetapkan. Pada titik penaatan tersebut berlaku baku mutu kualitas air limbah yang diizinkan untuk dibuang ke lingkungan. Selanjutnya, mengenai pencemaran udara, pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan aspek regulasi lainnya. Teknisnya, proper diawali dengan pemilihan perusahaan peserta, di mana perusahaan yangmenjadi target peserta PROPER adalah perusahaan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, tercatat di pasar bursa, mempunyai produk yang beorientasi ekspor atau digunakan oleh masyarakat luas.

“AMDAL sendiri dipikir orang sebagai KTP. Kalau sudah dikasih AMDAL berarti ramah lingkungan. Padahal tidak, AMDAL itu janji bahwa kalau perusahaan dikasih proyek itu akan lakukan A, B, C, D, F dan lapor ke LHK. Ini juga kita dorong ke lembaga jasa keuangan, agar saat lihat AMDAL tidak hanya ada AMDAL nya valid tidak, itu up to date atau tidak,” kata Edi.
Tags:

Berita Terkait