Sejumlah Masukan Peneliti Terkait Revisi UU Migas
Berita

Sejumlah Masukan Peneliti Terkait Revisi UU Migas

Merujuk pada UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, Migas dilihat sebagai modal dasar pembangunan negara.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Keterangan Foto: Berurutaan dari Kanan, Anggota Dewan Energi Nasional, Andang Bachtiar, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya W. Yudha, (paling kiri), Peneliti senior The Habiebie Center, Zamroni Salim. Foto: DAN
Keterangan Foto: Berurutaan dari Kanan, Anggota Dewan Energi Nasional, Andang Bachtiar, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya W. Yudha, (paling kiri), Peneliti senior The Habiebie Center, Zamroni Salim. Foto: DAN
Rencana Indonesia untuk mencapai ketahanan energi merpakan hal yang sangat penting dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang mengatur pengelolaan Migas negara dianggap tidak relevan dengan kondisi Indonesia yang sudah tidak lagi menjadi eksportir neto Migas. Hal ini berbanding terbalik dengan tingkat konsumsi migas yang semakin meningkat.

Seiring dengan pembangunan perekonomian, dengan pertumbuhan konsumsi rata-ata yang mencapai angka 8% pertahun memperkuat asumsi tentang meningkatnya kebutuhan konsumsi migas di dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan tata kelola migas yang mampu menunjang ketahanan energi, di mana kesemuanya itu dimulai dari pengaturan yang benar di dalam Undang-Undang. 

“Isu utama yang dikaji oleh Habibie Center adalah revisi UU migas sebagai modal dasar pembangunan negara dan diarahkan untuk mencapai ketahanan energi. Kemudian yang juga kami kaji adalah aspek kelembagaan. Aspek kelembagaan ini menyangkut pelaku dan pelaku utama dalam pengelolaan Migas,” terang Peneliti Senior The Habiebie Center, Zamroni Salim, pada sebuah diskusi, Senin (20/3), di Jakarta.

Zamroni menyampaikan sejumlah usulan-usulan terkait revisi UU No. 22  Tahun 2001 dan tata kelola kelembagaan sektor Migas yang merupakan hasil penelitian The Habiebie Center selama 5 bulan belakangan. (Baca Juga: Tak Kunjung Rampung, Inikah Solusi Penyusunan RUU Migas?)

Pertama, revisi UU Migas harus mampu memberikan kesempatan kepada Badan Usaha Milik Negara/Badan usaha Milik negara Khusus (BUMN/BUMNK) untuk bertanggung jawab dalam setiap kegiatan konservasi, eksploitasi, dan eksplorasi migas yang baru. Hal ini tentnya bertujuan untuk memastikan ketersediaan Migas tidak hanya untuk kebutuhan konsumsi di dalam negeri tapi juga untuk memenuhi target penjualan di pasar dunia.

Kedua, dalam revisi UU Migas, harus mengatur tentang strategi mencipatakan cadangan BBM dan gas. Salah satu caranya adalah dengan menyiapkan sebuah lembaga yang akan ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap pengamanan cadangan migas. “Siapa lembaganya, silakan Pemerintah yang mengatur karena kami hanya mengusulkan saja,” ujarZamroni.

Ketiga, BUMNK memiliki tanggung jawab untuk energi secara lebih luas. Maksudnya, setelah revisi UU Migas, dibentuklah BUMN Khusus yang tidak hanya menggarap persoalan minyak dan gas tapi dalam konteks energi secara luas dan energi tersebut harus pula termasuk energi yang berkelanjutan (baru terbarukan).

Keempat, revisi UU Migas harus dapat mengakomodasi adanya Migas non konvensional (secara shale oil/gas), serta energi terbarukan sebagai upaya diversivikasi energi, serta bagaimana cara untuk mencapai ketahanan energi itu sendiri. Zamroni menegaskan, untuk kebjakan turunan UU yang mengatur migas non konvensional harus dapat  mengintensifkan kegiatan eksplorasi dan mekanisme bagi hasil.(Baca: RUU Migas Diharapkan Jadi Solusi Masalah Hukum Sektor Migas)

Di samping itu, secara khusus The Habiebie Center memberikan masukan terkait tata kelola kelembagaan di sektor Migas yang harapannya dapat menjadi bagian yang diatur dalam revisi UU No. 22 Tahun 2001.

Menurut Zamroni, untuk pemegang kuasa pertambangan,  tetap berada ditangan Kementrian ESDM. Namun, pelaksanaannya diserahkan kepada badan usaha mulik negara khusus (BUMNK). Selanjutnya, untuk BUMNK, dapat dianggap sesuai dengan pengganti SKK Migas yang berfungsi untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis, komersil, dan kepentingan Pemerintah dengan tetap bisa menghindarkan Pemerintah dari resiko hukum kontrak bisnis Migas.

Selanjutnya masih terkait masukan terhadap tata kelola kelembagaan sektor Migas, The Habiebie Center mensyaratkan agar Pertamina diberi prioritas dalam mengelola blok Migas dengan posisi tidak sejajar dengan BUMN Khusus. Konsep seperti ini diharapkan membuat Pertamina dan PGN memiliki hubungan langsung dengan Kementrian ESDM dalam pengelolaan blok migas.(Baca juga: Bentuk Badan Usaha Khusus Migas Perlu Diatur dalam RUU Migas)

Berikutnya, fungsi kebijakan dan pengaturan tetap di tangan Pemerintah dan fungsi pengusahaan pada perusahaan minyak dengan mensyratkan bahwa semua blok migas yang dikelola oleh International Oil Cooporation (IOC) harus dalam skema bagi hasil dengan National Oil Cooperation (NOC). Dengan model ini tidak ada blok migas yang sepenuhnya dikelola oleh IOC.

Selanjutnya, kepada pihak yang diberi kewenangan mesti melakukan kegiatan yang holistik di bidang migas. Pemberian kewenangan ini melahirkan konsep kuasa pertambangan untuk melakukan eksplorasi, pemurnian/pengilangan, pengangkutan dan penjualan, termasuk pencarian dan pengembangan energi terbarukan. Konsep kuasa petambangan ini sebagai perpanjangan tangan kekuasaan negara yang diberikan kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan menyeluruh terhadap migas.

Dengan demikian, diharapkan, kehadiran negara melaui kebijakannya untuk mengatur, sehingga ada keseimbangan antara tujuan komersial, sustainabilitas penyediaan cadangan pengganti, kontribusi makro ke perekonomian nasional, dan penguatan kapasitas nasional.

Modal Dasar Pembangunan
Merujuk pada UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, Migas dilihat sebagai modal dasar pembangunan negara. Paradigma ini sangat penting karena akan mempengaruhi bagaimana Indonesia mengelola industri energinya, perencanaan migas (elsplorasi sumber-sumber baru), pencarian dan pengembangan energi terbarukan, prioritas penggunaan dalam negeri, perlindungan lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi publik.

Terkait hal ini, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Andang Bachtiar, menegaskan perlu adanya defisini yang jelas dari maksud Migas sebagai modal dasar pembangunan. Andang mesyaratkan definisi tersebut dari aspek implementasi. Menurutnya, kapasitas cadangan minyak Indonesia tidak sebanyak yang dikira.

“Kita akan jadi neto importir di 2019, dan akan jadi importir terbesar asia tenggara tahun 2025, dan setelah itu 2050. Suka atau tidak, mau banyak kita teriak soal energi baru terbarukan, tetap tidak dapat menghindari kenyataan bahwa kita masih butuh minyak, dan minyak (kita) akan habis karena minyak itu tak terbarukan,” ujarnya.

Hal ini menjadi dilema bagi negara apabila disisi yang lain, ketersediaan minyak Indonesia terus dijual keluar negeri sehingga sektor Migas masih menjadi salah satu harapan pendapatan negara yang terus dievaluasi signifikasinya.

“Di DPR, kita setiap tahun berkutat dengan diskusi berapa hasil dari Migas, berapa nilai tukar, berapa (harga) 1 barel, nah itu kan dijadikan pendapatan negara semua. Dan berapa keuntungan negara yang didapatkan dari keuntungan pertamina dan bagi hasil dengan kontraktor,” papar Andang.

Andang menjelaskan, ketersediaan energi dalam negeri yang tinggal sedikit semestinya benar-benar dimanfaatkan sebagai modal dasar pembangunan, tanpa harus dijual ke luar negerikarena pasca diekspor, Indonesia akan kembali mengimpor minyak dari luar negeri. 

Menurutnya, seringkali Indonesia fasih mengungkapkan itu dalam bentuk kalimat, tapi secara praktik, itu tak ada. Hal ini harus diperjelas aspek implementasinya agar menjadikan migas sebagai modal dasar pembangunan itu bisa benar-benar terwujud dan dirasakan manfaatnya.

“Jadi kalau mau jadi modal dasar pembangunan, pakai energi itu. Lha kebutuhan energi kita harus 5 kali impor. Sekarang energi yang cuma sedikit dijual lagi, di jadikan pendapatan negara. Itu gak masuk akal,” tegas Andang.
Tags:

Berita Terkait