Dua Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Mengaku Tak Kenal Andi Narogong
Korupsi e-KTP:

Dua Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Mengaku Tak Kenal Andi Narogong

Teguh sempat menyebut terdapat dua rapat penting terkait dengan pembahasan e-KTP di Komisi II DPR. Pertama, rapat pada 5 Mei 2010 dan kedua pada 11 Mei 2010.

Oleh:
ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Teguh Juwarno dan Taufik Effendi hadir pada sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/3).
Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Teguh Juwarno dan Taufik Effendi hadir pada sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/3).
Dua orang mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Taufik Effendi dan Teguh Djuwarno yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK sebagai saksi dalam lanjutan sidang kasus proyek pengadaan KTP berbasis elektronik (e-KTP) mengaku tidak kenal dengan Andi Agustinus atau Andi Naragong selaku penyedia barang/jasa di Kemendagri.

"Apakah saudara kenal dengan Andi Narogong?" tanya salah satu anggota Majelis Hakim kepada dua saksi itu dalam sidang e-KTP di sidang lanjutan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (23/3/2017) seperti dikutip Antara.

"Saya pribadi tidak kenal, tidak pernah berkomunikasi dan sama sekali tidak kenal," jawab Teguh.

"Saya tidak kenal sama sekali," jawab Taufik.

"Pernah dengar namanya?," tanya Hakim.

"Maaf yang mulia, saya baru tahu ketika diperiksa di KPK. Kami tidak pernah bertemu dan yang bersangkutan tidak pernah ikut rapat-rapat kami. Saya baru tahu ketika diperiksa KPK," jawab Taufik.

"Apakah ada pertemuan informal dengan Andi Narogong?," tanya Hakim.

"Karena saya hanya sampai pada September 2010, saya tidak aktif lagi pada periode tersebut," jawab Teguh.

"Tidak pernah", jawab Taufik. Baca Juga: ‘Tercium’ Persekongkolan Proyek e-KTP di DPR, Siapa Andi Narogong

Dalam kesempatan ini, Taufik membantah telah menerima uang terkait proyek e-KTP ini. "Saudara terkait proses e-KTP apakah menerima uang?" tanya Ketua Majelis Hakim John Halasan.

"Tidak pernah," jawab Taufik.

"Yakin?" tanya Hakim John.

"Yakin yang mulia," jawab Taufik.

"Kalau tidak menerima uang, ada bagi-bagi uang?" tanya Hakim John kembali.

"Saya tidak tahu," jawab Taufik.

"Kalau rapat e-KTP Saudara hadir?" tanya Hakim John.

"Saya hadir, tetapi banyak tidak hadirnya. Saya lebih banyak membahas masalah Aparatur Sipil Negara (ASN) karena saya Ketua Panja-nya," jawab Taufik.

"Apa dan bagaimana persetujuan usulan proyek KTP-E?" tanya Hakim John.

"Secara utuh saya tidak mengetahui," jawab Taufik.

Diketahui, Teguh Djuwarno adalah mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi PAN periode 2009-2010, sedangkan Taufik Effendi mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat 2009-2014. Dalam dakwaan kasus ini, Taufik Effendi disebut menerima 103 ribu dolar AS. Sedangkan, Teguh Djuwarno menerima 167 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,9 triliun tersebut.

Dalam dakwaan juga disebut Andi Narogong memberi sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR. Andi juga disebutkan yang akan mengerjakan proyek e-KTP karena sudah terbiasa (familiar) mendapatkan proyek pengadaan di Kemendagri dan DPR.

Tidak hadir rapat
Teguh Djuwarno mengaku tidak ikut rapat pembahasan e-KTP pada 5 Mei 2010 karena sakit.

"Pada saat pembahasan eKTP, saya tidak hadir dan tidak bisa memberikan catatan. Pada rapat 5 Mei 2010 itu saya sedang terbaring sakit karena putus otot tendon kaki saat main futsal. Pada tanggal 7 Mei saya harus operasi besar," kata Teguh dalam persidangan.

"Secara faktual Saudara tidak pernah ikut pembahasan eKTP, pernah tanda tangan surat terkait dengan e-KTP?" tanya salah satu anggota Majelis Hakim.

"Tidak pernah," jawab Teguh.

"Dalam surat dakwaan, baik dalam rapat pada tanggal 5 Mei 2010. Sebelum rapat itu, terdakwa satu (Irman) bertemu dengan Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, Ganjar Pranowo, Taufik Effendi, dan Teguh Djuwarno, Saudara di mana?" tanya Hakim.

"Keterangan tersebut keliru. Saat itu saya sedang sakit, saya bisa serahkan surat rekam medisnya," jawab Teguh.

Dalam persidangan, Teguh sempat menyebut terdapat dua rapat penting terkait dengan pembahasan e-KTP di Komisi II DPR. Pertama, rapat pada 5 Mei 2010 dan kedua pada 11 Mei 2010.

"Jumlah rapat e-KTP yang terjadi tentu tidak hafal. Berdasarkan notulen bulan Mei ada dua rapat penting. Pertama rapat kerja dengan Mendagri dengan Komisi II pada tanggal 5 Mei 2010 itu rapat usulan anggaran kemudian rapat dengar pendapat (RDP) dengan Sekjen Kemendagri pada tanggal 11 Mei 2010," ungkapnya.

Dalam dakwaan keduanya, penuntut umum menyebutkan bahwa Irman dan Sugiharto melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Setya Novanto, Diah Anggraini, Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan), Andi Narogong (penyedia barang/jasa Kemendagri), dan Isnu Edhi Wijaya (Ketua Konsorsium PNRI).

Penuntut umum menganggap kedua terdakwa bersama-sama sejumlah pihak itu telah melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penganggaran dan pelaksanaan proyek e-KTP dengan mengarahkan untuk memenangkan perusahaan tertentu sebagai penyedia barang/jasa proyek e-KTP (Baca Juga: Mengungkap Nama-Nama Besar dan Sepak Terjang Dua Terdakwa Korupsi e-KTP).

Perbuatan tersebut telah memperkaya para terdakwa, Gamawan Fauzi, Diah, Drajat beserta 6 orang anggota Panitia Pengadaan, Husni Fahmi beserta 5 orang anggota Tim Teknis, Johannes Marliem, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, dan Tamsil Linrung, Taufik Effendi, dan Teguh Djuwarno.

Kemudian, memperkaya Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna H Laoly, dan 37 anggota Komisi II DPR lainnya.

Serta, memperkaya pula sejumlah korporasi pemenang tender e-KTP, yakni Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), PT LEN Industi, PT Quadra Solution, PT Sandipala Arthaputra, PT Sucofindo, Manajemen Bersama Konsorsium PNRI. Akibatnya, kerugian keuangan negara mencapai Rp2,314 triliun.
Tags:

Berita Terkait