8 ‘Penyakit’ Birokrasi di Badan Peradilan
Berita

8 ‘Penyakit’ Birokrasi di Badan Peradilan

Perekrutan birokrasi untuk peradilan masih menggunakan mekanisme lama yakni CPNS. KY diharapkan mampu meningkatkan kredibilitas badan peradilan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Masalah yang menyelimuti badan peradilan di Indonesia tak kunjung tuntas. Ada pandangan yang menganggap persoalan itu sangat rumit dari hulu ke hilir. Mantan Komisioner Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, memaparkan masalah yang dihadapi lembaga peradilan meliputi banyak hal diantaranya raw input hakim, rekrutmen hakim, pendidikan, promosi dan mutasi hakim, peraturan perundang-undangan, birokrasi dan prosedur administrasi perkara.

Suparman memaknai birokratis berhukum sebagai proses perkara yang berjenjang antar institusi hukum. Misalnya dalam kasus pidana, dimulai dari birokrasi polisi dan atau jaksa atau KPK yang bekerja berdasarkan hukum acara dan aturan internal, bermuara ke pengadilan dari tingkat pertama hingga peninjauan kembali (PK).

Sebagaimana birokrasi pada umumnya Suparman menilai birokrasi peradilan juga dijangkiti ‘penyakit’ yang sama, sedikitnya ada delapan. Pertama, penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Kedua, anti kritik dan cenderung mempertahankan status quo. Ketiga, korupsi, suap atau sogok. Keempat, boros. Kelima, arogan. Keenam, kurang koordinasi. Ketujuh, kurang kompeten. Kedelapan, lamban. (Baca juga: MA Luncurkan Sistem Informasi Pengawasan).

Bagi Suparman ‘penyakit’ birokrasi itu tidak sejalan dengan proses peradilan yang membutuhkan kepastian, kejujuran, keadilan, kecepatan dan akurasi yang merupakan bagian dari keadilan. Akibatnya, masyarakat khususnya pencari keadilan tidak percaya adanya kepastian hukum dan keadilan. (Baca juga: MA Tegaskan Sistem Satu Atap ‘Harga Mati’).

Menurut Suparman perekrutan birokrasi peradilan sama seperti birokrasi pada umumnya yakni melalui mekanisme CPNS. Belum ada birokrasi yang dirancang khusus untuk badan peradilan. Oleh karenanya tidak sedikit aparatur peradilan yang tidak memiliki kemampuan sebagai administrator peradilan. “Birokrasi peradilan kita tidak di-desain untuk badan peradilan, birokrasi peradilan sama seperti birokrasi umum,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (30/3).

Suparman berharap dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap birokrasi peradilan guna mencegah oknum staf administrasi peradilan melakukan penyimpangan. Dia mencatat sekurangnya 7 modus penyimpangan yang dilakukan birokrasi peradilan terkait tugasnya. Pertama, memperlambat atau mempercepat mengunggah putusan ke direktori serta salinan putusan ke pihak berperkara. Kedua, menahan permohonan kasasi jaksa agar prosesnya berlarut.

Ketiga, membocorkan putusan kepada terpidana yang tidak ditahan atau kepada penasehat hukum sebelum putusan dibacakan secara resmi sehingga terpidana punya kesempatan melarikan diri. Keempat, menahan atau memperlambat penyerahan ekstrak vonis kepada jaksa. Kelima, menahan putusan kasasi yang menguatkan atau meningkatkan vonis supaya tidak buru-buru disampaikan ke pengadilan dan jaksa agar eksekusi tertunda atau terpidana bisa melakukan sesuatu.

Keenam, menghubungi pihak-pihak untuk merundingkan proses dan atau putusan kasasi atau PK yang diajukan. Ketujuh, dalam perkara perdata, oknum pegawai MA menahan putusan kasasi atau PK sehingga pihak yang dikalahkan punya waktu untuk melakukan sesuatu terhadap obyek sengketa. Misalnya, meneruskan mengeksploitasi tambang, memetik hasil panen, menahan proses jual beli yang menunggu salinan resmi putusan.

Advokat sekaligus pegiat HAM, Todung Mulya Lubis, mengatakan masalah peradilan yang terjadi bersumber dari rendahnya komitmen semua pihak untuk membangun dan menjalankan konsep Indonesia sebagai negara hukum. Menurutnya itu terjadi karena rezim yang berkuasa mulai dari era Soekarno sampai saat ini akan terusik kroni-kroninya jika ideologi rule of law ditegakan.

Tidak tegaknya rule of law di Indonesia menurut Todung berakibat pada badan peradilan yang berpeluang diintervensi kekuasaan. Sebaliknya, jika rule of law bisa berdiri kokoh, badan peradilan akan menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat. Dia mencontohkan praktik penegakan rule of law di Amerika Serikat, ketika pengadilan membatalkan kebijakan Presiden Donald Trump yang dinilai diskriminatif terhadap imigran dari negara muslim. “Sebesar apapun kekuasan Donald Trump sebagai Presiden AS, dia dikawal oleh rule of law,” urainya.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman, mengatakan setelah empat kali amandemen UUD 1945 sebenarnya memperkuat badan peradilan. Dia mencatat ada 5 hal yang telah dilakukan sejak reformasi sampai saat ini untuk memperkuat peradilan. Pertama, badan peradilan dikelola penuh oleh MA. Sebelumnya, di masa orde baru badan peradilan menjadi subordinat pemerintah, kekuasaan kehakiman dijadikan pengaman utama kebijakan pemerintah. Kedua, memberi kewenangan badan peradilan untuk melakukan judicial review (MA dan MK).

Ketiga, rekrutmen hakim agung melibatkan KY. Keempat, ketua MA dipilih melalui rapat pleno hakim agung, sebelumnya dipilih Presiden. Kelima, pengawasan terhadap hakim agung dilakukan oleh KY, sebelumnya pengawasan dilakukan oleh pemerintah. “Walau MA sudah diberi wewenang penuh untuk mengelola badan peradilan tapi hasilnya masih jauh dari harapan,” ujar politisi partai Demokrat itu. (Baca juga: Idealnya, RUU Jabatan Hakim Juga Atur Berbagai Jenis Hakim).

Benny berpendapat tugas MA terlalu besar sehingga pembenahan di badan peradilan selama ini belum optimal. Dia berharap KY bisa mengembalikan kredibilitas badan peradilan di masa depan. Oleh karenanya tugas KY ke depan bukan hanya menjaga kehormatan para hakim tapi juga membenahi masalah administrasi di pengadilan. “Ke depan KY bisa diberi tugas untuk mengawasi hakim di pengadilan termasuk MA dan MK,” paparnya.
Tags:

Berita Terkait