Struktur Pengaturan Lembaga Keuangan Mikro, dari UU Perbankan Menuju UU LKM
Berita

Struktur Pengaturan Lembaga Keuangan Mikro, dari UU Perbankan Menuju UU LKM

Dalam menjalankan usahanya, LKM memiliki karakter yang berbeda dengan usaha disektor keuangan yang lain.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Deputi Direktur Kelembagaan dan Pengawasan LKM, Suparlan (tengah) saat menjadi pembicara dalam diskusi Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro. Foto: DAN
Deputi Direktur Kelembagaan dan Pengawasan LKM, Suparlan (tengah) saat menjadi pembicara dalam diskusi Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro. Foto: DAN
Praktik keuangan mikro di Indonesia telah berkembang dalam beberapa dekade, menjadi berbagai bentuk kelembagaan yang berbeda dengan menggunakan model konvensional maupun syariah. Perkembangan ini diikuti pula dengan jumlah Lembaga Keuangan Mikro (LKM)yang tumbuh sangat pesat. Oleh karena itu harus diakui, potensi LKM sangat dibutuhkan oleh Pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memfasiltasi pelaku usaha mikro dari aspek pembiayaan dan pendampingan usaha.

“Seperti kita ketahui bahwa usaha mikro dan kecil itu sangat terbatas. Terbatas di bidang permodalan, terbatas di bidang teknologi, pemasaran, jaringan, SDM, dan lain sebagainya. Sehingga di undang-undang UMKM, untuk pengembangan UKM itu ada unsur penguatan UKM,” kataDeputi Direktur Kelembagaan dan Pengawasan LKM, OJK, Suparlan, dalam Diskusi Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Khusus, yang diselenggarakan OJK, Sabtu (1/4), di Bogor.

Menurut Suparlan, keterbatasan dari sektor permodalan yang dimiliki oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) itulah yang mengakibatkan UKM sulit mengakses pendanaan perbankan. (Baca Juga: OJK Bentuk Pusat Kajian Peraturan dan Kebijakan Terkait Keuangan Mikro)

Dalam praktik, untuk mengatasi kesulitan tersebut Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk pendanaan usaha skala kecil dan mikro. Alokasi dana tersebut, ada yang bersifat penyertaan Pemerintah maupun hibah dana bergulir. Bagi UKM yang telah menerima alokasi dana Pemerintah dan berhasil bertahan, tidak jarang melanjutkan aktifitasnya sampai kepada penghimpunan dana dari masyarakat.

Untuk UKM yang aktifitasnya menghimpun dana masayarakat, terkena aturan pasal 16 ayat (1) UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. UU No. 10 Tahun 1998, Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat dasri Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-Undang tersendiri”.

Izin usaha perbankan sebagaimana yang disebut di atas, saat ini tidak lagi diberikan oleh Bank Indonesia, tapi telah menjadi wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Kalau dulu BI sekarang OJK,” terang Suparlan.

Sementara,undang-undang tersendiri yang telah mengatur aktifitas penghimpunan dana masyarakat misalnya, Undang-undang Perkoperasian, Undang-Undang Perasuransian, maupun Undang-Undang LKM.(Baca Juga: OJK Evaluasi Izin Pendaftaran LKM)

Pada kenyataanya, menurut Suparlan, sebagian besar LKM belum memiliki status sebagai badan hukum. Hal ini dikarenakan size nya yang kebanyakan kecil maupun keterbatasan pengurus sehingga sulit memenuhi ketentuan perbankan maupun koperasi. Untuk itu, demi mendorong pengembangan LKM, diundangkanlah UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

“LKM diberikan payung hukum Undang-Undang supaya aktifitasnya legal karena kalau tidak punya ijin sesuai peraturan perundang-undangan termasuk ilegal,” terang Suparlan.

Setelah UU No. 1 Tahun 2013 terbit, ditindak lajuti dengan terbitnya aturan pelaksana berupa PP No.89 Tahun 2014. “Selanjutnya OJK juga menerbitkan POJK No.12, 13, 14 tahun 2014 yang telah berubah dengan POJK masing-masing No.61, 62, 63, tahun 2015 tentang kerangka hukum pengaturan lembaga keuangan mikro,” ujarnya.

Karakteristik Usaha LKM
Dalam menjalankan usahanya, LKM memiliki karakter yang berbeda dengan usaha disektor keuangan yang lain. Berangkat dari sisi hirtoris dimana perlu adanya penguatan usaha kecil, maka tujuan dari keberadaan LKM tidak hanya semata-mata mencari keuntungan, tapi juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraa rakyat dan membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktifitas masyarakat.(Baca Juga: Tiga Kementerian Sepakat Permudah Perizinan UMK)

Hal ini tercermin melalui jenis kegiatan usaha LKM yang mencakup pinjaman/pembiayaan dalam usaha skala mikro, pengelolaan simpanan, dan jasa konsultasi pengembangan usaha yang muara dari kesemuanya adalah pemberdayaan masyarakat.

Pasal 11 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2013, Kegiatan Usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat,  baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemsberian jasa konsultasi pengembangan usaha.

Karena tidak semata-mata bertujuan untuk mencari keuntungan, demi keberlangsungan LKM, oleh OJK diperkenankan melakukan kegiatan berbasis fee, misalnya, memasarkan produk-prosuk jasa keuangan seperti asuransi mikro, bekerjasama dengan perusahaan pembiayaan (channelling/joint financing), atau menjadi agen laku pandai.

“Intinya ini adalah sinergi dari lembaga keuangan dalam rangka untuk menstimuls lembaga keuangan mikro agar dapat berjalan dengan baik karena tidak semata-mata mencari keuntungan tadi,” ujar Suparlan.

Sementara terkait aspek perijinan, LKM wajib memenuhi ijin dari OJK. Terdapat dua bentuk ijin yang disediakan oleh OJK, pertama, permohonan ijin usaha dengan setoran secara tunai bag LKM yang baru berdiri setelah UU LKM berlaku. Kedua, secara nontunai, itu bagi yang sudah beroperasi.

“Artinya modalnya sudah ketanam dalam pembiayaan sehingga tidak mungkin untuk setoran modal secara tunai. Jadi ngitungnya berdasarkan equitas dari pada LKM (kekayaan dikurangi utang-utangnya),” pungkas Suparlan.
Tags:

Berita Terkait