5 Kondisi Penyebab Pengadaan Alutsista Rawan Korupsi
Berita

5 Kondisi Penyebab Pengadaan Alutsista Rawan Korupsi

Indeks anti korupsi sektor pertahanan di Indonesia tergolong buruk.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dan Jubir KPK Febri Diansyah beserta penyidik memperlihatkan barang bukti berupa uang senilai AS$25.000 terkait kasus dugaan suap pembayaran fee agency dalam penjualan Kapal SSV dari PT PAL Indonesia ke Pemerintah Filipina saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (31/3).
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dan Jubir KPK Febri Diansyah beserta penyidik memperlihatkan barang bukti berupa uang senilai AS$25.000 terkait kasus dugaan suap pembayaran fee agency dalam penjualan Kapal SSV dari PT PAL Indonesia ke Pemerintah Filipina saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (31/3).
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan, dan kemudian menetapkan tiga orang direksi PT PAL Indonesia serta satu orang lain sebagai tersangka. Mereka berempat ditetapkan tersangka suap dalam kasus penjualan kapal perang Strategic Sealift Vessel (SSV) ke Filipina. Kasus ini membuka kembali tabir kerawanan penjualan alat utama sistem pertahanan (alutsista). Dalam kasus ini oknum direksi PT PAL dan broker diduga ‘bermain’ mengakali biaya pemasaran untuk kepentingan personal.

Sejumlah pegiat antikorupsi sudah lama mengumandangkan pentingnya transparansi dalam pengadaan alutsista. Pengadaan alutsista seolah-olah ruang gelap yang sulit dimasuki. Deputi Sekjen Transparensi Internasional Indonesia (TII), Dedi Haryadi, mengatakan indeks anti korupsi di perusahaan penyedia alutsista di Indonesia lebih buruk daripada indeks antikorupsi di sektor militer. (Baca juga: Transparansi Pengadaan Alutsista Penting, Begini Saran Koalisi Masyarakat Sipil).

Perusahaan penyedia alutsista terkesan berlindung di balik ketertutupan dan kerahasiaan, padahal bisnis alutsista rawan korupsi juga. “Maka kami tidak kaget dengan terungkapnya kasus korupsi yang menjerat jajaran direksi PT PAL Indonesia,” tukasnya.

Direktur Imparsial, Al Araf, mengatakan pembelian atau pengadaan alutsista rawan korupsi. Sebelum kasus yang menjerat jajaran direksi PT PAL Indonesia itu, Al mencatat banyak kasus serupa yang pernah terjadi sebelumnya terkait pengadaan alutsista.

Pembelian alutsista itu sebenarnya ditujukan untuk melakukan modernisasi persenjataan. Menurut Al, Pemerintah tidak akan mencapai tujuan modernisasi yang sesungguhnya jika pengadaan alutsista belum bersih dari korupsi. Melansir data Transparency International tahun 2015 Al menyebut Government Defence Anti-Corruption Index menempatkan Indonesia pada posisi buruk (grade D). “Ini menunjukan sektor pertahanan sangat rentan terhadap korupsi,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (04/4).

Al menilai potensi dugaan korupsi di sektor alutsista terjadi mulai proses pembelian atau pengadaan sampai perawatan. Polanya berbentuk penggelembungan harga (mark-up), pembelian alutsista ‘under spec’ dan pemangkasan biaya perawatan. Ditambah lagi lemahnya kapasitas internal, transparansi dan akubtabilitas dalam proses pengadaan alutsista.

Al menghitung sedikitnya ada 5 kondisi yang menyebabkan sektor pertahanan di Indonesia terutama pengadaan alutsista rawan korupsi. Pertama, tertutupnya ruang lembaga independen seperti KPK untuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan aparat TNI. Ini disebabkan revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang belum tuntas sampai sekarang. (Baca juga: Revisi UU Peradilan Militer Lebih Penting).

Kedua, terlibatnya pihak ketiga (broker) dalam pengadaan alutsista. Ketiga, pembelian alutsista bekas membuka ruang terjadinya skandal korupsi karena sulit diawasi khususnya terkait proses retrovit. Keempat, dalih ‘rahasia negara’ dalam pembelian alutsista seringkali menyulitkan pemberantasan korupsi. Kelima, minimnya pengawasan internal dan eksternal (DPR) dalam proses pengadaan dan pemeliharaan alutsista.

Al berharap KPK menuntaskan kasus korupsi di PT PAL Indonesia dan membongkar keterlibatan pihak lain yang terkait. Selain itu KPK diharapkan membongkar kasus korupsi lain di sektor pertahanan seperti pembelian Sukhoi pada masa pemerintahan lalu dan rudal MLRS.

Peneliti ICW, Tama S Langkun, mencatat kasus PT PAL merupakan pertama kali KPK menangani perkara korupsi di sektor alutsista. Dia melihat modus korupsi yang digunakan dalam perkara tersebut yakni suap. Menurutnya KPK harus menelisik lebih jauh proses pembelian kapal laut itu, dia yakin ada kontrak yang diteken antara Indonesia dan Filipina. “Saya melihat disini ada tanggung jawab dari pihak Kementerian, KPK diharapkan menyasar itu juga. Perkara ini jangan selesai hanya pada perusahaan yang mengerjakan kapal (PT PAL,-red),” urainya.

Dedi mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk memimpin langsung pembenahan di sektor pertahanan dan pengadaan alutsista. Pembelian alutsista harus dikendalikan dengan cara mengembangkan program anti korupsi di perusahaan penyedia alutsista dan lembaga militer. Ada 20 indikator yang perlu dipraktikan guna meminimalkan korupsi di sektor pengadaan alutsista. Peran pihak ketiga seperti broker atau agency harus dikendalikan pemerintah. “Kalau ini bisa dikendalikan potensi korupsi bisa berkurang,” usulnya.

Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan dari berbagai kasus dugaan korupsi dalam pengadaan alutsista selama ini tergolong sulit disentuh aparat penegak hukum. Terutama Kementerian yang bertanggungjawab dalam perencanaan alutsista. “Kami berharap kasus PT PAL ini pintu masuk KPK, jangan hanya menjerat direksinya saja tapi juga pihak lain yang terkait di level Kementerian,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait