Lantik Pimpinan DPD 2017-2019, Sikap MA Dinilai Mengecewakan
Berita

Lantik Pimpinan DPD 2017-2019, Sikap MA Dinilai Mengecewakan

MA menilai, pelantikan ketua DPD adalah urusan internal DPD yang tidak dicampuri MA.

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI terpilih Oesma Sapta Odang (tengah) bersama Wakil Ketua DPD RI terpilih Nono Sampono dan Darmayanti Lubis seusai penetapan pimpinan baru DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4).
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI terpilih Oesma Sapta Odang (tengah) bersama Wakil Ketua DPD RI terpilih Nono Sampono dan Darmayanti Lubis seusai penetapan pimpinan baru DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4).
Mahkamah Agung (MA) secara resmi telah melantik pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2017-2019 yang terdiri dari Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD, Nono Sampono dan Damyanti Lubis sebagai wakil ketua DPD. Pelantikan ini merupakan buntut dari pemilihan yang dilaksanakan para senator sehari sebelumnya dan berakhir ricuh. Sikap MA yang melantik Oesman tersebut menuai kecaman.

Salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Astriyani. Ia menilai, sikap MA yang melantik ketiga pimpinan DPD tersebut sangat mengecewakan. Terlebih pelantikan didasarkan pada pemilihan ketua setelah MA membatalkan Tata Tertib (Tatib) DPD dalam putusannya. (Baca Juga: Inilai Putusan MA tentang Tata Tertib DPD yang Diributkan)

“Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketua DPD baru Oesman Sapta dan wakil ketua baru Nono Sampono dan Damayanti Lubis adalah produk dari proses yang tidak lagi memiliki dasar hukum karena putusan DPD tersebut telah dibatalkan sendiri oleh MA,” tulis Astri dalam siaran persnya yang diterima hukumonline, Rabu (5/4).

Astri menilai, langkah MA tersebut seakan-akan telah menginjak putusannya sendiri sebagaimana tertuang dalam putusan MA dengan perkara No. 38 P/HUM/2016 dan putusan No. 20P/HUM/2017. “Ini sama artinya MA menganulir sendiri putusannya secara tidak langsung. Padahal sesungguhnya saat ini MA seringkali menyatakan sedang mengupayakan peningkatan konsistensi dan kualitas putusan-putusannya,” tambahnya.

Terlebih lagi adanya kesalahan ketik dalam putusan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Menurut Astri, kesalahan seperti ini merupakan bentuk kesalahan serius yang tak bisa ditolerir sehingga berdampak pada ricuhnya pemilihan DPD sampai sekarang. Menurutnya, sikap MA melantik pimpinan DPD tersebut malah semakin memperkeruh sengketa internal di DPD.

“Sikap politik MA yang mendua justru akan berdampak memperkeruh sengketa internal DPD dan tatanan kelembagaan negara di Indonesia. Alangkah bijaksananya jika MA tidak bersedia melakukan penyumpahan dalam pelantikan, dan membiarkan DPD menyelesaikan masalah internalnya dengan mengacu pada putusan yang sudah ditetapkan,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur menjelaskan, MA bertugas dan berwenang untuk melantik Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun Tatib DPD tentang masa jabatan pimpinan DPD sudah dibatalkan oleh MA. "Memang Tatib sudah dibatalkan, tetapi antara Tatib dengan pelantikan itu adalah persoalan yang berbeda," kata Ridwan melalui pesan singkatnya, sebagaimana dikutip dari Antara.

Ridwan menjelaskan bahwa MA hanya membatalkan Tatib, namun pelantikan Ketua DPD adalah urusan internal DPD yang tidak dicampuri oleh MA. "DPD tentu memiliki aturan sendiri untuk memilih pemimpin dan MA tinggal melantik," ucap Ridwan. (Lihat Juga: Oesman Sapta Terpilih Jadi Ketua DPD)

Sebagaimana diketahui, pada Selasa (4/4), Oesman Sapta dilantik sebagai ketua, Nono Sampono dan Damayanti Lubis masing-masing sebagai wakil ketua dalam sidang paripurna DPD di Kompleks Parlemen dan dipandu oleh Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial, Suwardi. Pelantikan pimpinan baru ini berdasarkan keputusan DPD untuk masa jabatan periode Maret 2017 sampai dengan September 2019.

Terpilihnya pimpinan DPD ini mengacu pada Peraturan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib DPD soal masa jabatan pimpinan DPD, yakni 2,5 tahun. Namun, tata tertib itu sudah dibatalkan oleh MA. Dalam pertimbangannya, majelis hakim agung menyatakan pembentukan Peraturan DPD No. 1 Tahun 2016 ‘cacat prosedur’ karena Pasal 297 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) memberi syarat pengambilan keputusan di DPD harus memenuhi kuorum yaitu setengah (1/2) dari anggota DPD. Jika jumlah anggota DPD saat ini 131 orang, berarti rapat harus dihadiri minimal 66 orang anggota.

Sedangkan dalam pertimbangan putusan No. 20P/HUM/2017, majelis menyatakan DPD satu rumpun dengan MPR dan DPR. Oleh karena itu, masa jabatan pimpinan DPD ditetapkan sama dengan masa jabatan pimpinan lembaga tinggi lainnya. Majelis juga mengingatkan bahwa pengabdian tertinggi anggota DPD seharusnya kepada bangsa dan negara, bukan pada kelompok tertentu.
Tags:

Berita Terkait