Menanti Arah Tuntutan Ahok dari Pertanyaan Jaksa
Berita

Menanti Arah Tuntutan Ahok dari Pertanyaan Jaksa

Kapolda Metro Jaya menyurati Ketua PN Jakarta Utara, meminta sidang ditunda.

Oleh:
NEE
Bacaan 2 Menit
Salah satu sesi sidang Ahok. Foto: RES
Salah satu sesi sidang Ahok. Foto: RES
Seyogianya sidang lanjutan dugaan penodaan agama atas nama terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan digelar pada Selasa (11/4) mendatang. Agendanya adalah penuntutan atau rekuisitor jaksa. Ketua majelis hakim perkara ini Dwiarso Budi Santiarto sudah menetapkan tanggal sidang pembacaan tuntutan itu pada sidang Selasa (04/4) lalu.

Namun sidang pembacaan tuntutan bisa saja ditunda majelis karena saat ini beredar informasi Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M. Iriawan mengirimkan surat kepada Ketua PN Jakarta Utara, meminta agar sidang Ahok ditunda hingga pilkada DKI Jakarta selesai. Pilkada tahap kedua Jakarta akan digelar pada 19 April mendatang.

Lepas dari kemungkinan penundaan itu, menarik untuk melihat bagaimana tuntutan jaksa terhadap Ahok. Rekuisitor jaksa merujuk pada surat dakwaan dan fakta persidangan. Selama ini jaksa mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif Pasal 156a huruf a atau Pasal 156 KUHP. (Baca juga: Surat Dakwaan Ahok Hanya 7 Halaman).

Dakwaan yang pertama, mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan di muka umum yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahguaan atau penodaan agama’ memiliki ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. Dakwaan yang kedua, di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap golongan penduduk, punya ancaman hukuman maksimal 4 tahun.

Pasal mana yang akan dinilai jaksa terbukti? Atau dua-duanya tidak terbukti? Hanya jaksa yang tahu. Tetapi rekuisitor itu akan sangat menentukan bagi Ahok. Apalagi jika jaksa menuntutnya dengan ancaman maksimal dalam Pasal 156a huruf a KUHP. (Baca juga: Penuntut Umum Singgung Niat Ahok).

Indikasi tuntutan jaksa bisa dilihat dari fakta persidangan, khususnya dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penuntut umum. Pada persidangan terakhir, Selasa pekan ini, jaksa Ali Mukartono dan tim mengajukan tak kurang dari 30 pertanyaan kepada Ahok. Sidang pemeriksaan Ahok sendiri berlangsung sekitar tiga jam.

Jaksa berkali-kali bertanya tentang keterkaitan pidato Ahok di Kepulauan Seribu 27 September 2016 dengan pengalaman Ahok mencalonkan diri dalam pilkada provinsi Bangka Belitung. Jaksa juga mengajukan pertanyaan tentang buku Ahok ‘Merubah Indonesia’ yang menjadi salah satu bukti dalam perkara ini. Sejumlah pertanyaan jaksa yang relevan dengan ini mengindikasikan keinginan membuktikan kesengajaan menyitir al Maidah 51. Dilihat dari surat dakwaan, unsur kesengajaan ada di Pasal 156a huruf a KUHP. “Apakah pemaknaan Al Maidah seperti yang Saudara tulis di dalam buku, juga turut melatarbelakangi ketika saudara berpidato di Pulau Seribu?” tanya Ketua Tim Jaksa Ali Mukartono.

Jaksa juga berupaya mengonstruksi wawancara Ahok dengan stasiun berita internasional Al Jazeera yang dinilai kontradiktif. “Di satu sisi anda mengatakan minta maaf, di sisi lain anda katakan ‘no regret’, tidak menyesal, bagaimana antara dua sisi ini saudara bisa jelaskan?” lanjut Ali Mukartono. Ahok menjawab bahwa karena tidak ada penodaan agama dalam ucapannya, maka dirinya tidak merasa menyesal dengan isi pidatonya.

Ahok juga menegaskan Indonesia adalah negara konstitusi, negara hukum, bukan negara agama. Karena itu tidak seharusnya ada kampanye menjatuhkan seseorang dengan berpijak pada agama. Acuan memilih pemimpin di negara hukum seharusnya adalah kompetensi dan program kerja. Ia merasa dirugikan oleh kampanye yang menyudutkan dengan menggunakan ayat kitab suci.

Menjawab pertanyaan jaksa, Ahok menjelaskan ungkapan-ungkapannya yang membawa Al Maidah 51 selama ini hanyalah ekspresi keberatan atas penggunaan ayat tersebut. Adapun penyebutan kata ‘dibohongi’ dan ‘dibodohi’ maksudnya bahwa ada oknum yang sengaja menyebarkan makna yang keliru dari Al Maidah 51.

“Justru saya kira saya difitnah! Saya nggak berani menafsirkan, mendebat soal ayat ini, yang saya bicara itu, bohong itu, nggak bener pakai Al Maidah 51 nggak boleh pilih Gubernur(non Muslim), di dalam ayat itu tidak pernah disebutkan Gubernur, Bupati,” jawabnya berang.

Pada persidangan ke-17, Ahok juga mengakui bahwa suara di video yang dijadikan bukti benar suaranya. Jaksa memperlihatkan sejumlah video berupa rekaman pidato, wawancara dan pernyataan-pernyataan Ahok, termasuk dan terutama rekaman pidatonya di Kepulauan Seribu. Ada juga video berisi pidato Ahok di kantor Partai Nasdem, rekaman wawancara wartawan dengan Ahok di Balaikota, dan wawancara dengan jurnalis Aljazeera.

Sebaliknya tim pengacara Ahok menyampaikan rekaman pandangan ahli seperti Quraish Sihab, Mustofa Bisri, Buya Syafii Ma’arif, bahkan rekaman pernyataan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

“Apa benar itu tadi rekaman dari ucapan saudara, tanpa ada perubahan atau yang diedit?” kata Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto kepada Ahok di setiap akhir pemutaran rekaman Ahok.

Dari semua rekaman, tidak satupun yang dibantah Ahok. Ia mengakui semua video rekaman yang menunjukkan dirinya berpidato atau menjawab wawancara adalah benar tanpa pemalsuan. “Benar Yang Mulia, tapi bukan begitu konteksnya,” jawabnya pada salah satu pertanyaan Majelis Hakim.

Kini, tinggal tugas jaksa menguraikan fakta persidangan lalu dikonstruksi menjadi bahan rekuisitor. Pasal mana yang dipakai jaksa Ali Mukartono dan tim? Berapa tuntutan yang diajukan? Tinggal menunggu persidangan berikutnya.
Tags:

Berita Terkait