Sejumlah Persoalan Hukum Mendesak Adanya Revisi UU Kepailitan
Berita

Sejumlah Persoalan Hukum Mendesak Adanya Revisi UU Kepailitan

Belum adanya kepastian hukum dan keseragaman dalam memahami dan mengimplementasikan pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Berurutan dari kanan: Parwoto Wignyosumarto, Ricardo Simanjuntak, dan Fread Tumbuan (paling kiri). Foto: DAN
Berurutan dari kanan: Parwoto Wignyosumarto, Ricardo Simanjuntak, dan Fread Tumbuan (paling kiri). Foto: DAN
Hingga awal April 2017, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tercatat telah menerima pendaftaran sebanyak 45 Permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pelunasan Utang (PKPU) dan 23 Permohonan Pailit. Seiring dengan meningkatnya rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan yang mendekati 3,1%, bukan tak mungkin jumlah ini terus meningkat karena faktanya di Agustus nanti, Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian bagi Bank Umum akan segera berakhir.

Aturan yang memungkinkan perbankan untuk segera melakukan restruktrusasi atas debiturnya itu selama dua tahun ini, sepertinya cukup efektif meredam kredit bermasalah perbankan. Mendekati berakhirnya aturan itu, bukan tak mungkin menstimulus semakin tingginya angka pendaftaran permohonan Pailit dan PKPU.

Di sisi lain, konsep hukum dalam UU No. 37 Tahun 20014 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pelunasan Utang menjadi ganjalan bagi para Kurator dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan Undang-Undang tersebut, sehingga revisi atas UU 37/2004 dipandang cukup mendesak.

“Sejak dua tahun belakangan, kami mencermati dengan seksama, Pemerintah melalui setidaknya dua hingga tiga Kementerianatau setingkat Kementerian telah melakukan koordinasidan komunikasi yang sangat intens membahas rencana perbaikan aturan terkait kepailitan,” terang Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), James Purba, Kamis (6/4), di Jakarta. (Baca Juga: Mau Jadi Kurator? Simak Cerita Para Kurator Ini)

Menurut James, segala aturan dari level undang-undang ke bawah, termasuk berbagai Peraturan Menteri yang terkait dengan Kepailitan, dikumpulkan untuk diperiksa ulang lalu diupayakan untuk diperbaiki. “Bahkan kami mencatat, aturan yang sebenarnya baru diubah tahun lalu pun, tak diluputkan,” ujarnya.

Sementara aturan setingkat UU, James menginformasikan bahwa penyusunan naskah akademis RUU Kepailitan juga tengah dilakukan. Pemerintah mengharapkan naskah tersebut dapat diselesaikan menjelang akhir tahun ini. Untuk nantinya akan dimasukkan ke dalam program legislasi nasional tahun 2018.

“Terlepas dari kemungkinan perbedabatan yang pasti akan muncul, AKPI tentu saja menyambut baik tiap usaha pemerintah meningkatkan kualitas pranata hukum Kepailitan dan PKPU,” terang james.

Revisi UU Kepailitan menjadi salah satu harapan dari Kurator dan Pengurus di Tanah Air karena sejumlah alasan. Mantan Ketua AKPI, Ricardo Simanjutak, dalam kesempatan yang sama memaparkan sejumlah persoalan dalam pelaksanaan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. (Baca juga: Akibat Hukum Jika Debitor Melakukan Perbuatan Hukum dalam Proses Kepailitan)

Permasalahan tersebut antara lain belum adanya kepastian hukum dan keseragaman dalam memahami dan mengimplementasikan pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. 

Selain itu, permasalahan yang lain adalah belum disiplinnya Pengadilan Niaga (khususnya di tingkat MA) dalam mengimplementasikan Time Frame pemeriksaan dan putusan perkara dan juga penyampaian salinan putusan bagi para pihak; belum jelasnya kapan debitor pilit dapat dinyatakan insolven; belum adanya kepastian batasan hak dan kewenangan curator dengan Hakim Pengawas dalam tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit/PKPU.

Ricardo menambahkan, belum adanya kepastian hukum terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan Kurator; belum jelasnya batasan aspek perdata dan pidana dari kepailitan/PKPU; dan belum tegasnya pelaksanaan hak-hak kreditor separatis, keditor pajak, kreditor dengan hak retain dan kreditor buruh sehubungan dengan pembagian hasil penjualan bedol pailit. (Baca juga: Kurator Jangan Berlagak Seperti Advokat)

Sedang yang terakhir, tidak jelasnya penerapan hak debitor pailit dalam mengajukan usulan perdamian setelah pailit. Masih terkait persoalan UU Kepilitan, Mantan Hakim Niaga, Parwoto Wignjosumarto, menambahkan, Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitanharus diubah sesuai dengan ketentuan pasal 55 ayat (2) UU OJK. Sejak 31 Desember 2012, kewenangan Bank Indonesia beralih ke OJK.

Selain itu, pasal 2 ayat (4), (5) juga harus diubah sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU OJK, sejak tanggal 31 Desember 2012, kewenangan Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan beralih ke OJK.Parwoto juga mengatakan perlu penegasan status/jenis perkara permohonan pernyataan pailit, apakah perkara permohonan (voluntair) ataukah Perkara gugatan (contentiosa).

“Pasal 11 dan Pasal 12 UU Kepailitan mendudukkan ppemohon kasasi dan termohon kasasi sebagai pihak berperkara, yang berarti status perkara permohonan pailit adalah perkara gugatan,” terang Parwoto.

Ia menambahkan, Pasal 178 ayat (1), Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.

Menurut UU Kepailitan, setelah insolvensi diteruskan dengan proses pemberesan sebagaimana maksud Pasal 185 ataupun Pasal 59 ayat (1) bagi pemegang hak tanggungan. UU Kepilitan tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 142 ayat (1) huruf e UU No. 40 Tahun 2007, perseroan bubar karena keadaan insolvensi.

Tags:

Berita Terkait