Menanti ‘Bola Panas’, Sang Lembaga Pemutus Sengketa Pilkada
Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:

Menanti ‘Bola Panas’, Sang Lembaga Pemutus Sengketa Pilkada

Idealnya, lembaga peradilan khusus sengketa pilkada diusulkan berada di bawah Mahkamah Agung dengan hukum acara tersendiri.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT/CR-23
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Perhelatan akbar pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak sudah digelar pada Februari lalu. Ada sebagian daerah masih akan menggelar pilkada putaran kedua, salah satunya Pilkada Provinsi DKI Jakarta. Bisa jadi, Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini tengah menangani sekitar 50 perkara sengketa hasil Pilkada putaran pertama, bakal kembali mengadili sengketa beberapa daerah lagi setelah Pilkada putaran kedua.

Patut diingat, kewenangan MK menangani perkara sengketa Pilkada hanya bersifat sementara (transisi). Sebab, putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, kewenangan MK mengadili sengketa Pilkada dalam Pasal 236 C UU No. 12  Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah dihapus. Putusan MK tersebut pun sekaligus mengamanatkan pembentukan peradilan khusus sengketa Pilkada. Baca Juga: MK Hapus Kewenangan Sengketa Pemilukada

Karena itu, sesuai amanat UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU (UU Pilkada), pembentukan lembaga khusus peradilan perlu dipercepat. Faktanya, hampir 4 tahun berlalu, MK masih menangani perkara sengketa Pilkada lantaran belum terbentuk lembaga peradilan khusus sengketa Pilkada.

Aturan pembentukan badan peradilan khusus diatur Pasal 157 ayat (1), dan ayat (2) UU Pilkada. Sebelum pilkada serentak nasional badan peradilan khusus sengketa hasil pilkada ini harus sudah terbentuk. Hingga kini, konsep dan model lembaga peradilan khusus penanganan sengketa Pilkada belum jelas. Sampai-sampai, MK sendiri mengingatkan pembentuk UU agar segera membentuk lembaga peradilan khusus sengketa Pilkada sesuai amanat putusan MK No. 97/PUU-XI/2013. Baca Juga: MK-MA Ingatkan Pembentukan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada   

Pasal 157 UU No. 1 Tahun 2016 tentang Pilkada:
(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
(4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.

Juru Bicara MK, Fajar Laksono Suroso berpendapat pembentukan badan peradilan khusus sebelum pilkada serentak nasional pada 2024 menjadi sebuah keharusan. Namun, Fajar mengaku agak pesimis badan peradilan khusus bisa dibentuk sebelum tahun 2024. Apalagi, sebagian pihak sudah merasa familiar bersengketa hasil pilkada di MK. Ada pertimbangan sosiologis ketika kewenangan penanganan sengketa Pilkada dikembalikan lagi ke MK.

“Tetapi setelah putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 itu, ini sudah jelas ini bukan kewenangan MK,” kata Fajar di Gedung MK beberapa waktu lalu.

Dia menilai rumusan pembentukan badan peradilan khusus sengketa pilkada tidak dijelaskan secara gamblang dalam UU Pilkada. Artinya, konsep lembaga peradilan khusus belum jelas. “Jadi ini sangat abstrak,” ujarnya.

Dia mengakui lembaga kekuasaan kehakiman hanya MK dan MA. Maka, ketika MK tak lagi berwenang seharusnya menjadi kewenangan MA, tetapi MA sendiri secara tegas menolak apabila kewenangan ini dikembalikan lagi ke lembaga peradilan. Yang pasti, konsep model lembaga peradilan khusus pilkada ini menjadi kewenangan penuh pembentuk UU. Misalnya, apakah kedudukan badan peradilan khusus ini bersifat sentralistik seperti MK yang berdomisili di Jakarta atau peradilan khusus Pilkada yang ada di masing-masing daerah.

“Nah, seperti ini tidak dijelaskan rambu-rambunya di UU Pilkada. Makanya pembentuk UU itu harus segera mengatur konsep peradilan pilkada ini secara spesifik sekaligus menentukan unsur-unsur pendukungnya,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Sumatera Barat, Feri Amsari berpandangan persoalan ini masalahnya di pemerintah dan DPR. Pasalnya, kedua belah pihak nampaknya belum menunjukan komitmennya mematuhi putusan MK. Namun, MK nampaknya bimbang menaati terhadap putusan yang diambilnya sendiri. Soalnya hingga kini pun MK masih menyidangkan perkara sengketa Pilkada.

Bahkan terkesan, MK mengabaikan putusan yang dibuat sendiri. Seharusnya, kata Feri, adanya surat khusus yang isinya memberikan tenggat waktu kepada pemerintah dan DPR untuk segera membentuk badan peradilan khusus sesuai ketentuan yang digariskan MK. “Kalau sampai tidak dibentuk-bentuk, maka MK tanggung jawabnya (menangani sengketa Pilkada, red),” ujarnya. Baca Juga: Patuh Aturan, MK Siap Tangani Sengketa Pilkada

Terpisah, anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan mengatakan pembentuk UU Pilkada dan Pemilu masih mengkonstruksikan dua hal. Namun upaya tersebut sebagai upaya affirmative action. Alasannya, agar mengedepankan penegakan hukum yang formil, terstruktur dan induknya ke MK. Sedangkan nonformil yakni extra judicial system yakni berada di lembaga  pengawasan pemilu alias Bawaslu. “Saat ini, keduanya berjalan.”

Namun, ketika diberikan kewenangan sengketa pilkada ke pengadilan yang berinduk ke Mahkamah Agung (MA), boleh jadi hakim-hakim tersebut belum memahami rezim Pilkada. “Ketika diserahkan ke Bawaslu dipastikan memahami persoalan pilkada/pemilu, namun tidak memahami lembaga peradilan mengadili orang. Saat ini melalui UU Pilkada dan RUU sekarang, kita melakukan upaya affirmative action,” ujarnya kepada hukumonline.

Konsep ideal
Dia mengakui kewenangan MK menangani sengketa Pilkada hanya bersifat sementara sampai terbentuknya lembaga peradilan khusus sengketa pilkada. Arteria berpendapat kalau konsisten terhadap bentuk lembaga peradilan seharusnya menginduk ke MA. Makanya, Komisi II bersama dengan MA sedang membenahi dan membangun sistem peradilan pilkada/pemilu yang ideal.

“Kelembagaanya dan sistemnya dibangun, begitu pula aparaturnya dipersiapkan. Konsep tersebut sedang berjalan.Sampai kapan, batasan UU sampai dilaksanakannya Pilkada serentak secara penuh pada 2024 mendatang,” ujarnya.

Arteria  menilai konsep ideal penanganan sengketa Pilkada, hanya terdapat satu lembaga pengadilan. Yakni satu mahkamah khusus menyelesaikan seluruh sengketa pilkada/pemilu. Kemudian membuka ruang seluas-luasnya kepada pengawas pemilu termasuk pemantau pun diperbolehkan melakukan pengawasan. Begitu pula pihak ketiga yang peduli dengan demokrasi sepanjang teregister diperbolehkan melakukan pengawasan. Baca Juga: Bagir Manan: Sengketa Pemilukada Perlu Pengadilan Khusus

Feri Amsari berpandangan lembaga pengadilan sengketa Pilkada semestinya berada di bawah MA. Sebab, bila menjadi lembaga peradilan khusus dengan sendirinya masuk dalam lingkungan peradilan umum yang bersifat khusus. “Kalau peradilan dia mesti nyantol di MA, dari empat lingkungan peradilan itu, dia mestinya ada di lingkungan peradilan umum, itu sebabnya dia disebut sebagai peradilan khusus,” ujarnya.

Harus UU Khusus
Pembentukan badan peradilan khusus sejatinya mesti dituangkan dengan UU khusus. Seperti halnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terdapat dalam  UU No. 20 Tahun 2002 tentang KPK. Sebab, MK pernah membatalkan pembentukan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan UU KPK. Alhasil, MK menyatakan aturan pembentukan Pengadilan Tipikor atas dasar UU KPK inkonstitusional. Alasannya, menurut UUD 1945, pembentukan peradian khusus mesti diatur dalam UU tersendiri, bukan di dalam UU (lain).

“Jadi kalau membentuk sebuah lembaga pengadilan itu harus dengan UU tersendiri, tidak boleh disisipkan dalam UU yang mengatur soal peradilan secara umum,” kata Feri mengingatkan.

Feri pun sependapat dengan Fajar, menurutnya, konsep ideal pembentukan dan pengaturan badan peradilan khusus menjadi keharusan dengan UU. Mulai aturan komposisi hakim, ruang lingkup kewenangan, sekretariat, sistem hukum acaranya, dan aparaturnya mesti dituangkan dengan UU secara rinci. Ia membayangkan badan peradilan khusus seperti halnya MK yang polanya sentralistik, serta putusannya bersifat final dan mengikat.

“Saya pikir ke UU tersendiri dengan konsep kelembagaan dan hukum acaranya,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.

Ia menilai apabila badan peradilan khusus berada di daerah-daerah bakal rentan terjadi konflik karena dekat dengan sumber konflik. “Sekarang di Jakarta saja, orang sudah mulai berani membuat kericuhan di sidang MK. Apalagi di daerah, setiap ada pilkada hancur itu nanti, sampai nanti dibakar,” ujarnya.

Berbeda, Arteria menilai badan peradilan khusus sengketa pilkada ini nantinya bakal menginduk ke UU Pilkada dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Pemilu. Menurutnya, badan peradilan khusus pun bakal menjadi pembahasan dalam RUU Pemilu mengingat pembentukannya tak kunjung terwujud. “Badan peradilan khusus nantinya bakal menginduk ke UU Pilkada dan UU Pemilu,” kata Politisi dari PDIP ini.
Tags:

Berita Terkait