Defisit Belum Teratasi, BPJS Kesehatan Dapat Suntikan Dana Rp3,8 Triliun
Berita

Defisit Belum Teratasi, BPJS Kesehatan Dapat Suntikan Dana Rp3,8 Triliun

Tahun lalu juga sudah dapat suntikan dana Rp6,8 triliun.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES
Program Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang diselenggarakan sejak 2014 sampai saat ini masih mengalami defisit. Biaya manfaat yang harus dibayar BPJS Kesehatan lebih besar daripada iuran yang masuk. Pemerintah mencatat jumlah defisit yang mendera JKN terus meningkat dari Rp3,3 triliun (2014), Rp5,7 triliun (2015) dan Rp9,7 triliun (2016).

Pemerintah menyiapkan beberapa skenario untuk menangani persoalan tersebut. Direktur Keuangan BPJS Kesehatan, Kemal Imam Santoso, mengatakan tahun ini pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp3,8 triliun untuk dialokasikan dalam Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan. Tapi dia belum mengetahui bagaimana dana itu akan dicairkan apakah melalui mekanisme penyertaan modal negara (PMN) atau yang lain.

“APBN tahun ini pemerintah telah menganggarkan tambahan dana untuk BPJS Kesehatan, Rp3,8 triliun,” katanya di Jakarta, Senin (10/4). [Baca juga:Kendalikan Defisit JKN, Pemerintah Akan Perbaiki Regulasi].

Kemal mengatakan selama ini BPJS Kesehatan telah berupaya mencegah terjadinya defisit seperti mengelola resiko dan menyelenggarakan kegiatan promotif dan preventif untuk menjaga kesehatan masyarakat. Ada juga program penanganan penyakit kronis melalui rujuk balik. Pada masa sebelumnya, BPJS Kesehatan telah menggunakan dana badan untuk mengatasi defisit.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, mengatakan salah satu penyebab defisitnya JKN yakni besaran iuran yang belum sesuai dengan aktuaria. Penyebab lain, masih ada sebagian peserta yang belum rutin membayar iuran. Akibatnya, program JKN-KIS mengalami defisit sehingga pemerintah perlu mengucurkan dana tambahan untuk BPJS Kesehatan.

“Tahun 2015 dana tambahan yang dialokasikan pemerintah Rp 5 triliun, tahun 2016 Rp6,8 triliun dan tahun 2017 turun menjadi Rp3,8 triliun,” ujarnya. (Baca juga: Ada BUMN Belum Patuh Aturan JKN, Begini Penjelasan Menteri Rini).

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, melihat sedikitnya 3 penyebab defisitnya program JKN-KIS. Pertama, regulasi terkait JKN-KIS yang diterbitkan pemerintah dan direksi BPJS Kesehatan. Misalnya, ketentuan batas atas iuran peserta penerima upah (PPU) sebagaimana diatur Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 sebesar Rp8 juta.

Sebelumnya, batas atas iuran PPU itu lebih besar yakni dua kali PTKP (Rp9 juta). "Makin besar batas atas semakin mendukung proses gotong royong dalam pelaksanaan JKN-KIS," urainya di Jakarta, Selasa (12/4). (Baca juga: Apindo Tolak Kenaikan Batas Atas Iuran BPJS).

Begitu pula batas atas kelas 1 dan 2 untuk PPU dari 1,5 PTKP telah diubah menjadi Rp4 juta. Jika 1,5 PTKP itu tetap dijalankan nilainya akan lebih tinggi yaitu Rp6,7 juta. Timboel berpendapat penetapan batas atas upah untuk kelas 1 dan 2 bagi PPU itu ditujukan pemerintah untuk menjaring lebih banyak peserta PPU. Namun, hasilnya tidak seperti harapan, jumlah peserta PPU per 28 Februari 2017 sebesar 10.127.263 jiwa dari total 43 juta pekerja di Indonesia.

Ada juga Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No.16 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penagihan dan Pembayaran Iuran JKN. Menurut Timboel regulasi itu tidak mampu menekan jumlah piutang iuran untuk peserta bukan penerima upah (PBPU). Dia mencatat piutang PBPU sampai akhir Februari 2017 mencapai Rp2, 44 triliun. Menurutnya direksi BPJS Kesehatan harus membuat sistem penagihan iuran yang dapat meminimalkan piutang iuran dari seluruh jenis kepesertaan. "Total piutang iuran bruto per 28 Februari 2017 sebesar Rp4, 53 triliun.

Kedua, kepesertaan yang belum ditangani optimal. Menurut Timboel direksi belum mampu melaksanakan amanat regulasi secara baik padahal Perpres No. 111 Tahun 2014 mewajibkan PPU menjadi peserta JKN paling lambat 1 Januari 2015. Ketiga, minimnya penegakan hukum, sehingga masih ada badan usaha yang belum mendaftarkan seluruh pekerjanya menjadi peserta JKN.

Tambahan anggaran dari APBN untuk BPJS Kesehatan dalam rangka mengatasi defisit bagi Timboel resiko itu akan terus terjadi jika masalah yang ada tidak diperbaiki. Seharusnya pembahasan mengenai defisit JKN itu dilakukan dan diputuskan pada APBN perubahan 2017 sehingga bisa dilihat secara jelas berapa total defisit yang ada. Timboel menilai yang paling penting dilakukan pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap kinerja direksi BPJS Kesehatan. (Baca juga: DJSN Minta BPJS Kesehatan Lebih Kreatif, Mengapa?).

"Saya berharap pemerintah dan DPR dapat melihat defisit JKN secara obyektif dan berani menjatuhkan sanksi tegas atas kinerja direksi yang tidak berprestasi," pungkas Timboel.
Tags:

Berita Terkait