Holding BUMN Pertambangan Belum Pasti Ambil Alih Divestasi Freeport
Berita

Holding BUMN Pertambangan Belum Pasti Ambil Alih Divestasi Freeport

Kementerian BUMN masih menunggu penunjukkan dari pemerintah untuk menerima pengaihlan divetasi saham PT Freeport Indonesia.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES
Rencana Holding BUMN Pertambangan untuk mengambil alih divestasi saham PT Freeport Indonesia masih belum jelas. Hal itu menyusul belum ditetapkannya keputusan penunjukan  dari pemerintah mengenai pihak yang akan mengambil alih 51 persen saham milik Freeport.

Staf Khusus Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan bahwa, pihaknya telah mengusulkan nama-nama yang akan masuk dalam tim untuk mewakili pemerintah saat proses negosiasi dengan Freeport. Namun, sejumlah nama yang diusulkan tersebut belum ditetapkan secara formal. Saat ini, Kementerian BUMN juga masih menunggu SK Menteri ESDM terkait penetapan tim negosiasi tersebut.

“Timnya baru diajukan ke Kementerian ESDM, (SK Menteri ESDM) formalnya belum keluar. Baru usulan nama-nama, peresmian nama-namanya belum,” ujar Budi, saat diwawancarai di Jakarta, Kamis (13/4).

Budi melanjutkan, pemerintah belum mengadakan pertemuan dengan Freeport karena masih menunggu SK Menteri ESDM terkait penetapan tim negosiasi itu. Terlepas dari hal itu, ia mengatakan bahwa, Kementerian BUMN melalui Holding BUMN Pertambangan belum ditunjuk oleh pemerintah untuk menerima divestasi saham Freeport. Pasalnya, regulasi mengatur bahwa divestasi saham harus ditawarkan secara berjenjang secara berurutan.

Bila mengacu pada PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,perusahaan tambang wajib melakukan divestasi secara bertahap paling sedikit 51% dari total sahamnya sejak akhir tahun kelima sesuai tahun produksi. Skema ini berlaku juga buat setiap pemegang IUP dan IUPK, termasuk pemegang saham yang melakukan tahap eksplorasi serta tahap operasi produksi yang dimiliki atau dikuasai penanam modal asing.
Skema Divestasi PP Nomor 1 Tahun 2017
Tahun ProduksiPersentase Divestasi Minimal
(dari Total Saham)
Tahun ke-6 20%
Tahun ke-7 30%
Tahun ke-8 37%
Tahun ke-9 44%
Tahun ke-10 51%

Yang patut dicatat, saham yang didivestasikan harus ditawarkan kepada pihak Indonesia, khususnya pemerintah baik itu pemerintah pusat dan daerah, BUMN/BUMD dan badan usaha swasta nasional. Dalam setiap penawaran, pemerintah pusat merupakan pihak yang didahulukan. Baru  kemudian setelah pemerintah pusat tidak bersedia, maka badan usaha yang melakukan divestasi menawarkan sahamnya secara berjenjang, pertama kepada Pemda, kedua kepada BUMN/BUMD, dan ketiga baru kepada badan usaha swasta nasional.

“Tetapi nanti memang, Kementerian ESDM kalau nanti ditugaskan, kita siap. Tapi memang prioritas kita nomor 3,” sebut Budi.

Selain itu, PP Nomor 1 Tahun 2017 mengatur, penawaran itu harus dilakukan paling lambat 90 hari sejak lima tahun setelah dikeluarkan IUP OP tahap penambangan badan usaha. Sebagai pengingat, sebelumnya, ketentuan divestasi dilakukan dengan skema penawaran yang berbeda bergantung pada dua hal, yakni apakah pemegang IUP OP atau IUPK OP melakukan sendiri kegiatan pengolahan atau pemurnian dan metode penambangan yang berbeda.

(Baca Ulasan Soal Wacana Pengambilalihan Freeport Melalui Holding BUMN Pertambangan: Holding BUMN Pertambangan ‘Modal’ Ambil Alih Divestasi Freeport)

Untuk diketahui, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Persero dipersiapkan menerima pengalihan saham dari Freeport Indonesia. Perusahaan berstatus plat merah itu, akan menampung pengalihan saham sebesar 9,36% milik pemerintah Indonesia. Hingga saat ini, status pengalihannya tinggal menunggu proses pembentukan Holding BUMN Pertambangan selesai dibentuk. Kementerian ESDM mentargetkan pembentukan holding ini rampung Juni 2017 mendatang.

Nantinya, holding ini akan punya struktur, yakni Inalum dijadikan sebagai induk holding, sementara PT Aneka Tambang (Persero) Tbk., PT Bukit Asam (Persero) Tbk., dan PT Timah (Persero) Tbk masing-masing berstatus menjadi anak usaha holding. Dari sisi regulasi, pemerintah hanya perlu satu Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur sangat teknis terkait pengalihan transaksi pengalihan saham dari Antam, Timah, dan Bukit Asam kepada Inalum. Sementara, satu PP yang diperlukan sudah terbit akhir tahun lalu, yakni PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan Modal dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN.

Hukumonline.com
Sumber: Kementerian BUMN

Dalam kesempatan sebelumnya, Budi mengatakan bahwa Holding BUMN Pertambangan dipersiapkan salah satunya untuk membiayai pelepasan saham Freeport.Pembentukan holding BUMN industri pertambangan itu sendiri diharapkan dapat mencapai tiga sasaran yang ditetapkan pemerintah. Pertama, dapat menguasai cadangan dan sumber daya mineral dan batubara di Indonesia. Kedua, menjalankan program hilirisasi dan kandungan lokal. Dan yang ketiga, holding ini diharapkan membuat menjadi salah satu perusahaan kelas dunia khususnya di sektor pertambangan.

Masing-masing strategi dipersiapkan, diantaranya dengan melakukan akuisisi perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia yang sudah melakukan produksi atau melakukan eksplorasi sumber daya mineral yang saat ini belum dikelola di Indonesia. Strategi lainnya, bisa dengan melakukan kerjasama investasi dengan perusahaan pengolahan global, misalnya membangun bisnis downstream yang diprioritaskan juga sebagai offtaker.

Proforma keuangan holding BUMN industri pertambangan bila diasumsikan menggunakan laporan keuangan per Desember 2015, akan memiliki total aset, liabilitas, dan ekuitas masing-masing Rp 106 triliun, Rp 24 trilun, dan Rp 82 triliun. Total aset itu tentunya sudah disatukan antara Antam, Timah, Bukit Asam, dan Freeport dengan skema persentase masing-masing.

Dikatakan Budi, rencana holding BUMN industri pertambangan ini jangan sampai gagal. Pasalnya akan ada banyak keuntungan yang didapat setelah dibentuk induk usaha ini. Antara lain, dengan dilakukan holding, maka perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia dapat diakuisisi. Dengan begitu, risiko akan bisa diminimalisir saat melakukan investasi besar sepanjang posisi keuangan suatu perusahaan tersebut kuat. Sebab, perusahaan pertambangan skala kecil justru punya rata-rata biaya operasional yang lebih besar.

“Ngga harus 100% di kita. Kita bisa joint venture juga dengan mereka atau dengan yang lainnya. Skemanya banyak opsi, terbuka opsi. Tapi sekali lagi, penugasan itu belum ada sampai sekarang. Terus terang belum kepikiran di kita, karena kan wewenanganya ada di Kementerian ESDM. Tapi kalau nanti ditugaskan, ya dijalankan,” papar Budi.

(Baca Posisi Freeport dari Berbagai Regulasi di Indonesia: Mencermati Posisi Freeport dari UU Minerba, Kontrak Karya, serta MoU)

Sebagai gambaran, di Indonesia sendiri telah ada empat holding yang terbentuk. Pertama terbentuk holding semen Indonesia yang terdiri dari PT Semen Gresik, PT Semen Padang, dan PT Semen Tonasa. Lalu, holding BUMN PT Pupuk Indonesia dimana PT Pupuk Sriwidjaja sebagai induk perusahaan yang membawahi sejumlah anak perusahaan yakni PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Srwidjaja Palembang, PT Rekayasa Industri, PT Mega Eltra, PT Pupuk Indonesia Logistik, PT Pupuk Indonesia Energi, PT Pupuk Indonesia Pangan.

Kemudian, holding BUMN perkebunan dan kehutanan yang merupakan peleburan 14 BUMN perkebunan, yakni PTPN I hingga PTPN XIV di bawah PT Perkebunan Nusantara III (Persero). Adapun holding BUMN kehutanan merupakan penyatuan lima BUMN kehutanan, mulai dari PT Inhutani I sampai PT Inhutani V. Dan yang terakhir holding BUMN perkebunan dimana PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III sebagai induk yang membawahi 13 PTPN lainnya.

“Dan memang track recordnya ngga bagus,” sebut Budi.

Budi tidak ingin apa yang sebelumnya terjadi pada empat holding itu terjadi di holding BUMN industri pertambangan. Sebagai gambaran, perjalanan holding empat BUMN tersebut tersendat persoalan koordinasi. Dengan kata lain, meskipun mereka telah menginduk, masing-masing anak usaha BUMN itu malah berjalan masing-masing. Budi tak ingin holding BUMN industri pertambangan itu mengekor kisah yang terjadi di empat holding tersebut.

“Saya ngga bilang ini akan berhasil 100%. Kita belajar dari holding empat itu,” kata Budi.

(Baca Ulasan Soal Peluang Indonesia Menang Saat Arbitrase dengan Freeport: Periksa Due Dilligence Freeport, Lihat Peluang Indonesia Menang di Arbitrase Internasional)

Ketua Indonesian Mining Institute, Irwandy Arif, dalam kesempatan sebelumnya, menyambut baik pembentukan induk BUMN industri pertambangan. Bahkan, ia berpendapat mestinya holding tersebut sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Sama halnya dengan yang dilakukan pemerintah sekira akhir tahun 1957-an, ia yakin holding BUMN industri pertambangan ini akan menjadi motor penggerak ekonomi seperti saat dulu terjadi krisis tahun 1997-1998.

“Akhir tahun 1957an, pemerintah mulai melakukan nasionalisasi terhadap fasilitas publik berkaitan hajat hidup orang banyak. Perusahaan yang dinasionalisasi, perusahaan listrik, perumtel (Telkom), jawatan kereta api, jawatan pegadaian, pos dan giro, jawatan angkutan motor (Damri). Hasil nasionalisasi, menjadikan BUMN sebagai tumpunan pembangunan ekonomi awal orde baru,” kata Irwandy di Jakarta, Kamis (23/2) lalu.

Namun, ia khawatir lantaran saat holding BUMN industri nantinya resmi terbentuk, PT Inalum dan kawan-kawan ini akan dihadapkan pada satu isu krusial mengenai ketersediaan cadangan mineral dan batubara yang tersimpan di bumi Indonesia. Pada prinsipnya Indonesia memang kaya akan sumber daya mineral dan batubara, hanya saja data yang dirujuk Irwandy menunjukkan sebaliknya. Akan segera muncul masa dimana cadangan mineral dan batubara benar-benar menjadi tantangan selanjutnya.

Karenanya, ia mendorong ketika holding BUMN industri pertambangan resmi terbentuk, perlu ada yang berperan secara aktif menjaga rasio cadangan mineral dan batubara. Patut dicatat, cadangan mineral dan batubara punya peran penting ditengah upaya pemerintah dalam mengembangkan hiliriasasi mineral dan batubara. Regulasi serta kebijakan yang terbit, boleh jadi masih banyak menuai pro kontra, namun peran holding BUMN industri pertambangan untuk mengawal isu keterbatasan cadangan mineral dan batubara punya posisi strategis memberikan pengaruh bagi pelaku usaha pertambangan lainnya.

“Indonesia tidak boleh berpuas diri dengan pendapat yang selama ini bahwa negara ini kaya akan sumber daya mineral dan batubara. Secara relatif, negara kita memiliki cadangan sumber daya mineral yang cukup besar, namun dari rasio per kapita, disana relatif kecil dibandingkan dengan negara penghasil mineral lain,” tutup Irwandy.

Tak berhenti di isu soal keterbatasan cadangan mineral, rencana pembentukan holding BUMN industri pertambangan ini punya irisan dengan isu hukum terutama menyoal transisi yang harus diselesaikan pasca konsolidasi. Sebelumnya, Peneliti bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Muhammad Faiz Aziz memetakan paling tidak terdapat tiga potensi isu hukum yang mungkin mencuat pasca dilakukan holding.

(Baca Ulasan Soal Analisa Hukum Wacana Holding BUMN: Tiga Persoalan Hukum di Balik Wacana Holding BUMN)

Pertama, isu persaingan usaha sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Aziz melihat, ada potensi terkait dengan oligopoli, pembagian wilayah, integrasi vertical, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, hingga trust. Kuncinya ada di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Pasal 35 huruf e UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur bahwa KPPU dapat memberika saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik persaingan usaha tidak sehat.

“Ini mesti dilihat secara detail, bisa jadi mereka masuk kategori merger, akuisisi, dan konsolidasi. Bisa jadi masuk ke oligopoly atau bisa jadi ke trust,” kata Aziz pertengahan Februari tahun lalu.

Kedua, potensi yang berkaitan dengan aspek pasar modal. Menurut Aziz, potensi ini terutama berkaitan dengan BUMN yang berstatus sebagai perusahaan terbuka (Tbk.). sebab, pembentukan induk ini punya potensi terhadap kepemilikan saham di perusahaan terbuka. Penting dicek juga tiga regulasi terkait, diantaranya Peraturan Bapepam No. IX.H.1 tentang Pengambialihan Perusahaan Terbuka, Peraturan Bapepam No.IX.G.1 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten, dan Peraturan Bapepam No.IX.F.1 tentang Penawaran Tender.

(Baca Ulasan Menarik Soal: Mengintip Dampak Holding BUMN Dari ‘Kacamata’ Internal BUMN)

Terakhir, adalah potensi terkait status anak usaha BUMN. Bagi Aziz, Pasal 1 angka 1 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara punya konsekuensi bahwa yang masuk kategori sebagai BUMN hanyalah perusahaan induk saja atau holding. Tetapi, belakangan pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 72 Tahun 2016, yakni perubahan dari aturan sebelumnya PP Nomor 44 Tahun 2005.

Partner dari firma hukum Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP) Law Firm, Muhammad Karnova berpendapat aturan tersebut menjadi modal penting dalam rencana holding BUMN industri pertambangan. Kekhawatiran mengenai bagaimana status anak usaha BUMN pasca dilakukan pembentukan holding menjadi clear. Sebab, ketika anak usaha BUMN tidak dianggap sebagai BUMN, maka anak usaha BUMN berpotensi kehilangan hak-hak khusus yang dimiliki BUMN.

“PP Penyertaan (PP Nomor 72 Tahun 2016) itu jadi modal rencana Holding BUMN. Karena di sana disebutkan anak perusahaan BUMN dianggap jadi BUMN. (maka) akan disamakan treatment-nya,” sebut Karnova di Jakarta, Kamis (23/2).

Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2A (7) PP Nomor 72 Tahun 2016 yang mengatur bahwa anak usaha perusahaan wajib diperlakukan sama dengan BUMN dalam hal mendapat penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum dan mendapat kebijakan khusus negara atau pemerintah termasuk pengelilaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. Selain itu, anak usaha juga berhak memperolah hak pengelolaan dan kegiatan perluasan lahan serta ikut serta dalam kegiatan kenegaraan atau pemerintahan yang melibatkan BUMN.

“Jadi kekhawatiran kehilangan status BUMN sehingga hilangnya hak-hak preferensial itu menjadi tidak ada. Ini jadi satu modal yang baik, khususnya konsolidasi BUMN ini,” tutup Karnova.

Terlepas dari holding BUMN industri pertambangan, setidaknya ada tiga alasan penting kenapa pembentukan holding BUMN secara umum mesti dipercepat. Pertama, pembentukan holding diharapkan memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi. Holding BUMN yang besar dan kuat akan menigkatkan kontribusi revenue BUMN terhadap GDP yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp 1,969 triliun. Kedua, pembentukan holding diharapkan menjadi pelengkap kapasitas pembangunan infrastruktur negara.

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo fokus mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di sejumlah sektor dengan atau tanpa membebani anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD. Bila holding ini terbentuk, nantinya negara akan punya peningkatan kemampuan belanja proyek atau modal BUMN di sektor infrastruktur yang tahun ini telah dianggarkan sebesar Rp 313,5 triliun.

Selain dua alasan penting tersebut, alasan lain kenapa pembentukan holding BUMN mesti dipercepat agar kapasitas pinjaman untuk pembangunan bisa ditingkatkan. Dengan holding BUMN yang besar dan kuat, negara akan bisa meningkatkan nilai investasi negara dan ekuitas BUMN yang mana tahun ini telah dianggarkan sebesar Rp 1,969 triliun.

Sebagai informasi, pemerintah berencana membuat enam holding BUMN antara lain sektor konstruksi dan jalan tol, sektor perumahan, sektor energi, sektor perbankan dan jasa keuangan, dan sektor pangan, serta sektor industri pertambangan.

Tags:

Berita Terkait