Perbankan Tak Akan Buka Transaksi Keuangan Nasabah Domestik Bila Tanpa Batasan
Berita

Perbankan Tak Akan Buka Transaksi Keuangan Nasabah Domestik Bila Tanpa Batasan

Terkait pertukaran data nasabah WNA, Perbanas setuju karena itu kesepakatan negara G-20 dalam era AEoI. Tetapi, menyoal keterbukaan data nasabah domestik (WNI), Perbanas ingin tidak sembarang. Mereka beri usulan kepada DJP terkait syarat-syarat data nasabah domestik yang dapat dibuka terkait kepentingan perpajakan.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Logo Perbanas. Foto: perbanas.org
Logo Perbanas. Foto: perbanas.org
Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) berkomitmen untuk mendukung ikut sertanya pemerintah dalam era pertukaran informasi secara otomatis antarnegara atau dikenal dengan Automatic Exchange of Information (AEoI) terkait perpajakan pada September 2018 mendatang. Mereka juga siap memberikan data transaksi milik nasabah warga negara asing kepada otoritas pajak untuk dipertukarkan secara resiprokal.

Ketua Umum Perbanas, Kartika Wiroatmodjo, mengatakan payung hukum pelaksanaan pertukaran data transaksi keuangan nasabah warga negara asing berupa Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pertukaran Informasi Secara Otomatis untuk Kepentingan Perpajakan memang belum terbit. Namun, pada prinsipnya, perbankan di Indonesia telah berkomitmen untuk mematuhi kewajiban pelaporan aktiva nasabah warga negara asing.

“Seperti misalnya FATCA (Foreign Account Tax Complience Act), warga negara Amerika Serikat yang buka akun di Indonesia harus dilaporkan ke otoritas pajak di Amerika,” kata pria yang akrab disapa Tiko, di Jakarta Kamis (13/4) pekan lalu. 

Dalam FATCA, lanjut Tiko, perbankan diminta untuk memberikan informasi kepada otoritas pajak Amerika Serikat terkait akun keuangan yang dimiliki oleh warga Amerika Serikat dan memberlakukan non-compliance penalty berupa 30% withholding tax atas dana yang dikeluarkan dari US bagi lembaga jasa keuangan yang tidak patuh. Sama halnya dengan AEoI, perbankan dipastikan tidak mengalami kesulitan penerapan pertukaran informasi transaksi keuangan nasabah. Meskipun serupa, AEoI dan FATCA punya sedikit perbedaan.

Dalam FATCA, kesepakatan pertukaran informasi berlaku secara bilateral antara Amerika Serikat dengan negara/yurisdiksi lain sesuai dengan perjanjian (Inter Governmental Agreement/IGA) dan tidak secara otomatis. Kebijakan ini sendiri merupakan salah satu upaya pemerintah Amerika Serikat dalam menyingkap dan membuka penyalahgunaan pajak yang dilakukan warganya yang memiliki dana di luar negeri. Lembaga jasa keuangan diminta memberikan laporan kepada United States Internal Revenue Services (IRS) dimana penduduk Amerika Serikat memegang kepemilikan yang signifikan (substantial ownership interest).

“Yang agak melebar pembicaraannya, apakah itu akan berlaku juga untuk membuka data nasabah dalam negeri. Itu harus ada trigger-nya (pemicunya),” sebutnya.

Hingga saat ini, Perppu tentang Pertukaran Informasi Secara Otomatis untuk Kepentingan Perpajakan tinggal menunggu restu Presiden Joko Widodo. Perbanas sendiri, lanjut Tiko, khawatir bila substansi yang diatur melalui regulasi itu juga berlaku buat nasabah domestik. Namun, bukan berarti perbankan tidak ingin mendukung pertukaran data transaksi nasabah perbankan domestik, hanya saja Perbanas meminta sejumlah prasyarat sebelum membuka data transaksi keuangan nasabah perbankan domestik.

Seperti misalnya pembukaan data transaksi keuangan nasabah domestik oleh perbankan kepada Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Kata Tiko, setiap harinya perbankan melakukan kewajiban pelaporan terkait transaksi yang dianggap mencurigakan kepada PPATK. Merujuk PP Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, penyedia jasa keuangan yang di dalamnya termasuk bank wajib melaporkan setiap transaksi keuangan yang mencurigakan kepada PPATK.

“Setiap hari kita itu melaporkan transaksi mencurigakan ke PPATK. Itu sudah berjalan dan ada trigger-nya. Jadi, ngga semua data yang dikirim. Ini yang sedang kita sampaikan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” kata Tiko.

Kewajiban pelaporan oleh bank kepada PPATK memang ditetapkan prasyaratnya. Ada empat jenis transaksi mencurigakan yang wajib dilaporkan. Pertama, transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari si pengguna jasa yang bersangkutan. Kedua, transaksi yang dilakukan untuk mengelabui pelapor. Ketiga, transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Dan yang terakhir, transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana. Tak cuma penyedia jasa keuangan, aturan pelaksana dari UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) ini menetapkan kalangan profesi seperti advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT) untuk menerapkan prinsip know your customer (KYC) saat menjalankan kegiatannya.

(Baca Juga: Ini Pihak-Pihak Wajib Lapor PPATK Terkait Transaksi Mencurigakan)
Jenis PelaporLaporanJangka Waktu
Penyedia jasa keuangana)    Transaksi keuangan yang mencurigakan;
b)    Transaksi yang nilainya Rp 500 juta atau setara (rupiah atau mata uang asing), baik dalam satuu transaksi maupun beberapa pada hari yang sama; dan/atau
c)    Penyaluran dana dari dan ke luar negeri

a)    3 hari kerja (maksimal) setelah lembaga bersangkutan mengetahui adanya transaksi keuangan mencurigakan;
b)    14 hari kerja (maksimal) sejak terjadinya transaksi; dan
c)    14 hari kerja (maksimal) sejak tanggal terjadinya transaksi.
Penyedia barang dan/atau jasa lainMelaporkan transaksi pengguna jasa dalam rupiah maupun mata uang asing dengan nilai Rp 500 juta atau setara.14 hari kerja sejak tanggal terjadinya transaksi.
 
Tiko melanjutkan, Kemenkeu, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak/DJP) belum merespon permintaan Perbanas mengenai persyaratan pembukaan data transaksi keuangan nasabah domestik. Ia menjelaskan, poin yang disampaikan kepada DJP, diantaranya adalah pertukaran data transaksi nasabah domestik diharapkan didahului adanya dugaan terlebih dulu, dalam arti tidak serta merta diberikan secara otomatis. Selain itu, data yang dipertukarkan juga tidak secara keseluruhan, melainkan data yang punya keterkaitan saja.
“Tapi kalau data yang ditarik itu adalah data yang sudah ada indikasi awalnya penghindaran pajak. Mungkin saya kira nasabah lebih comfortable karena ada prasyarat penarikan data yang berdasar kecurigaan. Ini perlu ada penjelasan mengenai trigger-trigger apa untuk pembukaan data nasabah tadi. Apakah melebihi transaksi normal. Tetapi bukan databoks yang semua data dibuka itu juga tidak efisien mereka juga analisanya akan mulai darimana gitu,” tutup Tiko.

Sebelumya, Direktur PerpajakanInternasional Ditjen Pajak pada Kementerian Keuangan, Poltak Maruli JohnLiberty Hutagaol, mengatakan bahwa Perppu tentang Pertukaran Informasi Secara Otomatis untuk Kepentingan Perpajakan menyasar nasabah perbankan asing sebagaimana kesepakatan negara G-20 saat era AEoI. John menyebutkan, terkait nasabah perbankan domestik apakah juga diikutkan pertukaran, ia mengaku masih belum dilakukan pembahasan.

“Ini sedang dibahas. Fokusnya ke nasabah asing untuk penuhi nasabah internasional. Itu nanti ya, akan dibahas dengan DPR,” kata John pertengahan Maret kemarin.

Ikut sertanya Indonesia dalam era AEoI bukanlah tanpa syarat. John melanjutkan, perlu ada tambahan regulasi agar Indonesia dianggap layak mengikuti era keterbukaan informasi. Sebagai salah anggota dari Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose, Indonesia diwajibkan memenuhi regulasi domestik paling lambat 30 Juni 2017.

(Baca Ulasan Menarik tentang Persiapan Indonesia Jelang AEoI: Regulasi yang Harus Dipersiapkan Jelang Implementasi Automatic Exchange of Information)

Jika tak memenuhi persyaratan hingga akhir Juni 2017, Indonesia harus menerima konsekuensi ditetapkan sebagai negara dengan status fail to meet its commitment. DJP sendiri saat ini fokus menyelesaikan sejumlah regulasi yang dinilai menghambat implementasi keterbukaan informasi yang berkaitan dengan upaya pembukaan data nasabah untuk kepentingan pajak.

Regulasi yang disiapkan, yakni revisi UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU KUP). Salah satu substansi dalam UU KUP dinilai menghambat otoritas pajak karena hanya memiliki akses informasi perbankan yang terbatas.

“DJP diberikan power penuh untuk mengakses data atau informasi keuangan milik nasabah. Ini standar internasional, bukan untuk DJP saja. Katakan, (misalnya) Singapura juga begitu, ini dalam rangka menjalankan AEoI. Indonesia ini harus memenuhi standar minimum, kalau tidak, kami tidak diikutkan (dalam AEoI),” jelas John.

Pasal 35 UU KUP mengatur otoritas dimungkinkan untuk dapat mengakses data perbankan selama ada permintaan dari Menteri Keuangan sepanjang wajib pajak (WP) sedang dalam pemeriksaan, penyidikan atau penagihan. Artinya, jika wajib pajak tidak dalam pemeriksaan, penyidikan, atau penagihan, otoritas pajak tidak dapat mengakses data perbankan WP.

(Baca Juga: Penuhi Syarat Automatic Exchange of Information Lewat Revisi KUP)

Sebetulnya, DJP telah menerbitkan regulasi untuk mengatasi hambatan itu, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.010/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PMK No. 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi. Pasal 3A Angka 7 aturan tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pertukaran informasi secara otomatis, nasabah secara sukarela memberikan persetujuan/ pernyataan/ surat kuasa/ instruksi tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk memberikan informasi kepada DJP melalui otoritas terkait.

“Jadi kita sekarang sedang fokus mem-follow up penyelesaian UU KUP. Sekarang sudah sampai di DPR. Ini akan kita jadikan lex specialis, nanti itu akan mengatur mengenai pelaksanaan keterbukaan informasi,” tambah John.

(Baca Juga: Kebut Revisi UU Demi Mengejar Implementasi Automatic Exchange of Information)

Tak hanya UU KUP, John menilai ada peraturan lain yang dinilai menghambat implementasi AEoI terkait aspek kerahasiaan perbankan, antara lain UU No. 10 Tahun 1998  tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, lalu UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan UU No. 21 Tahun 2008  tentang Perbankan Syariah. Misalnya, Pasal 44A UU Perbankan mengatur akses terhadap data perbankan dapat dilakukan selama ada permintaan tertulis dari Menkeu dengan mencantumkan nama pejabat pajak, nama dan nomor rekening nasabah, maupun alasan permintaan.

Sebagai solusinya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 4 Desember 2015 menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 25/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Melalui aturan ini, LJK wajib menyampaikan laporan kepada otoritas pajak berupa informasi nasabah asing terkait perpajakan untuk diteruskan kepada otoritas negara mitra atau yurisdiksi mitra.

(Baca Juga: Kata OJK Soal Rencana Penghapusan Prinsip Kerahasiaan Perbankan)

“Dari pihak perbankan sudah mengatakan, pada waktu dia (nasabah) isi formulir baik di bank, asuransi, pasar modal, atau perusahaan jasa keuangan lainnya. Mereka (nasabah) membuat pernyataan bahwa data mereka siap untuk di pertukarkan atau dibuka untuk tujuan misalnya yang diminta pemerintah,” kata John.

Dikatakan John, selain melakukan revisi atas empat undang-undang diatas, ada opsi dari pemerintah untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai payung hukum. Sejauh ini, Perppunya masih dibahas. Fokusnya mengatur penerapan AEoI terkait nasabah khusus Warga Negara Asing (WNA). Lantas apakah era AEoI ini tidak berlaku buat Warga Negara Indonesia (WNI)?

John menjelaskan, AEoI memang hanya untuk nasabah asing. Sementara, untuk keterbukaan informasi nasabah domestik, akan dibuat regulasi tersendiri yakni mengenai BEPS. Aturan itu masih dalam tahap perancangan regulasi. Mengenai waktu terbitnya, John belum bisa menceritakan. Namun yang pasti, aturan itu disebut-sebut akan terbit dalam waktu yang tidak begitu lama lagi.

“Jadi jangan kita membuat celah sehingga kita tidak diikutkan. Semua masyarakat harus mendukung. Kita perlu ini (AEoI), supaya program-program pemerintah seperti Nawacita, Infrastruktur, bisa dibiayai oleh rakyatknya sendiri. karena kapasitas pajak kita besar sekali apalagi dengan adanya keterbukaan, semuanya menjadi kelihatan,” Tutup John.

Sementera itu, Anggota Komisi XI DPR, Andreas Eddy Susetyo mengatakan Indonesia jika dinilai dari segi ketersediaan informasi, akses terhadap informasi, serta mekanisme pertukaran informasi mendapat rating “partially compliant”. Penilaian itu berangkat dari temuan Global Forum dimana otoritas pajak Indonesia hanya memiliki akses informasi perbankan yang terbatas.

“Di Indonesia ada undang-undang yang dianggap akses informasi itu tidak bisa berjalan secara otomatis. Artinya, kalau kita ingin meminta data nasabah kita yang ada di luar negeri, itu mereka bisa menolak permintaan kita. Padahal kepentingan kita yang jauh lebih besar daripada mereka,” kata Eddy.

Eddy menambahkan, pertemuan G-20 pada Juli 2017, OECD akan memberikan daftar negara-negara yang dianggap tidak koperatif (non-cooperative jurisdiction) yang mana dinilai dari tiga kriteria. Pertama, negara tersebut mendapat rating partially compliant maupun non-compliant saat peer review assessment. Di sini, dari kriteria itu Indonesia ditetapkan sebagai negara yang tidak kooperatif.

Kriteria kedua adalah tidak berkomitmen mengimplementasikan AEoI berdasarkan format Common Reporting Standard (CRS) paling lambat tahun 2018. Di sini, Indonesia telah berkomitmen di tahun 2018, pedoman CRS sendiri sudah dimiliki dengan diterbitkannya Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 16/SEOJK.03/2017 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing terkait Perpajakan dalam Rangka Pertukaran Informasi Secara Otomatis Antarnegara dengan Menggunakan Standar Pelaporan Bersama (Common Reporting Standard).

Kriteria ketiga, negara harus menandatangai Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC). Indonesia sendiri untungnya telah meratifikasi konvensi tersebut. “Saya lihat, Indonesia harus bisa memenuhi ketentuan internasional tersebut supaya bisa dianggap sebagai negara kooperatif. Bukan hanya KUP, Bank, Perbankan Syariah, dan Pasar Modal. sehingga bisa secara regular bisa serahkan informasinya,” kata Eddy.

Era AEoI Tak Bakal Pengaruhi Bisnis Perbankan
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad, mengatakan bahwa Kementerian Keuangan memegang peranan besar dalam menyusun perppu tersebut. Maka dari itu, sebagai pimpinan regulator industri jasa keuangan, dia berharap Perppu tersebut juga sudah memerhatikan dampak terhadap penghimpunan DPK perbankan.

"Nanti kita liat di Perppu bagaimana isinya tapi kan mestinya tidak sampai mengganggu, kalau mengganggu kan jadi kontraproduktif," kata Muliaman di Jakarta, Selasa (11/4) pekan lalu.

Hal senanda juga disampaikan Presiden Direktur PT. Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja. Ia mengaku tidak begitu menganggap masalah terbitnya Perppu yang akan mewajibkan bank membuka data rekening nasabah untuk kepentingan perpajakan tersebut. Apalagi era AEoI ini sudah disepakati secara global dan bukan hanya Indonesia yang akan menetapkan keterbukaan data untuk kepentingan pajak tetapi juga ratusan negara-negara lainnya yang menyepakati AEoI.

"Ya semua perlakuan sama di negara manapun. Lagipula sudah amnesti pajak, seharusnya semua data sudah dilaporkan di amnesti pajak kan," ujarnya.

Namun, Anggota Komisi XI DPR RI Junaidi Auly menyatakan pemerintah perlu membangun dengan serius payung hukum terkait AEoI ini. menurutnya, pemerintah harus juga memperhatikan aspek-aspek lain terkait keterbukaan tetapi tetap dalam koridor-koridor hukum dan jangan sampai aturan tersebut malah membuat kebingungan terkait "grand design" Perppu terkait keterbukaan data keuangan untuk keperluan perpajakan.

"Tapi perlu diingat, serius itu bukan payung ini cepat selesai, tapi juga aturan ini harus sesuai dengan ketentuan AEoI dan tentu saja benar-benar diimplementasikan," kata Junaidi secara tertulis, Rabu (12/4).

(Baca Juga: Selangkah Menuju Era Keterbukaan Pajak, Bagaimana Nasib Industri Perbankan?)

Untuk diketahui, pertengahan Maret 2017 kemarin DJP bersama OJK telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understading/MoU) terkait peluncuran sistem izin pembukaan rahasia nasabah penyimpan untuk tujuan perpajakan. Sistem ini terdiri dari dua aplikasi, yaitu Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank (AKASIA) bagi internal Kemenkeu dan Aplikasi Buka Rahasia Bank (AKRAB) bagi internal OJK.

Melalui AKRAB dan AKASIA yang saling terhubung dalam satu sistem, waktu pemrosesan perintah pembukaan rahasia bank dipersingkat secara signifikan dari semula kira-kira enam bulan menjadi dua minggu. (Baca Juga: Penyidik Pajak Akan Dapat Izin Akses Data Nasabah Perbankan dalam 14 Hari)

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, dalam kesempatan yang sama, meminta agar nasabah di sektor jasa keuangan tidak salah mengartikan bahwa data yang dijamin kerahasiaannya oleh perbankan akan disalahgunakan oleh personel DJP. Ani, sapaan akrab Sri, memastikan bahwa DJP akan tetap menjaga prinsip kerahasiaan nasabah itu dalam arti otoritas pajak hanya akan menggunakan akses terhadap informasi simpanan itu untuk tujuan dan kepentingan negara.

“Integritas DJP dituntut untuk menjaga itu,” kata Ani, sapaan Sri Mulyani.

Ani menambahkan,  penandatangan nota kesepahaman antara Kemenkeu dengan OJK diharapkan menjadi awal yang baik bagi DJP untuk mendapatkan kepercayaan dari publik terutama nasabah penyimpan di perbankan. Kata Ani, DJP sadar betul bahwa prinsip kerahasiaan nasabah dijamin melalui UU Perbankan dan bahkan prinsip tersebt juga diatur dalam dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Namun, DJP dalam hal penegakan hukum juga dituntut untuk menyampaikan bukti yang akurat mengenai harta wajib pajak. Dengan MoU ini, paling tidak DJP dapat memiliki bukti yang akurat dari simpanan yang terdapat dalam akun perbankan sehingga tugas DJP dalam melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, dan penagihan pajak dapat lebih akurat setidaknya terkait besaran tunggakan pajak si wajib pajak tersebut.

“MoU ini jadi salah satu bukti untuk perbaiki legitimasi DJP,” sebut Ani.

Sementara itu, terkait dengan pemangkasan waktu penerbitan surat izin pembukaan data nasabah, Ani mengapresiasi upaya dan langkah OJK untuk terus mendukung Kemenkeu terutama DJP. Sebab, pengalaman Ani, Kemenkeu baru mendapatkan surat perintah izin pembukaan tersebut hingga 239 hari atau hampir setahun lamanya. Dengan aplikasi AKASIA-AKRAB yang hanya butuh waktu 14 hari, Ani cukup puas hanya saja ia berharap dapat lebih dipersingkat atau malah bisa otomatis tanpa perlu izin Ketua DK OJK.

Weekend kemarin saja, saya menandatangani 80 permintaan. Jadi sangat tergantung dari pak Ken (Dirjen Pajak) dalam melakukan intensitas, termasuk attachment, namanya, nomor akun banknya dan petugas dari pajak yang menerima informasi itu. hal itu sangat mudah untuk dimasukan dalam aplikasi sehingga tidak harus menulis dan mencetak,” kata Ani.

Ani menceritakan, selama ini proses permintaan itu dimulai dari permohonan yang diajukan Kantor Pajak Pratama (KPP) kepada Kantor Pusat DJP (KPDJP). Kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan RI melalui Sekretariat Jenderal Kemenkeu. Dari situ, baru disampaikan kepada OJK. Kata Ani, surat tersebut harus melewati kurang lebih 20 pejabat yang harus melakukan tandatangan sampai akhirnya surat perintah pembukaan rahasia bank itu bisa diterbitkan oleh OJK.

Harapan Ani itu bukannya tanpa alasan. Ia menyebutkan, kalau ada jeda waktu yang sangat lama untuk mendapat izin pembukaan data nasabah, ada potensi wajib pajak mengalihkan hartanya melalui skema atau wadah lainnya di luar perbankan. Apalagi, tekonolgi transfer dana bisa dilakukan dengan sangat mudah misalnya melalui transfer elektronik.

“14 hari itu kelamaan, idealnya sudah otomatis. Dalam hal ini Dirjen Pajak melihat adanya pengumpulan data bukti permulaan, bahkan sebelum penyelidikan dan penyidikan, mereka langsung investigasi bahkan sebelum orangnya tersebut tahu bahwa dia akan merupakan subjek investigasi,” harap Ani.


Tags:

Berita Terkait