Rekomendasi Penting LKPP di Proyek e-KTP “Berbuntut” Laporan ke Presiden
Berita

Rekomendasi Penting LKPP di Proyek e-KTP “Berbuntut” Laporan ke Presiden

LKPP dianggap menghambat program e-KTP. Saksi bersama Kepala LKPP dua kali "disidang" di kantor Wakil Presiden.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Sidang lanjutan e-KTP menghadirkan beberapa saksi, salah satunya Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (17/4). Foto: RES
Sidang lanjutan e-KTP menghadirkan beberapa saksi, salah satunya Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (17/4). Foto: RES
Sejumlah rekomendasi penting Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam proses pengadaan proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP) tahun anggaran (TA) 2011-2013 kerap tidak dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bahkan, LKPP sempat diadukan Mendagri ke Presiden karena dianggap menghambat program e-KTP.

Hal ini terungkap dari keterangan Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP, Setya Budi Arijanta saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (17/4). Ketika itu, Setya berperan sebagai tim yang memberikan pendamping kepada panitia pengadaan e-KTP di Kemendagri.

Bermula pada 16 Februari 2011. Setya mengatakan, Sugiharto yang dahulu menjabat Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek e-KTP menemuinya dan Direktur Kebijakan Pengadaan Umum LKPP Sutan Suangkupon Lubis. Sugiharto meminta Setya melakukan pencermatan dokumen pengadaan e-KTP.

Permintaan Kemendagri dibalas LKPP melalui surat tertanggal 23 Februari 2013. Setya menjalaskan, dalam surat itu, LKPP memberikan advice atau pencermatan terhadap dokumen pengadaan e-KTP yang disampaikan Kemendagri. "Salah satu poin pentingnya adalah sembilan paket pekerjaan e-KTP harus dipisah untuk menjamin kompetisi," katanya.

Kedua, LKPP meminta Kemendagri mengumumkan dan menjelaskan keseluruhan paket pekerjaan, yaitu sebanyak sembilan paket. LKPP melihat, panitia hanya mengumumkan enam paket pekerjaan. LKPP menganggap tindakan tersebut tidak dibenarkan karena melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Sekadar informasi, Perpres ini diubah sebanyak empat kali dengan Perpres No. 35 Tahun 2011, Perpres No.70 Tahun 2012, Perpres No.172 Tahun 2014, terakhir dengan Perpres No.4 Tahun 2015. Baca Juga: Kalangan Parlemen Akui Proyek e-KTP Sedari Awal Sarat Masalah

Ketiga, LKPP menemukan permasalahan dalam dokumen pra-kualifikasi. Sebab, Kemendagri ingin menggunakan sistem e-procurement (e-proc), tetapi dokumen yang digunakan masih mengacu pada pengadaan manual. Hal itu tidak diperbolehkan, sehingga LKPP meminta Kemendagri memilih salah satu saja, apakah akan menggunakan sistem secara manual atau e-proc. 

Keempat, LKPP menemukan bahwa tata cara kriteria evaluasi dengan sistem nilai yang tertuang dalam dokumen tidak jelas, kurang detil, kurang rinci, dan tidak kuantitatif. Terakhir, menurut Setya, berdasarkan pencermatan LKPP,  jika pengadaan proyek e-KTP tetap dilaksanakan dengan penggabungan paket, maka akan sangat besar peluang terjadinya kegagalan.

"Kemudian kita berpendapat, untuk mencegah terjadinya kegagalan dan kerugian negara, perlu dilakukan perbaikan tata cara pemaketan, perbaikan dokumen lelang atau pengadaannya," ujarnya.

Setya mengungkapkan, pada 24 Februari 2011, LKPP menerima surat dari Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini perihal permohonan untuk pendampingan pengadaan proyek e-KTP. Lalu, pada 14 Maret 2011, Kepala LKPP Agus Rahardjo menugaskan Setya bersama tiga orang lainnya sebagai tim pendampingan. Setya bertindak sebagai ketua tim.

Sesuai surat tugas, lingkup tugas tim pendampingan hanya memberikan pendapat, rekomendasi, dan tindakan koreksi mulai dari tata proses pemilihan sampai penerbitan SPPBJ (Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa). Sementara, saat evaluasi, sesuai Perpres No.54 Tahun 2010 bersifat rahasia, sehingga tim pendampingan tidak bisa mengikuti.

Namun, Kemendagri tidak mengindahkan sejumlah rekomendasi LKPP. Salah satu rekomendasi penting LKPP yang tidak digubris Kemendagri adalah pemecahan sembilan paket pekerjaan e-KTP. Faktanya, Kemendagri tetap menyatukan sembilan lingkup pekerjaan yang menuntut kompetensi berbeda menjadi satu paket pekerjaan.

Sehari jelang waktu pemberian penjelasan atau aanwijzing, pada 21 Maret 2011, Setya menerima undangan aanwijzing dari Kemendagri. Ia protes keras karena undangan aanwijzing baru diterima pukul 18.00 WIB. Setya juga tidak mendapatkan dokumen pengadaan, sehingga ia tidak bisa hadir dan mengurus anggota tim pendampingan, Yulianto.

Setya meminta Yulianto melaporkan hasil aanwijzing. Berdasarkan laporan, tim pendampingan merekomendasikan agar aanwijzing diulang. Sebab, pertanyaan dalam aanwijzing sangat banyak dan pasti menimbulkan pertanyaan baru. Banyak pertanyaan teknis, membahas kriteria, dan evaluasi. Akan tetapi, rekomendasi tim pendampingan tidak dilaksanakan Kemendagri.

Selanjutnya, pada 28 Maret 2011, Setya melalui surat yang dibuat Sekretaris Utama LKPP, mengajukan protes terkait undangan aanwijzing dan kembali mengingatkan poin-poin penting pencermatan. Setya bersama tim pendampingan juga memberikan lima koreksi terhadap dokumen, seperti dokumen pemilihan tidak sesuai standar dokumen lelang yang ditetapkan LKPP.

"Beberapa persyaratan administrasi harus dihapus karena persyaratan tersebut dinilai tidak sesuai subtansi. Kriteria dan tata cara evaluasi masih kurang detil, tidak bersifat kuantitatif. Kalau material, substansi, itu mestinya (sistem) gugur. Tapi, ini diskor nol. Jadi, kalau yang lulus satu, lulus terus walaupun (skornya) nol. Ini tidak boleh diskor nol. Kalau memang mandatory-nya 10, dia (skornya) 8, harus gugur. Minimum ya 10. Ini kita temukan di dalam dokumen," ujarnya.

Selain itu, Setya menyebutkan, tim pendampingam memberikan koreksi terhadap daftar pencatuman pengalaman (penyedia barang/jasa) dalam dokumen yang semula tujuh tahun menjadi sepuluh tahun sesuai Perpres No.54 Tahun 2010. Lalu, koreksi terhadap jenis kontrak lump sum. Mengacu ketentuan Perpres No.54 Tahun 2010, kontrak jenis lump sum tidak boleh ada perubahan atau addendum.

"Itu sudah saya ingatkan. Tidak boleh (addendum) kalau lump sum. Kita melihat karena proyek ini tidak pasti, tidak mungkin pasti, sekomplek ini. Kalau lump sum, bunuh diri," imbuhnya. Baca Juga: Dua Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Mengaku Tak Kenal Andi Narogong

Sampai April 2011, Setya mengaku tim pendampingan tidak lagi dilibatkan dan diinformasikan perkembangan proses lelang e-KTP. Adapun sekali pertemuan hanya membahas permasalahan evaluasi. Panita pengadaan merasa ragu terhadap surat keterangan dukungan peserta lelang. Setya menyarankan agar panitia tidak mudah menggugurkan dan melakukan klarifikasi terlebih dahulu. 

Tiba-tiba, Setya mendapat kabar Kemendagri sudah mau menetapkan pemenang proyek e-KTP. Setahun kemudian, Badan Periksa Keuangan (BPK) melakukan audit. Setya selaku ketua tim pendampingan diperiksa BPK. Kala itu, Setya dicurigai mengatur lelang proyek e-KTP. Ia marah besar dan menunjukan semua surat, termasuk rekomendasi yang diberikan LKPP kepada Kemendagri.

"Mereka kaget. Lho, Pak Setya yang dari awal minta ini dikoreksi, dirombak total. Saya di BAP oleh BPK. Ditanyai ini, pokoknya rekomendasi saya. Kalau begini bagaimana Pak Setya? Batalin kontraknya. Saya (sudah) minta dibatalin kontraknya supaya kerugian negaranya tidak bertambah. Waktu itu, BPK tidak berani buat rekomendasi pembatalan kontrak. Sata tidak tahu alasannya apa," terangnya.

Isu e-KTP mulai merebak di media. LKPP mendapat panggilan dari Wakil Presiden (Boediono). Usut punya usut, ternyata ada pengaduan dari Mendagri kepada Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono). "(Aduan) Bahwa LKPP menghambat program e-KTP. Kemudian, saya disidang di kantor Wapres. Dua kali saya disidang, sama Kepala LKPP (Agus Rahardjo)," beber Setya.

Menurut Setya, "sidang" pertama dihadiri oleh ia sendiri, Kepala LKPP, Kepala BPKP, Deputi BPKP, tim pendampingan dari BPKP, serta Deputi Wapres. Dalam pemeriksaan itu, pihak Wapres mengklarifikasi bagaimana sebenarnya posisi LKPP dalam proyek e-KTP. Setelah Setya menyerahkan seluruh surat-surat, pihak Wapres menganggap LKPP sudah bertindak benar.

Dalam "sidang" kedua, Setya bersama Kepala LKPP kembali berhadapan dengan BPKP. Namun, kali ini hadir pula pihak Kemendagri. Saat klarifikasi berlangsung, muncul pertanyaan, dimana posisi BPKP? BPKP menjawab pihaknya belum mengeluarkan rekomendasi karena menunggu pendapat LKPP. Alhasil, kesimpulan rapat, proyek e-KTP jalan terus.

"Kita suruh diam, tidak perlu bicara di media. Tapi Pak Kepala LKPP melontarkan begini, 'kalau LKPP dijadikan stempel, kami keluar dari pendampingan'. Posisi LKPP jelas. Kalau rekomendasi LKPP tidak dilaksanakan, kami keluar dari pendampingan. Jadi, risiko bukan tanggung jawab LKPP," ucap Setya.

Menjelang akhir 2013, Setya mengaku mendapat telepon dari salah seorang Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) e-KTP. Panitia itu meminta pendapat Setya, bila pekerjaan belum selesai, apa boleh ia menandatangani dokumen serah terima hasil pekerjaan? Setya menjawab, jika belum selesai, tidak boleh. Nyatanya, panitia tersebut tetap menandatangani.

Sampai suatu saat terjadi sanggah banding dalam proses pengadaan e-KTP. Setya mengungkapkan, penyedia barang/jasa yang mengajukan sanggah banding menanyakan kepada LKPP, apakah sanggah banding menghentikan proses lelang? Dalam surat jawabannya, LKPP menjelaskan, Perpres No.54 Tahun 2010 secara jelas mengatur sanggah banding menghentikan proses lelang.

Entah mengapa, proses lelang e-KTP di Kemendagri jalan terus. Setya mendapat laporan bahwa proses lelang tetap dilanjutkan karena sudah mendapatkan advice dari Biro Hukum Kemendagri. Waktu itu, Setya sempat protes. Ia tidak habis pikir, bagaimana pasal dalam Perpres itu ditafsirkan berbeda, sedangkan isi pasalnya sendiri sangat jelas dan tidak multitafsir.

Terkait surat jawaban itu, Setya sempat mendapat laporan jika ada orang dari Kemendagri yang sempat berkonsultasi dan meminta agar isi surat diubah. "Tapi, kita tidak mau. Saya wktu itu tidak lihat. Cuma dengar saja, dapat laporan itu. Itu Pak Deputi saya didatangi, kalau tidak salah PPK-nya, Tapi, (saya) tidak melihat hadirnya di LKPP. Saya dapat laporan," tuturnya.

Terhadap keterangan Setya, Irman dan Sugiharto tidak menyampaikan keberatan. Sebagaimana diketahui, Irman dan Sugiharto didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penganggaran dan pelaksanaan lelang e-KTP. Irman dan Sugiharto didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ata Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam dakwaan penuntut umum KPK, Irman dan Sugiharto disebut melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Setya Novanto (dahulu Ketua Fraksi Golkar), Diah Anggraini, Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan), Andi Narogong (penyedia barang/jasa Kemendagri), dan Isnu Edhi Wijaya (Ketua Konsorsium PNRI). Baca Juga: ‘Tercium’ Persekongkolan Proyek e-KTP di DPR, Siapa Andi Narogong

Perbuatan Irman dan Sugiharto bersama-sama sejumlah pihak itu dinilai telah memperkaya para terdakwa, Gamawan Fauzi, Diah, Drajat beserta 6 orang anggota Panitia Pengadaan, Husni Fahmi beserta 5 orang anggota Tim Teknis, Johannes Marliem, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, dan Tamsil Linrung, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, Agun Gunandjar Sudarsa, Ignatius Mulyono, Miryam S Haryani, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna H Laoly, dan 37 anggota Komisi II DPR lainnya.

Selain itu, memperkaya pula sejumlah korporasi pemenang tender e-KTP, yakni Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), PT LEN Industi, PT Quadra Solution, PT Sandipala Arthaputra, PT Sucofindo, Manajemen Bersama Konsorsium PNRI. Akibat penyimpangan dalam proses penganggaran dan pengadaan proyek senilai Rp5,9 triliun ini, kerugian keuangan negara mencapai Rp2,314 triliun.
Tags:

Berita Terkait