Sejumlah Tantangan Peneliti Ekonomi dalam Membantu Penentuan Kebijakan Pemerintah
Berita

Sejumlah Tantangan Peneliti Ekonomi dalam Membantu Penentuan Kebijakan Pemerintah

Pemerintah sebagai penerima hasil penelitian yang akan digunakan dalam penentuan kebijakan harus memiliki sikap kritis terhadap sebuah hasil penelitian.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
(Berurutan dari Kiri)  Denni Puspa Purbasari, Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis, Kantor Staf Presiden, Lukita Dinarsyah Tuwo, Sekretaris, Kementerian Koordinator Bidang, Yose Rizal Damuri, Ketua, Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies, Titik Anas, Managing Director & Founder, Presisi Indonesi, Zakir Machmud. Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Della Temenggung, AIPEG. Foto DAN
(Berurutan dari Kiri) Denni Puspa Purbasari, Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis, Kantor Staf Presiden, Lukita Dinarsyah Tuwo, Sekretaris, Kementerian Koordinator Bidang, Yose Rizal Damuri, Ketua, Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies, Titik Anas, Managing Director & Founder, Presisi Indonesi, Zakir Machmud. Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Della Temenggung, AIPEG. Foto DAN
Indonesia menghadapi berbagai masalah pembangunan yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah. Mulai dari masalah pertumbuhan ekonomi, daya saing dan penciptaan lapangan kerja, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, serta tantangan eksternal (ekonomi global). Dalam banyak kasus, permasalahan-permasalahan itu saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga dampak kebijakan perlu dianalisis dengan baik.

Dalam proses pembuatan kebijakan, semakin kompleks dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Dalam beberapa kasus, penyelesaian masalah harus dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Sementara di sisi lain, ada permasalahan strategis dan mendasar yang hanya dapat diselesaikan dalam jangka menengah dan panjang sehngga perlu dijaga implementasinya secara berkelanjutan.

“Tantangan utama lainnya adalah ketersediaan SDM peneliti/analis yang berkualitas dan memadai di Pemerintahan, kelembagaan serta data yang lengkap serta akurat, terlebih data-data yang bersifat spasial,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lukita Dinarsyah Tuwo, dalam sebuah Diskusi Panel, Selasa (18/4), di Jakarta.

Menurut Lukita, di lingkungan Kemenko Perekonomian, adacara khusus untuk menjawab tantangan proses pengambilan dan implementasi kebijakan. Cara tersebut dikenal dengan Pendekatan Evidence Based (EPB). EPB tersebut terdiri dari tindakan-tindakan seperti pelibatan tenaga ahli/akademisi, perwakilan swasta, organisasi internasional/development partners dan institusi lainnya dalam proses penyususnan da implementasi kebijakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. (Baca Juga: Sejumlah Masukan Peneliti Terkait Revisi UU Migas)

Selain itu, EPB juga diterapkan dengan cara mensosialisasikan pemikiran dan agenda ekonomi Pemerintah melalui berbagai media, termasuk website Menko Perekonomian dan sosialisasi langsung di pusat dan daerah. EPB juga diimplementasikan dengan melaksanakan pertemuan-pertemuan konsultasi untuk program prioritas Pemerintah, termasuk public private dialogue mechanism.

Lukita juga memaparkan beberapa tantangan yang ada dalam upaya menjembatani akademisi, peneliti, dan penentu kebijakan. Menurut Lukita, terdapat missing link antara penelitian akademik dan kebijakan. Selain itu, terdapat keterbatasan pertukaran informasi antara Pemerintah dan peneliti ekonomi sehingga hasil kajian tidak sampai ke pemerintah atau prioritas Pemerintah yang malah tidak tersampaikan dengan baik kepada Peneliti.

Menurut Lukita, saat ini, banyak kajian yang isinya pengidentifikasian masalah yang sudah dipahami dengan baik oleh Pemerintah, namun yang menjadi persoalan adalah cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Persoalan lainnya adalah koordinasi antara komunitas peneliti dan partner-partner Pemerintah lainnya agar kajian dapat saling melengkapi dan tidak tumpang tindih. (Baca Juga: Progress Simplifikasi Regulasi Bidang Perizinan dan Investasi)

Pada kesempatan yang sama, Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis, Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari, menyampaikan Pemerintah sebagai penerima hasil penelitian yang akan digunakan dalam penentuan kebijakan, harus memiliki sikap kritis terhadap sebuah hasil penelitian. Namun sayangnya, hal ini jarang ditemui di lingkungan Pemerintahan.

“Hal ini sangat jarang ditemui di brokrasi kita karena mungkin training ekonomi yang dimiliki oleh para birokrat kita tidak sedalam seperti apa yang diterima oleh kalangan universitas atau peneliti,” ujar Denni.

Denni juga memaparkan hal penting dalam relasi antara Pemerintah dan Peneliti Kebijakan adalah keberlangsungan jangka panjang. “Kami perlu menjaga terus hubungan baik dengan lembaga penelitian atau peneliti untuk mendapatkan akses yang lebih cepat dan berkualitas tanpa adanya prasangka,” katanya.

Hal ini perlu dijaga karena menurut Denni, seringkali setelah menduduki suatu posisi tertentu dalam Pemerintahan pihaknya dan peneliti mengambil jarak atau tidak terbuka untuk mengatakan yang sesungguhnya. (Baca Juga: BKPM: Minimnya Koordinasi Pusat-Daerah Jadi Penghambat Investasi)

“Karena barangkali sudah ada kecenderungan terhadap posisi yang telah dimiliki. Untuk menjaga hubungan baik antara pemerintah dan juga lembaga-lembaga, nah ini harus ada kepercayaan yang dibangun antara ekonom Indonesia yang jumlahnya sebenarnya sangat sedikit,” katanya.

Sementara mewakili para peneliti, Peneliti Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Zakir Machmud, menyampaikan salah satu kesulitan peneliti dalam melakukan riset-riset kebijakan adalah ketika Pemerintah sebagai pembuat kebijakan terkadang tidak bersinergi dengan baik.

“Kata policy maker, pokoknya bikin ini-bikin ini, kita juga bingung mau pake tools nya yang mana gitu lho. Nah itu yang sering kami hadapi, mungkin ini di kementerian yang lebih teknis,” terang Zakir.

Menurut Zakir, sebenarnya ada aleternatif kebijakan lain yang bisa dikemukakan dan mungkin juga jauh lebih efektif tapi ketika berhadapan dengan penentu kebijakan yang seprti ini, cenderung lebih menyulitkan kerja para peneliti.

“Pengalaman itu yang sering kita temui. Policy maker yang sudah punya mindset sendiri walaupun kita berusaha sajikan hal lain yang sebenarnya juga jauh lebih efektif,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait