KY Luruskan Konsep Shared Responsibility
Berita

KY Luruskan Konsep Shared Responsibility

Konsep shared responsibility bukan ancaman, justru untuk memperkuat sistem peradilan satu atap.

Oleh:
CR23
Bacaan 2 Menit
Ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari. Foto: RES
Ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari. Foto: RES
Komisi Yudisial mengusung sistem shared responsibility dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. Namun konsep ini belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh para pemangku kepentingan. Karena itu, sebagai pengusung ide pembagian peran dan tanggung jawab ini, Komisi Yudisial merasa perlu untuk meluruskan.

Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari menerangkan konsep shared responsibility merefleksikan peran lembaga lain dalam pengelolaan manajemen hakim terkait rekrutmen calon hakim, pembinaan, promosi mutasi, pengawasan hingga pensiun hakim. Menurut dia,  konsep ini sudah berjalan sesuai kewenangan KY yang ada, seperti keterlibatan KY dalam diklat calon hakim, peningkatan kapasitas hakim, dan pengawasan.

Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Wewenang lain itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang, yakni UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang telah direvisi dengan UU No. 18 Tahun 2011.

“Kewenangan itu sudah dimiliki, tetapi (kewenangan) itu tidak terlalu kuat. Jadi sebenarnya tidak ada yang baru, hanya KY merekonstruksi (kewenangan) itu ke dalam konsep baru yakni shared responsibility,” kata Aidul di kantor hukumonline, Jakarta, Kamis (20/04/2017). (Baca juga: Pentingnya Konsep Shared Responsibility dalam Rekrutmen Hakim)

Mahkamah Agung (MA) cenderung menentang konsep shared responsibility dengan mengajukan konsep penyatuan atap atau one roof system (sistem satu atap) yang mengacu TAP MPR No. X Tahun 1998 tentang Pembagian Penyelenggaraan Negara Antara Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Berdasarkan TAP MPR tersebut, fungsi organisasi, finansial, dan administrasi yang selama ini di bawah eksekutif dialihkan ke Mahkamah Agung.

Aidul Fitriciada Azhari menegaskan kekhawatiran masuknya eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman tidak berdasar. “Dalam konteks ini, MA meminta pemisahan (tugas) dengan eksekutif. Tetapi KY kan jelas bukan (lembaga) eksekutif. Justru konsep shared responsibility memperkuat one roof system, bukan menjadi ancaman one roof system,” ujarnya.

Menurutnya, sesuai Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, KY merupakan salah satu badan yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Meski lembaga kekuasaan kehakiman yang utama dipegang oleh MA dan MK yang bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dalam hal ini, kekuasaan kehakiman oleh KY terkait manajemen hakim, bukan dalam hal penanganan perkara.

“MA merumuskan managemen perkara dan KY merumuskan manajemen hakim. Jadi konsep itu sebenarnya tidak ada yang bertentangan dengan one roof system. KY sendiri pun tidak ingin mengambil alih kewenangan administrasi, finansial dan organisasi,” tegasnya. 

Komisioner KY Farid Wajdi menambahkan satu hal penting dalam RUU Jabatan Hakim adalah status hakim sebagai pejabat negara atau aparatur sipil negara (ASN). Sejak 2009 silam, masalah ini masih belum terpecahkan lantaran terbentur regulasi dan penganggaran. Berdasarkan regulasi terbaru yang diterbitkan Pemerintah bisa jadi pada calon hakim akan berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau ASN.     

Komisi Yudisial sendiri berharap proses rekrutmen hakim bisa dilakukan setelah RUU Jabatan Hakim dirampungkan pembahasannya di Senayan. “Seleksi calon hakim tahun ini seharusnya menunggu terbitnya RUU Jabatan Hakim, sehingga ke depannya tidak ada persoalan mengenai status hakim apakah sebagai pejabat negara atau ASN?” sarannya.

Farid menambahkan ingin MA ingin tetap melaksanakan seleksi calon hakim seharusnya memperjelas terlebih dahulu dasar hukum yang digunakan. Sebab, bagaimanapun seleksi calon hakim ini selain lembaga yang berkepentingan juga harus melibatkan publik melalui pembentukan Panitia Seleksi (Pansel). Di satu sisi, Mahkamah Agung tak ingin melibatkan Komisi Yudisial sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi. Tetapi dengan mekanisme penerimaan ASN, berarti ada keterlibatan lembaga lain juga yakni Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. “Justru MA melibatkan Kemenpan dalam proses seleksi calon hakim tingkat pertama,” tambahnya.   

Sebelumnya,   Juru Bicara MA Suhadi merasa ada lembaga tertentu yang mencoba mengubah sistem satu atap dengan berupaya mewujudkan konsep shared responsibility dalam RUU Jabatan Hakim. Ia menolak tegas apabila ada lembaga lain yang mencoba mengambil alih fungsi organisasi, administrasi dan finansial lembaga peradilan kepada lembaga lain. (Baca juga:MA Sebut Konsep Shared Responsibility Langgar Putusan MK)

“Tentu konsep ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 dan UU bidang peradilan yang menyatakan fungsi organisasi, administrasi, finansial badan peradilan berada dalam satu atap di MA sejak terbitnya UU No. 35 Tahun 1999. Sekarang ini ada yang ingin ambil alih lebih dari satu atap. Ini membahayakan badan peradilan,” ujar Suhadi di Gedung MA Jakarta, Rabu (12/4/2017).

Senada dengan itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan jangan ada persepsi keliru mengenai pelaksanaan sistem satu atap ini dalam pengelolaan manajemen hakim termasuk rekrutmen hakim. Menurutnya, konsep shared responsibility sebenarnya bertentangan dengan putusan MK No. 43/PUU-XIII/2015 yang menghapus wewenang KY dalam proses seleksi calon hakim bersama MA.   

“Sesuai putusan MK, proses seleksi calon hakim merupakan wewenang tunggal MA. Jadi, tidak perlu menerapkan shared responsibility terkait pengusulan dan pengangkatan hakim,” ujar Ridwan mengingatkan. (Baca Juga: Seleksi Calon Hakim Wewenang Tunggal MA).
Tags:

Berita Terkait