Pengawasan Jadi Ujung Tombak Penegakan Hukum Metrologi Legal
Berita

Pengawasan Jadi Ujung Tombak Penegakan Hukum Metrologi Legal

Usaha SPBU Pertamini menjadi salah satu contoh yang perlu diperhatikan. Pemerintah daerah kabupaten/kota mengeluhkan terkait legalitas usaha Pertamini ini, mulai dari izin usaha, pasokan BBM, Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (K3L), sampai dengan alat ukurnya.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Kementerian Perdagangan. Foto: RES
Kementerian Perdagangan. Foto: RES
Pengawasan metrologi legal merupakan salah satu ujung tombak dalam penegakan hukum di bidang metrologi legal. Hal ini ditegaskan Direktur Metrologi, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, Hari Prawoko, saat acara Forum Pengawasan Metrologi Legal Nasional Tahun 2017, Rabu (26/4), di Hotel Mercure, Bandung.

Dalam rilis yang dikutip hukumonline, Hari menyampaikan bahwa dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal mengamanatkan kepada pegawai instansi pemerintah yang ditugaskan dalam pembinaan untuk melaksanakan pengawasan dan pengamatan. Selain itu, pegawai instansi pemerintah juga diwajibkan menyidik tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang tersebut.

"Pengaturan lebih lanjut mengenai pengawasan metrologi legal ini kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 71 Tahun 2014 tentang pengawasan ukuran takaran timbangan dan perlengkapannya (UTTP), barang dalam keadaan terbungkus (BDKT), dan satuan ukuran," imbuh Hari.

Hari menambahkan terkait dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan untuk melaksanakan kegiatan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan dan kemetrologian dilimpahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. (Baca Juga: YLKI Akan Uji Petik 50 SPBU di Jabodetabek)

"Untuk itu diharapkan semua kabupaten/kota segera membentuk Unit Metrologi Legal untuk melaksanakan kegiatan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan kemetrologian. Dengan demikian kegiatan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan dapat dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota. Sehingga masyarakat sebagai konsumen mendapatkan jaminan kebenaran hasil pengukuran dalam transaksi perdagangan,” tegas Hari.

Forum ini menghadirkan narasumber yang terkait dengan kegiatan Metrologi Legal, yaitu Direktur BBM Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Kemetrologian (PPSDK), Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Mabes Polri, serta perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta 520 peserta perwakilan dari Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi perdagangan.

"Kegiatan ini diselenggarakan dalam bentuk diskusi panel yang membahas beberapa tema terkait metrologi legal yang bertujuan mengharmonisasikan kegiatan pengawasan dan peningkatan tertib ukur nasional. Melalui kegiatan ini, diharapkan tercipta sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten/kota untuk mewujudkan pelaksanaan pengawasan, dan pembinaan terhadap peredaran, serta penggunaan UTTP," ujar Hari.

Pertamini
Pada kesempatan tersebut salah satu tema yang dibahas antara lain mengenai legalitas usaha Pertamini dalam pendistribusian bahan bakar minyak (BBM). BBM merupakan kebutuhan pokok yang sangat diperlukan masyarakat, sehingga ketersediaannya akan berpengaruh terhadap kestabilan dan keamanan perekonomian di dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah menganggap penting untuk menjaga ketersediaan dan pendistribusiannya sampai ke masyarakat. (Baca: Gross Split, Langkah Luar Biasa Pemerintah Dongkrak Produksi Migas)

"Saat ini banyak beredar usaha penjualan BBM mirip SPBU tetapi dalam skala kecil atau yang lebih dikenal dengan istilah Pertamini. Pemerintah daerah kabupaten/kota mengeluhkan terkait legalitas usaha Pertamini ini, mulai dari izin usaha, pasokan BBM, Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (K3L), sampai dengan alat ukurnya, serta jumlahnya yang semakin banyak," ujar Hari.

Menurut Hari, Pertamini bukan usaha milik Pertamina dan bukan sub-penyalur BBM yang legal karena tidak memiliki izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan BPH Migas No. 6 Tahun 2015 tentang Penyaluran Jenis Bahan Bakar Minyak pada Daerah yang Belum Terdapat Penyalur.

Dengan demikian, alat ukur yang digunakan sebaiknya tidak ditera atau ditera ulang. Selain itu, Pertamini tidak termasuk dalam lingkup UTTP yang wajib ditera/tera ulang dan secara prinsip tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 08/M-DAG/PER/3/2010 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) yang Wajib Ditera dan Ditera Ulang.

"Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan segera mengimbau pemilik Pertamini untuk dapat mengurus perizinannya, melaksanakan pengawasan terpadu secara persuasif, serta tidak menera/menera ulang alat ukur yang digunakan," ujar Hari.

Seperti diketahui, tak sulit menemukan pedagang bensin eceran di pinggir jalan, baik di desa maupun perkotaan. Beberapa menjual bahan bakar itu menggunakan botol bekas minuman bersoda. Pedagang lainnya bahkan menjual bensin menggunakan pompa dan memasang plang merek ‘Pertamini’.

Direktur BBM BP Migas Hendry Ahmad pernah mengatakan, para penjual bensin eceran itu melakukan usahanya lantaran tak mampu membuka SPBU resmi. Hendry mengakui, modal untuk membuka satu SPBU bisa mencapai angka miliaran. Sementara itu, keuntungan yang didapatkan terbilang sangat kecil. (Baca Juga: Ingat, Jual Bensin Eceran Bisa Dipenjara)

"Margin SPBU sangat kecil, sementara modal satu SPBU miliaran. Wajar banyak Pertamimi dimana-mana,” katanya.

Hendry pun mengusulkan kepada pemerintah untuk mempermudah usaha SPBU. Ia mengatakan, pihaknya akan mendorong agar pemerintah untuk menyediakan sub-SPBU. Menurutnya, modal untuk membuka sebuah sub-SPBU relatif lebih kecil. Dengan hanya berbekal uang sebesar Rp75 juta, Hendry yakin usaha tersebut bisa dijalankan.

Selain itu, Hendry mengaku prihatin dengan para penjual bensin eceran. Pasalnya, mereka melakukan usaha yang tergolong ilegal.  UU No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi memang melarang praktik penjualan bensin eceran.

Di dalam Pasal 55 UU Migas disebutkan bahwa orang yang menjual bensin secara ilegal akan dihukum. Tak tanggung-tanggung, hukuman yang menghantui para penjual bensin eceran bisa berupa denda sebesar Rp 6 miliar dan kurungan selama enam tahun.

Menurutnya, penjual bensin eceran masih menjamur lantaran upaya penegakan hukum belum optimal. Ia menuturkan bahwa pihaknya tak bisa melakukan apa-apa terkait hal itu. Sebab, upaya penertiban para penjual bensin eceran menjadi kewenangan aparat penegak hukum. Sementara itu, BPH Migas merupakan regulator dari distribusi hilir migas.

Tags:

Berita Terkait