Ketua Komisi X DPR Teuku Riefky Harsya dalam laporan akhirnya mengatakan RUU Sistem Perbukuan disusun berdasarkan kebutuhan dalam menjawab permasalahan dalam pembangunan kompetensi masyarakat. Yakni berbasis pengetahuan melalui buku. Pasalnya, minat baca yang rendah masyarakat menjadi potret tersendiri terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM).
Data Unesco menunjukan minat baca bangsa Indonesia berada pada angka 0,001. Artinya, hanya 1 orang yang membaca per 1.000 penduduk. Potret tersebut mendorong Komisi X menginisiasi terbentuknya RUU tentang Sistem Perbukuan. “Kebijakan ini mewujudkan buku yang terjamin dari segi mutu, harga murah, dan akses yang merata,” ujarnya.
Menurutnya, upaya pembangunan dan peningkatan budaya literasi, perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Bahkan, mendorong masyarakat untuk berperan dalam tingkat global. Karena itu, diperlukan penyelenggaraan tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungjawabkan melalui pengaturan sistem perbukuan yang sistematis, menyeluruh, dan terpadu.
Lebih lanjut dia menerangkan intisari RUU tentang Sistem Perbukuan terdiri dari 12 Bab dan 72 Pasal yang memiliki beberapa sasaran. Pertama, UU ini untuk menjamin ketersediaan buku bermutu, murah dan merata. UU ini tak hanya buku bersifat umum, tetapi meliputi buku pendidikan. Karena itu, diperlukan politik anggaran perbukuan fokus pada penyediaan buku teks utama tanpa dipungut biaya yang digunakan proses pembelajaran wajib belajar (wajar) 9 tahun dan wajar 12 tahun.
Kedua, menjamin penerbitan buku bermutu, serta pengawasan terhadap buku yang beredar di pasaran. Ketiga, menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi pelaku perbukuan. Nah substansi itu, kata Riefky, menjadi penegasan terhadap perlindungan hukum atas hak cipta seperti diatur UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Keempat, memberi peluang tumbuh kembang dunia perbukuan. Setidaknya, RUU tersebut memberikan kewenangan terhadap pemerintah pusat dalam memberikan insentif fiskal bagi perkembangan perbukuan. Kelima, memperjelas tugas dan fungsi serta kedudukan pemerintah dan pelaku usaha perbukuan.
Mewakili pemerintah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan pemerintah berterima kasih atas prakarsa DPR menginisiasi hadirnya RUU tentang Sistem Perbukuan. Dikatakan Yasonna, regulasi terkait dengan perbukuan dapat mengatasi permasalahan tentang perbukuan.
Menurutnya, penyusunan RUU tentang Sistem Perbukuan ini bentuk perwujudan tanggung jawab (negara) dan amanat konstitusi dalam upaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Pasal 31 ayat (5) UUD 1945 disebutkan: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Lebih jauh mantan anggota DPR periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menilai pemenuhan pemikiran budaya literasi mesti didorong dengan kepemilikan buku dengan harga murah, terjangkau, dan merata. Karena itu, dukungan sistem tata kelola perbukuan mesti diwujudkan. Baginya, yang pasti, RUU tentang Sistem Perbukuan, yang telah disetujui menjadi UU ini, tidak membatasi kebebasan berekspresi.
“Tetapi, mendorong agar bertanggung jawab menuju Indonesia bersaing. Pengawasan terhadap buku tetap mengedepankan aspek preventif,” katanya. Baca Juga: Ini RUU Berstatus Pembahasan di Tingkat I
Selain itu, ada dua RUU yang juga disahkan menjadi UU yakni RUU Kebudayaan dan RUU Persetujuan Perjanjian antara Indonesia dengan Filipina Soal Zona Ekonomi. Sebelumnya, ada 19 RUU yang sudah berstatus masuk dalam pembahasan tingkat pertama antara DPR dengan pemerintah sejak Januari 2017. Berikut Daftarnya:
|