Menelisik Kembali Skema Penanganan Bank Krisis, Beda Rezim Beda Kebijakan
Kasus BLBI:

Menelisik Kembali Skema Penanganan Bank Krisis, Beda Rezim Beda Kebijakan

Dua rezim sebelumnya, skema penanganan krisis bank menimbulkan problem hukum. saat ini, konsep berubah menjadi Bail In, akankah bernasib sama?

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Menelisik Kembali Skema Penanganan Bank Krisis, Beda Rezim Beda Kebijakan
Hukumonline
Penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menuai perhatian publik. Di tengah upaya KPK mengusut skandal besar terkait dugaan korupsi KTP Elektronik, bersamaan pula KPK menyilap tabir kejahatan di sektor perbankan.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan penetapan seorang tersangka dalam kasus BLBI bukan merupakan hal yang bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. Agus sebetulnya belum mau berkomentar banyak mengenai kasus yang merugikan negara tersebut. Namun, ia memastikan segala hal yang terjadi dalam bidang politik dan hukum, saat ini tidak terlalu memengaruhi persepsi pelaku pasar keuangan terhadap prospek ekonomi Indonesia.

"Tentu ini menunjukkan komitmen para penegak hukum. Jadi saya tidak melihat ini sebagai sesuatu yang negatif pada stabilitas sistem keuangan ini," kata Agus di Jakarta, Kamis (27/4) kemarin.

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka dalam kasus BLBI. KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka karena saat menjabat sebagai Kepala BPPN pada 2004 lantaran diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun. Hasil restrukturisasi itu adalah sebanyak Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan, sisanya Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi tersebut. Dengan demikian, terdapat kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

(Baca Juga: Babak Baru Penanganan Korupsi BLBI VS Klaim Lunas Sjamsul Nursalim)

BLBI sendiri merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF. BI sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.

Terkait dugaan penyimpangan dana itu, sejumlah debitur kemudian diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung tapi Kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL. Dimana SKL tersebut diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

(Baca Juga: Presiden Jokowi: Bedakan Kebijakan dan Pelaksanaan BLBI)

Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar itu, KPK menyangka Syafruddin melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sama halnya dengan BLBI, skandal lainnya yang membuat perhatian banyak kalangan pada eranya adalah kasus Bank Century. Waktu itu Bank Century memang sudah bermasalah sejak awal kelahirannya. Setahun setelah merger tiga bank (Bank CIC, bank Danpac, dan Bank Pikko) menjadi Bank Century, bank ini langsung masuk daftar Bank dalam Pengawasan Intensif oleh BI sejak 29 Desember 2005. Bahkan, tiga tahun berikutnya status Bank Century dinaikan menjadi Bank Dalam Pengawasan Khusus (DPK) dan BI menempatkan pengawasnya di bank itu melalui On Site Supervision.

Tak berhenti sampai di situ, tepat 20 November 2008 Gubernur BI Boediono menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal melalui surat No. 10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal dan Penetapan Tindak Lanjutnya. Selang sehari, KSSK dalam rapatnya juga menguatkan penetapan Bank Century sebagai Bank gagal yang Berdampak Sistemik dan menyerahkan penanganannya kepada LPS.

Di hari yang sama, 21 November 2008 hasil keputusan itu di bawa dalam rapat Komite Koordinasi antara Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner LPS yang kemudian menyerahkan penanganan Bank Century kepada LPS melalui bail out yang jumlahnya membengkak hingga Rp 6,7 triliun. Padahal, Oktober 2008 manajemen hanya meminta fasilitas repo aset Rp 1 triliun kepada BI. Total dana Rp 6,7 triliun dipertanyakan berbagai kalangan.

Atas permohonan repo aset kredit kepada BI senilai Rp 1 triliun itu, BI selanjutkan memproses sebagai permohonan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP). Pada saat pengajuan itu, perhitungan CAR Bank Century per 30 September 2008 adalah 14,88% namun dikoreksi BI menjadi 2,35%. Lalu, CAR per 31 Oktober 2008 malah alami penurunan menjadi minus -3,53%. Oleh karena PBI No.10/26/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) mensyaratkan bank harus punya CAR 8% untuk memperoleh FPJP. Maka, PBI itu direvisi menjadi PBI No.10/30/2008 dan PBI No.10/31/2008 tentang Fasilitas Pinjaman Darurat (FPD) dimana bank hanya cukup memiliki CAR positif.

Akhirnya, BI memberikan FPJP dalam dua tahap dengan total nilai Rp 689 miliar, dengan maksud CAR Bank Century berada di tingkat 8%. Selain itu, meskipun telah menerima FPJP, Bank Century juga mendapatkan Penanaman Modal Sementara (PMS) dari LPS. LPS telah menyetor biaya penanganan berupa PMS pada Bank Century. Dana itu tambahan modal Bank Century yang disetorkan secara tunai sebesar Rp 5,31 triliun dan dalam bentuk penyerahan SUN senilai Rp 1,45 triliun. Penetapan itu dilakukan sebelumnya tanggal 23 Desember 2008 sebesar Rp 2,77 triliun, tanggal 5 Desember 2008 sebesar Rp2,20 triliun, tanggal 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,6 triliun dan tanggal 21 Juli 2009 sebesar Rp 630 miliar.

Sumber dana untuk PMS berasal dari kekayaan LPS yang sampai akhir Oktober 2009 berjumlah Rp 18 triliun, termasuk PMS pada Bank Century Rp 6,76 trilun. Asal duit itu dari modal awal Rp 4 triliun, penerimaan premi dari bank peserta penjaminan selama 4 tahun Rp 12,9 triliun dan hasil investasi SUN/SBI.
PERIODESUNTUNAITOTALPENYETORAN
November 2008 - 2.413.314 2.413.314 5 kali
Desember 2008 445.250 2.118.576 2.563.826 14 kali
Februari 2009 1.005.000 150.000 1.155.000 3 kali
Juli 2009 0 630.221 630.221 1 kali
Jumlah1.450.2505.312.1116.736.36123 kali
*dalam jutaan rupiah.

Sebenarnya, kegentingan kondisi perbankan sudah jauh terlihat ketika Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 29 Oktober 2008 memutuskan mengaktifkan Protokol Manajemen Krisis (Crisis Management Protocol/CMP). Melalui protokol ini, Rapat Dewan Gubernur mulai melakukan simulasi ketahanan industri perbankan dimana 15 bank besar, 18 bank menengah, dan 5 bank kecil dicoba melakukan simulasi.

Mereka dicoba memainkan skenario penurunan Dana Pihak Ketiga (DPK) 5%, lalu dinaikan menjadi 25%, dan didongkrak hingga ke angka 50%. Hasilnya, memang memprihatikan dimana 15 bank besar kehabisan likuiditas, 14 bank kelas menengah pun demikian, ditambah 5 bank kecil. Totalnya, 34 bank berpotensi kesulitan likuiditas. Dalam kondisi normal, penutupan bank seukuran Bank Century diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank lain. Namun, dalam kondisi yang bergejolak itu bila Bank Century ditutup akan menimbulkan dampak sistemik (contagion effect) berupa upaya rush terhadap bank lain atau bank yang lebih kecil.

Mersepon situasi krisis itu, pemerintah selanjutnya segera mengeluarkan sejumlah regulasi yakni tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pertama, Perppu Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Bank Indonesia yang memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan guna mendapatkan suntikan dana segar. Kedua, Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU LPS yang digunakan sebagai dasar menaikan nilai simpanan nasabah yang dijamin LPS dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar.

Yang Ketiga, Perppu Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang memberi jaminan penyelesaian bila ada bank atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang mengalami kesulitan likuiditas atau dinyatakan sebagai LKBB gagal berdampak sistemik. Melalui Perppu itu, diatur pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang dulunya dikenal dengan Komite Koordinasi (KK) dengan anggota Menkeu, Gubernur BI, dan Sekretaris KSSK.

(Baca Juga: Resmi Jadi UU, Ini Poin Penting UU Penanganan Krisis)

Pertengahan Maret 2016 kemarin, pemerintah akhirnya mengganti Perppu JPSK menjadi UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Menariknya, ada perbedaan penanganan krisis bank melalui konsep bail in, yakni penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank menggunakan sumber daya bank bersangkutan yang berasal dari pemegang saham dan kreditur bank. Kemudian, hasil pengelolaan asset dan kewajiban bank serta kontribusi industry perbankan.

Aturan teknisnya juga sudah diterbitkan sebagian, salah satunya tiga POJK tentang pedoman pelaksanaan teknis bagi bank, yakni POJK No.14/03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum, POJK No.15/3/2017 untuk Rencana Aksi bagi Bank Sistemik dan POJK No.16/03/2017 tentang Bank Perantara (Bridge Bank). Di POJK rencana aksi, OJK meminta bank sistemik menyusun rencana aksi yang paling lambat diserahkan pada 29 Desember 2017. Rencana Aksi tersebut akan terdiri dari opsi pemulihan, dan beradasarkan indikator permodalan, likuiditas, rentabilitas dan kualitas aset.

(Baca Juga: 3 Kewajiban Bank Sistemik Atasi Krisis Lewat Konsep Bail In)

OJK juga mewajibkan pemegang saham pengendali atau investor menambah modal bank sistemik dan mampu mengkonversi jenis utang atau investasi untuk menambah modal bank sistemik jika dihadapkan pada potensi krisis. Peran aktif pemegang saham atau internal bank ini yang menjadi salah satu perubahan mendasar melalui skema "bail out", dan berbeda dengan "bail in". Sedangkan, untuk POJK mengenai Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum, OJK akan mengkategorikan keadaan pengawasan bank menjadi tiga yakni pegawasan normal, pengawasan intensif, dan khusus.

(Baca Juga: OJK Terbitkan 3 Aturan Penanganan Krisis Keuangan)

Sebenarnya, tiga kategori pengawasan tersebut sama dengan ketentuan pengawasan perbankan yang pernah diterbitkan BI. Namun, dalam POJK ini, OJK memajukan peran LPS untuk terlibat menangani bank yang sudah masuk pengawasan intensif. POJK tersebut juga tidak hanya mengatur untuk penanganan bank sistemik, namun juga untuk penanganan bank tidak sistemik. Saat ini, terdapat 12 bank sistemik. OJK akan mengevaluasi jumlah bank sistemik tersebut setiap enam bulan sekali. Penetapan bank sistemik tergantung indikator dari kecukupan permodalan, interkoneksitas dan kompleksitas bisnis bank tersebut. Saat ini seluruh bank di Indonesia juga berada dalam pengawasan normal.

Sedangkan POJK Bank Perantara (Bridge Bank), dijelaskan Muliaman, merupakan ketentuan untuk mengatur pendirian bank yang akan menjadi penampung aset atau kewajiban dari bank gagal. Sebelum dialihkan kepada bank perantara, OJK bersama LPS akan menangani bank gagal dengan mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan kewajiban bank gagal. Kemudian, melakukan penyertaan modal sementara dan pencabutan izin usaha bank.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon menambahkan, hingga saat ini belum ada bank sistemik yang sudah mengajukan rencana aksi (recovery plan) untuk penanganan krisis keuangan. OJK memberikan tenggat waktu kepada bank sistemik untuk menyerahkan rencana aksi paling lambat 27 Desember 2017. Namun, tenggat waktu tersebut khusus untuk 12 bank sistemik yang sudah ditetapkan sebelum 4 April 2017. OJK juga memastikan akan memberikan sanksi bagi bank sistemik yang terlambat menyerahkan rencana aksi tersebut.

"Sanksi tersebut akan kami cantumkan dalam Peraturan OJK (POJK) soal Rencana Aksi," ujar Nelson.

Nelson menjabarkan dalam Rencana Aksi, bank sistemik harus menetapkan opsi pemulihan untuk merespon tekanan keuangan, serta membuat rencana kelangsungan usaha bank. Kemudian OJK akan menilai aksi pemulihan bank sistemik dari indikator permodalan, likuiditas, rentabilitas dan kualitas aset. “Begitu juga dengan tingkatan aksi pemulihan," ujarnya.
Tags:

Berita Terkait