Jalankan Reforma Agraria, Indonesia Butuh Lembaga Khusus?
Berita

Jalankan Reforma Agraria, Indonesia Butuh Lembaga Khusus?

Fungsi antara lain menyediakan akses pendampingan dan pembiayaan bersubsidi bagi masyarakat yang menerima redistribusi tanah.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria yang memerlukan pendaftaran tanah. Foto: MYS
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria yang memerlukan pendaftaran tanah. Foto: MYS
Dalam RPJMN 2015-2019 Pemerintah menyelenggarakan reforma agraria dengan objek tanah yang disasar sebesar 9 juta hektar. Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengingatkan pemerintah untuk melihat praktik reforma agraria di sejumlah negara seperti di kawasan Asia dan Amerika Latin. Reforma agraria yang berlangsung di beberapa negara Asia tergolong lebih berhasil daripada Amerika Latin.

Pasca Perang Dunia II, Jepang memulai reforma agraria dengan cara membeli lahan dari tuan tanah. Kemudian, petani bisa membeli tanah itu dari pemerintah melalui sistem kredit bersubsidi. Di Taiwan, lahan negara dialihfungsikan sebagai lahan pertanian dan petani diberi akses untuk memanfaatkan lahan tersebut dengan memberi mereka hak guna lahan untuk pencapaian sistem produksi.

Di Korea Selatan, jelas Bhima, reforma agraria dilakukan pemerintah dengan cara mengakuisisi lahan perusahaan dan memberikan kompensasi bagi pemilik lahan. Petani membeli lahan yang sudah diakuisisi oleh pemerintah melalui skema kredit murah. Reforma agraria juga berhasil di Malaysia yang digelar melalui The Federal Land Development Authority (Felda). (Baca juga: Pemerintah Siapkan Rencana Operasional Reforma Agraria).

Bhima menjelaskan awalnya Felda berfungsi sebagai bank tanah. Setelah mendapat tanah produktif dari pemerintah pusat dan kerajaan Malaysia, Felda membagikannya kepada petani untuk dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan. Selain itu Felda juga membangun wilayah pedesaan, infrastruktur dan ekonomi wilayah. Dari berbagai negara yang berhasil itu Bhima mencatat pentingnya peran lembaga khusus yang mengurusi pelaksanaan reforma agraria.

Pelaksanaan reforma agraria di sebagian Amerika Latin seperti di El Salvador dan Peru gagal karena absennya lembaga khusus yang mengurusi. Sekalipun ada lembaga khusus, kebijakan reforma agraria dilakukan secara paksa, melibatkan militer sehingga berujung kegagalan. “Di Bolivia reforma agraria gagal karena petani yang mendapat redistribusi tanah tidak mendapat pendampingan dan subsidi. Alhasil lahan yang didapat tidak bisa berproduksi,” kata Bhima dalam jumpa pers di kantor INDEF Jakarta, Kamis (04/5). (Baca juga: Cegah Spekulan Lewat Pajak Progresif Tanah ‘Nganggur’).

Guna mendorong keberhasilan reforma agraria, Bhima mencatat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, butuh lembaga khusus yang mengurusi pelaksanaan reforma dari tingkat pusat sampai kecamatan. Lembaga itu non kementerian dan posisinya berada langsung di bawah Presiden. Kedua, pendampingan bagi keluarga yang menerima redistribusi tanah agar mampu berproduksi. Tanah yang menjadi objek redistribusi juga harus baik kriterianya dan bersifat produktif.

Ketiga, sinkronisasi data antar kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Data mengenai tanah yang akan diredistribusi harus valid sehingga bisa dilegalisasi melalui sertifikat. Proses legalisasi itu harus melalui pengawasan yang ketat agar redistribusi tepat sasaran. (Baca juga: Cegah Pungli, BPN Bentuk Saber Mafia Tanah).

Keempat, lembaga reforma agraria dan petani penerima lahan harus menyepakati lahan tersebut tidak digadaikan atau dijual. Ahli waris tanah itu juga harus ditentukan kriterianya dengan jelas. Kelima, ada subsidi atau pemberian insentif dari pemerintah. Tujuannya agar petani bisa bertanggungjawab atas tanahnya dan menjaga untuk tetap produktif. Pemerintah juga harus menghubungkan para petani dengan industri yang mampu menyerap hasil pertanian atau perkebunan mereka.

Plt Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Tranmsigrasi (Kemendes PDTT), Ahmad Erani Yustika, mengatakan konsep reforma agraria yang direncanakan pemerintah itu digagas Kantor Staf Presiden (KSP). Dua kementerian inti yang berkaitan dengan reforma agraria itu yakni BPN dan KLHK. Kemendes berperan di hilir proses reforma agraria yakni pada saat proses redistribusi lahan dan legalisasinya telah selesai.  “Kami bisa mendorong pemanfaatan dana desa dan dana Kemendes untuk proses hilir reforma agraria,” kata Erani.

Menurut Erani tahun ini rata-rata besaran dana desa Rp850 juta untuk setiap desa. Sebagian dana itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan hilir reforma agraria seperti penguatan kapasitas warga. Selain itu hasil produksi petani dari lahan reforma agraria bisa disinergikan dengan koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Dengan begitu diharapkan dapat mewujudkan tujuan reforma agraria, salah satunya menyejahterakan petani.
Tags:

Berita Terkait