Sebuah ‘Kontemplasi’ 7 Tahun UU Keterbukaan Informasi Publik
Edsus Sengketa Informasi:

Sebuah ‘Kontemplasi’ 7 Tahun UU Keterbukaan Informasi Publik

Selama tujuh tahu berlaku, masih ada sejumlah persoalan dalam penyelesaian sengketa informasi. Hukumonline menurunkan sejumlah tulisan yang relevan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi informasi. UU KIP mendorong keterbukaan informasi di semua Badan Publik. Foto ilustrasi: MYS
Ilustrasi informasi. UU KIP mendorong keterbukaan informasi di semua Badan Publik. Foto ilustrasi: MYS
Lepas dari jabatan Ketua Komisi Informasi Pusat beberapa tahun lalu tak membuat Abdul Rahman Ma’mun melupakan isu-isu keterbukaan informasi. Disambangi di kantornya di Jakarta Selatan, akhir April lalu, pengajar di Universitas Paramadina ini masih bersemangat bercerita dan mengungkapkan keyakinan bahwa rezim keterbukaan informasi masih menjadi salah satu kunci penting penyelenggaraan good governance.

Menurut Aman, begitu Abdul Rahman Ma’mun biasa disapa, pembangunan infrastruktur penyelesaian sengketa informasi yang diamanatkan UU No. 14 Tahun 2008  sudah dijalankan dan banyak badan publik yang berbenah. Apalagi ketika pemerintah menunjukkan komitmennya saat evaluasi Badan Publik dilakukan. “Wakil Presiden bahkan langsung ikut menyerahkan penghargaan kepada Badan Publik yang peringkat keterbukaan informasinya bagus,” ujarnya.

UU No. 14 Tahun 2008 mengatur tentang keterbukaan informasi publik (UU KIP). Undang-Undang ini mendorong agar semua Badan Publik membuka beragam informasi publik, dan memberikan akses kepada masyarakat. Informasi yang harus dibuka bisa berupa informasi yang wajib diumumkan secara berkala, wajib tersedia setiap saat, atau informasi yang wajib diumumkan serta merta.

Pada akhir April lalu, UU KIP sudah berlaku tujuh tahun. Sesuai Aturan Peradilan, Undang-Undang ini memang berlaku dua tahun setelah diundangkan. Alokasi waktu dua tahun itu guna memberikan kesempatan kepada para pemangku kepentingan untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Salah satu amanatnya adalah membentuk Komisi Informasi Pusat, dan Komisi Informasi di setiap provinsi. Ditambah lagi, pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap Badan Publik. Aman melihat selama 7 tahun terakhir, sudah banyak perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi pemberlakuan UU KIP. (Baca juga: Bahasa Hukum: Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi).

Tidak ada acara istimewa pas ulang tahun ke-7 UU KIP. Komisi Informasi Pusat lebih mengajak para pemangku kepentingan melakukan kontemplasi. Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat, Evy Trisulo Dianasari, mengatakan sudah banyak perubahan yang terjadi sejak UU KIP dijalankan. Masyarakat kini relatif lebih mudah mendapatkan informasi. UU KIP juga menjadi sarana penting untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara. Itu bisa dibaca dari tujuan-tujuan permohonan informasi yang disampaikan ke Badan Publik dan menimbulkan sengketa. “UU KIP merupakan pintu gerbang bagi masyarakat dalam mengawasi dan terlibat dalam pembangunan,” tegasnya.

Agar implementasi UU KIP terawasi, sejak 2011 setiap tahun Komisi Informasi Pusat menggelar pemeringkatan. Pemeringkatan dimaksudkan mengukur bagaimana penerapan UU KIP dilaksanakan Badan Publik. “Pemeringkatan sebagai cerminan penerapan standar layanan informasi publik di Badan Publik,” jelas Evy.

Hasilnya menumbuhkan optimisme. Tahun 2016 rata-rata tingkat kepatuhan Kementerian, Lembaga Negara (LN), Lembaga Negara Non Kementerian (LPNK), Lembaga Non Struktural (LNS), BUMN, Perguruan Tinggi Negri (PTN) masuk dalam kualifikasi cukup informatif. Penilaian rata-rata tingkat kepatuhan dalam menyediakan dan mengumumkan dokumen anggaran memperoleh nilai sebesar 60,53%  dengan kualifikasi cukup informatif. Ini naik dari tahun 2015 yang hanya sebesar 31,97% dengan kualifikasi tidak informatif. Penilaian rata-rata untuk pengelolaan dan pendokumentasian informasi publik memperoleh nilai sebesar 44,5% dengan dengan kualifikasi kurang informatif, naik dari tahun 2015 yang hanya sebesar 28,5% dengan kualifikasi tidak informatif.

Tentu saja, di satu sisi, masih ada Badan Publik lain yang masih layak dinilai ketat dan menjadi pekerjaan rumah. Misalnya, kepatuhan partai politik membuka anggaran negara dan sumbangan masyarakat yang masuk. Demikian juga  Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di sisi lain, ternyata belum semua infrastruktur keterbukaan informasi berhasil dibangun.

Jaringan masyarakat sipil untuk advokasi keterbukaan informasi publik, FOINI, misalnya, mencatat hingga kini belum semua provinsi memiliki Keterbukaan Informasi, dan otomatis belum memiliki komisionernya. Padahal, Komisi inilah yang bertugas menyelesaikan sengketa informasi. (Baca juga: FOINI Minta Tafsir Pengangkatan Anggota Komisi Informasi).

Nusa Tengara Timur, Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tenggara belum resmi memiliki Komisi Informasi Provinsi. Sulawesi Tenggara sebenarnya sudah punya komisionernya, tapi belum dilantik hingga tanggal 30 April 2017, dan Kalimantan Utara masih tahap seleksi. “Papua Barat sudah dua tahun hasil seleksi tapi belum di-fit and proper test,” kata Desiana Samosir, Koordinator FOINI.

Pekerjaan rumah lain adalah penyelesaian sengketa. Permohonan yang masuk ke Komisi Informasi Provinsi sangat beragam. Ada yang jumlahnya kurang dari 10, tetapi ada juga yang sampai ribuan. Tetapi jumlah total permohonan sengketa sudah ribuan. Komisi Informasi Pusat mencatat pada Tahun 2010-2014,  pemohon penyelesaian sengketa informasi publik didominasi oleh pemohon individu yang sama dan bersifat uji akses. Jenis informasi yang disengketakan mayoritas mengenai dokumen Anggaran antara lain DIPA, RAB, dan Realisasi Anggaran.

Periode 2015-2017, kebanyakan diajukan pemohon individu dan Badan Hukum/Perkumpulan. Informasi yang disengketakan juga lebih variatif meliputi informasi pertanahan, kehutanan/lingkungan hidup atau Sumber Daya Alam (SDA), keputusan pejabat, kepegawaian, dan dokumen anggaran keuangan. Informasi yang disengketakan lebih kepada kebutuhan dan pengembangan dari, baik untuk kepentingan proses peradilan dan kajian ilmiah.

Namun bukan jumlah permohonan sengketa semata yang layak diperhatikan dalam kontemplasi 7 tahun UU KIP. Ada problem penyelesaian sengketa di lapangan karena hukum acara yang belum jelas, pemahaman pemangku kepentingan yang berbeda, dan ada pula inkonsistensi antara satu putusan dengan putusan lain. Jika dibiarkan terus, masalah yang timbul selama 7 tahun ini bisa melahirkan sengkarut sengketa informasi.

Itulah sebabnya, Hukumonline menurunkan sejumlah tulisan yang relevan dengan sengketa informasi.
Tags:

Berita Terkait