ESDM Yakin Skema Gross Split Efisienkan Bisnis Migas
Berita

ESDM Yakin Skema Gross Split Efisienkan Bisnis Migas

Dapat memperpendek jangka waktu, early production lebih cepat dari kontrak cost recovery sehingga lebih menguntungkan bagi para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perusahaan migas. Foto: SGP
Ilustrasi perusahaan migas. Foto: SGP
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meyakini dengan adanya kontrak bagi hasil gross split maka tata kelola hulu migas menjadi lebih efisien dan akuntabel. Sehingga waktu yang digunakan dalam pengembangan migas bisa lebih cepat dibandingkan kontrak dengan cost recovery.

Hal itu disampaikan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, di Kantor Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Jakarta, di depan para stakeholder migas sebagai langkah untuk menyamakan persepsi terkait skema gross split yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 Tahun 2017tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Menurut Arcandra, selama ini ada salah persepsi di mana disebutkan bahwa kontrak gross split harus efisien, padahal sebenarnya efisiensi adalah hasil dari penerapan gross split. (Baca Juga: Gross Split, Langkah Luar Biasa Pemerintah Dongkrak Produksi Migas)

"Dengan skema gross split, kegiatan hulu migas akan menjadi efisien, memperpendek jangka waktu, early production lebih cepat dari kontrak cost recovery, sehingga lebih menguntungkan bagi para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), " ujarnya seperti dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM, Selasa (9/5).

Waktu yang dihemat tersebut, kata Arcandra, adalah waktu untuk penyusunan pre-FEED (Front End Engineering, Procurement and Construction) hingga FEED dan FEED hingga EPC (Engineering, Procurement and Construction). "KKKS diperbolehkan menyusun sendiri tanpa harus melalui pembicaraan panjang dengan SKK Migas. Proses terpanjang itu ada di budget, dengan gross split hal ini dapat dipangkas," katanya.

Arcandra juga menjelaskan bahwa skema gross split sudah dikalibrasi di 10 Wilayah Kerja (WK) Migas di seluruh Indonesia. Hasil kajian tersebut menegaskan penentuan hasil bagi dengan skema gross split lebih baik dibandingkan sistem cost recovery. (Baca Juga: Mengintip Kewajiban Kontraktor dalam Permen ESDM Kontrak Bagi Hasil Gross Split)

Gross Split tidak hanya ditinjau dari split saja, tapi hasilnya hampir sama dan ada benefit lainnya selain dari split, yaitu tangible dan intangible. Gross split juga menjadikan produksi dalam negeri mempunyai nilai ekonomis berupa nilai tambahan split, diharapkan industri penunjang migas pun bertumbuh.

"Efisiensi adalah hasil dari gross split. Bukan gross split harus efisien," tegas Arcandra. (Baca Juga: Sejumlah Masukan Guspenmigas Terkait Industri Penunjang Migas di Indonesia)
Dalam kesempatan itu, Arcandra juga menjawab kekhawatiran para KKKS terhadap penerapan skema baru melalui penerbitan Permen ESDM No.26 Tahun 2017tentang Mekanisme Pengembalian Investasi pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

"Hampir semua lapangan-lapangan yang berakhir kontraknya, 2-3 tahun yang akan berakhir, tidak ada yang mau investasi. Kalau tidak mau investasi, maka produksi turun. Sementara pemerintah punya kepentingan setidak-tidaknya produksi sama," tutur Arcandra.

Menurutnya, Permen ESDM itu bertujuan untuk mengatur mekanisme pengembalian biaya investasi kepada KKKS di akhir masa kontrak kerja sama dalam rangka menjaga kewajaran tingkat produksi dan optimalisasi penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Hal ini terkait dengan beberapa WK migas yang akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan.

"Kita harus bisa membuat sebuah peraturan menteri kalau KKKS eksisting mau investasi dan kita jamin investasi harus kembali," kata Arcandra.

Sebelumnya Staf Khusus Presiden, Didi Setiarto, mengatakan untuk saat ini produksi migas Indonesia yang secara tajam mengalami penurunan tapi di sisi lain, konsumsi migas Indonesia terus naik. Hal ini merupakan pekerjaan berat Pemerintah agar bisa mensiasati sedemikian rupa.

Menurut Didi, tantangan pengelolaan dari eksternal berupa terdapat penurunan harga minyak dunia serta kompetisi global negara-negara penghasil minyak. Sementara tantangan internal yang dihadapai adalah penuntasan revisi UU migas yang masih jauh, terobosan kebijakan fiskal energi yang sat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah melalui skema gross split, dan teknis operasional industri migas di lapangan.

“Perlu ada peningkatan produksi migas. Bagaimana ini dioperasionalkan? Menurut Nawacita Presiden, perlu dikembangkan system fiscal yang fleksibel,” ujar Didi dalam diskusi yang dilaksanakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Kamis (20/4), di Kantor Hukumonline, Jakarta.

Tags:

Berita Terkait