Putusan, Penahanan Ahok dan Masa Transisi Peradilan
Utama

Putusan, Penahanan Ahok dan Masa Transisi Peradilan

Jika melihat pengaturan mengenai penahanan, Ahok bisa melakukan upaya penangguhan penahanan kepada PN Jakarta Utara.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku terdakwa kasus penistaan agama saat menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku terdakwa kasus penistaan agama saat menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto telah menjatuhkan putusan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti bersalah melanggar Pasal 156 a huruf a KUHP. Ahok pun dijatuhkan pidana penjara selama dua tahun.

Dalam putusannya, majelis juga menetapkan penahanan terhadap Ahok. Hasilnya, usai persidangan Ahok dibawa ke Rumah Tahanan (Rutan) Klas I Cipinang, Jakarta. Namun belakangan beredar kabar bahwa Ahok telah dipindahkan ke Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Sejumlah pertanyaan mencuat mengenai penahanan Ahok ini karena sejak penyidikan oleh Kepolisian, pelimpahan perkara ke Kejaksaan, hingga pemeriksaan persidangan di pengadilan oleh majelis hakim sama sekali tidak dilakukan penahanan.

Beberapa kalangan mengira bahwa penahanan Ahok adalah eksekusi dari isi putusan. Padahal, tak lama setelah putusan dibacakan, Ahok dan tim penasihat hukumnya langsung mengajukan banding. Akibatnya, putusan pengadilan yang baru dibacakan belum berkekuatan hukum tetap atas diri Ahok. Lantas mengapa Ahok langsung ditahan dan apa status hukumnya saat ini?

Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, menjelaskan bahwa status Ahok masih terdakwa karena sudah mengajukan banding sehingga putusan yang dijatuhkan hakim belum berkekuatan hukum tetap. Jika mengacu pada KUHAP, jelas disebutkan bahwa terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan, sedangkan terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, status hukum Ahok saat ini bukanlah seorang narapidana yang tengah menjalani masa hukuman. Penahanan Ahok dilakukan atas dasar kewenangan hakim melakukan penahanan. Penetapan penahanan Ahok tertuang dalam isi putusan, dengan mengacu Pasal 21, Pasal 193, dan pasal 197 KUHAP. “Masih terdakwa,” kata Arsil.

Jika melihat Pasal 193 KUHAP yang dirujuk oleh hakim bahwa dalam menjatuhkan pemidanaan atas terdakwa yang dinilai bersalah maka pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk itu. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah jika hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi tindak pidana lagi.

Salah satu pertanyaan yang muncul adalah tidak disebutkan untuk berapa lama Ahok akan ditahan, karena saat putusan selesai dibacakan ia langsung menyatakan banding. Arsil menjelaskan bahwa memang tidak ada ketentuan tertulis yang mengatur lamanya penahanan tersebut.

Penahanan ini, lanjut Arsil, terjadi pada masa transisi dari pengadilan tingkat pertama ke pengadilan banding karena upaya hukum yang dilakukan terdakwa. “Sederhananya begini, dia akan ditahan sampai dinyatakan dia tidak ditahan lagi oleh Pengadilan Tinggi,” kata Arsil.

Menurutnya, hal tersebut merupakan hal yang biasa terjadi dalam praktik peradilan. Karena sejak putusan dijatuhkan hingga upaya hukum oleh terdakwa selesai, terjadi masa kekosongan hukum di mana isi putusan belum bisa dieksekusi. Namun, penetapan penahanan tetap merupakan kewenangan dari majelis hakim.

”Pertanyaannya bagaimana memastikan si terdakwa tidak melarikan diri, problem-nya hakim kan menjatuhkan hukuman, nggak bisa dieksekusi juga kan, belum inkracht, untuk itulah KUHAP mengatur, si hakim yang menjatuhkan hukuman punya kewenangan tambahan yang tidak diatur masa waktunya, tidak tegas diatur dalam pasal penahanan,” kata Arsil .

Walaupun begitu, Arsil memaparkan bahwa dalam praktiknya, masa penahanan akan tetap mengurangi masa hukuman penjara yang dijatuhkan jika pada putusan akhirnya terdakwa akan tetap dijatuhi pidana penjara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22 (4) KUHAP bahwa, masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

“Mengurangi nanti, pokoknya semua jenis penahanan, kalau seandainya dinyatakan bersalah, dihukum, inkrach, masa penahanan ini akan dihitung sebagai masa hukuman. Ini tahanan, transisi dari satu pengadilan ke pengadilan yang lain. Walaupun tidak wajib,” tambah Arsil.

Penangguhan Penahanan
Jika melihat pengaturan mengenai penahanan, Ahok pun masih bisa melakukan upaya penangguhan penahanan kepada PN Jakarta Utara yang memerintahkan penahanannya. Seperti diatur dalam Pasal 31 KUHAP, bahwa hakim dalam kewenangannya dapat melakukan penangguhan penahanan dengan syarat terdakwa wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota.

Menanggapi putusan atas Ahok, salah satu Pengacara Ahok, Tommy Sihotang, tampak berbeda pendapat dalam memahami penahanan yang dilakukan oleh hakim. Ia menilai, bentuk penetapan penahanan oleh majelis hakim kepada kliennya merupakan sebuah eksekusi.

“Kalau saya boleh bilang itu ada dua pemahaman mengenai itu, pertama, sesuai dengan yang diputus hakim, langsung ditahan, atau pemahaman kedua, karena banding belum mempunyai kekuatan hukum, belum bisa dieksekusi,” katanya pada seluruh awak media yang hadir dalam konfrensi pers.

Tommy juga sempat menyinggung bahwa telah terjadi politicking dalam kasus Ahok. “Ini ada kontradiktif makanya kita banding, majelis hakim mengatakan Pak Ahok ini kooperatif, sopan, jujur, pertanyaannya, lalu untuk apa ditahan? Apa dia mau melakukan diri? Kan nggak (mungkin), dia masih Gubernur lho,” ujarnya.

Lebih lanjut dirinya juga mengaku heran dengan seluruh isi putusan majelis hakim yang berbeda dengan isi tuntutan jaksa. Jaksa hanya menuntut untuk menghukum Ahok karena terbukti bersalah atas pelanggaran Pasal 156 KUHP dengan pidana penjara 1 tahun dan masa percobaan selama 2 tahun. “Hakim kelihatannya berusaha membuktikan kesalahannya Pak Ahok,” tambahnya.

Sementara itu I Wayan Sudirta mengutarakan bahwa mereka tetap menghargai lembaga peradilan dan akan menempuh upaya hukum yang tersedia. “Kita tetap menghargai lembaga peradilan, kita bisa memaklumi, bukan menerima, kenapa kita bisa memaklumi? Karena tekanan luar biasa ini sampai ke pengadilan, hakim kan manusia biasa juga, tapi kita kecewa dengan putusan itu makanya kita banding,” katanya.

Bukan Ultra Petita
Ketua Tim Pengacara Ahok, Trimoelja D Soerjadi, menegaskan bahwa putusan hakim atas kliennya bukanlah ultra petita. Ia melihat hal itu dari pasal yang didakwakan kepada Ahok. Dalam dakwaan, Ahok dikenakan Pasal 156 dan/atau Pasal 156 a huruf a KUHP. Sehingga pada putusannya, majelis menilai kliennya terbukti melanggar Pasal 156 a huruf a KUHP.

“Bukan ultra petita ya, karena (hakim) tetap menganggap terbukti dakwaan alternatif pertama yaitu Pasal 156 a huruf a (KUHP). Begini ya, hakim tidak terikat pada tuntutan jaksa, yang penting dakwaannya,” jelas Trimoelja pada hukumonline usai persidangan.
Pasal 156 a huruf a KUHP
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Perlu diingat kembali bahwa konsep ultra petita pada awalnya dikenal dari hukum acara perdata di Indonesia yang sejak masa kolonial masih menggunakan Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Dalam ketentuan Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR serta ketentuan serupa dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten) diatur bahwa seorang hakim dilarang memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Ketentuan HIR hingga saat ini masih merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.

Di luar dari peradilan perdata, konsep ultra petita seringkali digunakan dengan tidak tepat. Pada dasarnya larangan ultra petita bagi hakim di peradilan perdata berkaitan dengan peran hakim yang bersifat pasif terhadap para pihak. Dalam buku rujukan Pengantar Ilmu Hukum tulisan L.J. Van Apeldoorn misalnya dijelaskan bahwa inisiatif untuk mengadakan sengketa secara perdata ada pada para pihak perorangan dan bukan hakim atau badan pemerintah. Para pihak ini mempunyai hak untuk menghentikan sengketa hukum yang telah mereka ajukan di hadapan hakim bahkan sebelum hakim menjatuhkan putusan (Pasal 227 B.Rv). selain itu, lingkup sengketa yang diajukan untuk dipertimbangkan Hakim tergantung pada para pihak.

Hakim hanya akan menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang diminta. Hakim hanya menentukan apakah berbagai bukti dan argumentasi yang diajukan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum (petitum) mereka tanpa menambah sendiri atau memberikan lebih dari yang diminta. Hakim juga tidak bertanggung jawab meragukan atau melakukan pembuktian jika salah satu pihak membenarkan pihak lain. Bahkan hakim di pengadilan perdata tidak boleh melakukan pemeriksaan atas kebenaran sumpah decisoir yang dilakukan salah satu pihak. Hal ini karena hakim hanya menggali kebenaran formil, tidak seperti sifat aktif hakim di peradilan pidana yang menggali kebenaran materiil.

Lain halnya dalam suatu peradilan pidana di mana bisa jadi hakim justru menjatuhkan hukuman lebih dari yang dituntut oleh jaksa. Hal ini karena peran hakim yang bersifat aktif untuk ikut menjaga kepentingan umum yaitu ketertiban bagi masyarakat luas. Trimoelja menegaskan hal ini terkait putusan hakim. “Hakim bahkan bisa menjatuhkan, misalnya jaksa menuntut 2 tahun, hakim bisa menjatuhkan putusan lebih tinggi dari itu, yang penting tidak melampaui maksimumnya.”

Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali menjelaskan pula bahwa “..bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan”. Dengan demikian, apa yang diputus majelis hakim dalam sidang Ahok dengan menyimpangi tuntutan jaksa tidak bertentangan dengan dakwaan awal.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, menjelaskan bahwa putusan majelis hakim masih dalam koridor perundang-undangan. “Pasal 182 (3) dan (4) KUHAP jelas menyatakan berdasarkan dakwaan dan hasil pemeriksaan atau pembuktian persidangan, itu basis hakim harus dari situ. Masih dalam koridor,” katanya.
Pasal 182 KUHAP
(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang;
(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang;

Supriyadi mengungkapkan bahwa jika pun diterima istilah ultra petita dalam konsep peradilan pidana maka itu masih dalam batas isi pasal dalam dakwaan. Hanya saja dalam kasus putusan Ahok dirinya menyayangkan majelis hakim menolak hasil pemeriksaan jaksa selaku penuntut umum yang akhirnya memilih untuk menuntut hanya dengan Pasal 156 KUHP sebagai alternatif dalam dakwaannya. Bagi Supriyadi, jaksa yang paling tahu tentang hasil akhir pemeriksaan persidangan dari dakwaannya untuk diajukan tuntutan.
Tags:

Berita Terkait