Perjanjian Arbitrase dan Pasal 1266 KUH Perdata
Laporan dari Makassar:

Perjanjian Arbitrase dan Pasal 1266 KUH Perdata

Demi hukum, yang punya kewenangan untuk menyatakan salah satu pihak salah dalam perjanjian adalah hakim.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Seminar tentang arbitrase di Makassar, 5 Mei lalu. Ricardo Simanjuntak (kanan). Foto: MYS
Seminar tentang arbitrase di Makassar, 5 Mei lalu. Ricardo Simanjuntak (kanan). Foto: MYS
Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Makassar, M. Jamil Misbach, masih ingat bahwa beberapa tahun silam Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pernah punya kantor perwakilan di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia tak tahu persis mengapa BANI ‘tutup’ saat itu. Yang jelas, kini Jamil berharap BANI kembali hadir seiring perkembangan bisnis di wilayah itu.

BANI adalah lembaga penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase. Forum penyelesaian sengketa ini banyak diminati pelaku bisnis karena dirasakan lebih efisien dan efektif dibanding pengadilan. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kalangan advokat kian sering mendorong kliennya untuk menempuh penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Apalagi kini, semakin banyak forum arbitrase yang tersedia bagi para pihak yang bersengketa. (Baca juga: Arbitrase, Jalur Unggulan Penyelesaian Sengketa Bisnis pada Era Pasar Bebas).

Itu pula sebabnya, seminar internasional yang dilaksanakan DPN Peradi dan DPC Makassar, Jum’at (05/5) lalu, secara khusus mengangkat tema arbitrase. Seiring dengan pertumbuhan bisnis berskala internasional di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar, potensi sengketa antara para pihak semakin besar. “Tidak tertutup kemungkinan timbul sengketa bisnis,” kata Juajir Sumardi, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin. (Baca juga: Advokat Daerah Punya Peluang yang Sama Tangani Sengketa Bisnis Internasional).

Arbitrase, kata Prof. Juajir, sudah seharusnya menjadi pilihan penting dalam penyelesaian sengketa bisnis. Forum penyelesaian sengketa lewat pengadilan yang membutuhkan waktu lama sudah seharusnya ditinggalkan para advokat. “Arbitrase adalah pilihan yang sangat tepat dibandingkan dengan ordinary court,” tambahnya.

Perjanjian arbitrase
Untuk memanfaatkan forum arbitrase para pihak memang perlu sejak dini membuat perjanjian arbitrase. Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan dasar dari penyelesaian dimaksud adalah perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase itu bisa dibentuk sebelum timbul sengketa atau dibuat setelah terjadinya sengketa. Yang jelas, Undang-Undang menghendaki perjanjian dibuat dalam dalam bentuk tertulis.

Suatu perjanjian arbitrase adalah sah jika isinya memuat hal-hal yang disebutkan Pasal 9 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Isinya meliputi masalah yang dipersengketakan; nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; nama lengkap sekretaris; jangka waktu penyelesaian sengketa; pernyataan kesediaan dari arbiter; dan pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Perjanjian arbitrase yang tidak memuat kedelapan materi itu batal demi hukum.

Jika para pihak sepaat menyelesaian sengketa melalui arbitrase tetapi kesepakatan itu timbul setelah sengketa, maka perjanjian tetap harus dibuat tertulis. Jika tidak sempat dibuat dalam bentuk tertulis yang ditandatangani kedua belah pihak, maka perjanjian itu harus dibuat dalam akta notaris.

Suatu perjanjian arbitrase bukanlah perjanjian bersyarat (voorwaardelijke verbintenis). M. Yahya Harahap, dalam bukunya Arbitrase (2004: 61), menulis perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian perjanjian bersyarat yang disebut dalam Pasal 1253-1267 KUH Perdata. Karena itu, perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada suatu kejadian tertentu di masa yang datang. Perjanjian arbitrase tak mempermasalahkan pelaksanaan perjanjian, melainkan mempersoalkan cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa (dispute).

Advokat Ricardo Simanjuntak mengatakan dalam praktek, acapkali orang membuat perjanjian dengan mengesampingkan pasal 1265-1266 KUH Perdata. Dalam kontrak, prinsipnya para pihak bebas menentukan isi perjanjian kecuali yang jelas-jelas dilarang dalam perundang-undangan. Sepanjang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian mengikat kedua belah pihak yang membuatnya. Bagaimana kalau terjadi sengketa?
Pasal 1265 KUH Perdata
Suatu syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian.

Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, cuma ia mewajibkan di berpiutang mengembalikan apa yang sudah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud terjadi.

Dalam sengketa bisnis, para pihak berusaha membuat argumentasi yang membebankan kesalahan ada pada lawannya. Sebaliknya, lawan dimaksud akan mengajukan tangkisan dan menyatakan kesalahan ada pihak pertama. Menurut Ricardo Simanjuntak, demi hukum para pihak tidak bisa menyebutkan pihak lawan salah. Sesuai Pasal 1266 KUH Perdata, kewenangan itu ada di tangan hakim. “Kewenangan itu bersifat mandatory,” kata Ricardo saat tampil dalam seminar internasional tentang arbitrase di Makassar.

Pengesampingan
Sifat mandatory itulah yang akhirnya mendorong banyak orang berusaha mengesampingkan Pasal 1265-1266 KUHPerdata. Tetapi pengesampingkan itu, kata Ricardo, tidak menghilangkan kewenangan pengadilan menyatakan salah benar para pihak yang bersengketa. “Karena demi hukum pengadilan yang berwenang,” tegasnya.

Pasal 1266 KUH Perdata berisi empat hal. Pertama, syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian timbal balik jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kedua, dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Ketiga, permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Keempat, jika syarat batal tidak dinyatakan  dalam perjanjian, hakim leluasa untuk –menurut keadaan—atas permintaan si tergugat, memberikan suatu  jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

Dikatakan Ricardo, sifat mandatory Pasal 1266 KUH Perdata bisa digeser dengan melaksanakan arbitrase. Itu sebabnya, arbitrase adalah alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dan alternatif penyelesaian sengketa di luar arbitrase adalah mediasi, ajudikasi, dan konsiliasi. (Baca juga: Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata).

Penyebutkan arbitrase sebagai ‘pilihan’ mengandung makna bahwa klien si advokat diberika alternatif menyelesaikan sengketa. Klien bisa memilih pengadilan atau arbitrase, bahkan alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Tetapi menurut Ricardo, advokat yang hebat bukanlah yang banyak membawa perkaranya ke pengadilan dan melanjutkan seluruh perkara itu hingga ke Mahkamah Agung. Advokat yang hebat di dunia adalah advokat yang berusaha menyelesaikan perkara kliennya secara damai.

“Kalau advokat bisa menyelesaikan perkara dengan cepat dan damai, kredibilitasnya akan naik,” pungkas Ricardo.
Tags:

Berita Terkait