Harapan Terhadap Mahkamah Agung yang Membahagiakan
Resensi

Harapan Terhadap Mahkamah Agung yang Membahagiakan

Buku ini, meskipun tak secara spesifik disebut, memiliki semangat ingin mendorong perubahan UU Mahkamah Agung. Ada juga harapan lain.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Buku 'Akuntabilitas Mahkamah Agung' yang diterbitkan APPTHI tahun 2016. Foto: MYS
Buku 'Akuntabilitas Mahkamah Agung' yang diterbitkan APPTHI tahun 2016. Foto: MYS
Sebelum lahir UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Mahkamah Agung adalah salah satu lembaga yang sudah lebih dahulu punya payung hukum keterbukaan informasi. Dalam semangat keterbukaan, Mahkamah Agung bisa dibilang mendahului banyak lembaga negara lainnya. Reformasi pelaku kekuasaan kehakiman ini terus berproses hingga kini.

Bagaimana dengan akuntabilitas? Sebuah kompedium buku yang ‘menggugat’ akuntabilitas’ Mahkamah Agung telah diterbitkan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) pada 2016 lalu. Akuntabilitas adalah sebuah kata yang selalu dianggap seperti dua sisi mata uang bersama dengan independensi. Seperti tertuang dalam pengantar Ketua APPTHI dalam buku ini, masih ada tanda tanya mengenai ketertutupan Mahkamah Agung, dan bagaimana lembaga ini menjalankan tata kelola yang baik sebagai solusi atas ketertutupan itu. (Baca juga: Pemohon Minta Perguruan Tinggi Dilibatkan dalam PKPA).

Pertanyaan yang paling dasar tentu saja apa yang dimaksud dengan akuntabilitas dalam konteks ini. Pengantar dan editor buku tak memberikan penjelasan rinci mengenai makna akuntabilitas (accountability), selain mengaitkannya dengan pemanfaatan teknologi untuk memudahkan akses. Misalnya, pembuatan putusan yang bisa diakses masyarakat secara daring. Kesulitan memanfaatkan teknologi itu secara massif disebabkan tiga hal. Pertama, masih adanya sifat koruptif, yakni ingin melakukan hubungan langsung dengan pihak yang berperkara. Kedua, ada keterbatasan anggaran. Ketiga, belum meratanya literasi teknologi, khususnya di daerah-daerah tersulit. (Baca juga: Masukan untuk SIWAS yang Perlu Dicermati).

Jabaran atas catatan editor buku ini tertuang dalam 16 artikel yang ditulis para akademisi dari fakultas hukum anggota APPTHI. Taufiqurrohman Syahuri, mantan komisioner Komisi Yudisial, menulis tentang MA yang Kredibel Sesuai Konstitusi. MA yang kredibel adalah mahkamah yang menjadi dambaan bagi seluruh masyarakat pencari keadilan (hal. 13).

Faisal Santiago menulis tentang MA Sebagai Benteng Terakhir Penegakan Hukum; Zainal Arifin Hoesein menulis MA dan Pembaruan Hukum; Robert KR Hammar menulis tentang putusan hakim sebagai kreativitas seni; Firman Fready Busroh menulis renungan penegakan hukum di negara hukum; dan dan Anthon F Susanto dan Jajang memaparkan makna hermeneutika keyakinan hakim.

Progresivitas hakim salah satu yang perlu didorong di Mahkamah Agung terutama dalam menegakkan keadilan substantif. St. Laksanto Utomo, Ketua APPTHI, termasuk yang optimis bahwa penerapan tata kelola yang baik (good governance) di Mahkamah Agung bisa dilakukan. Tinggal mendorong terus budaya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi sekaligus terus memperkuat akar dan fondasi prinsip supremasi hukum di dunia peradilan (hal. 201).

Itu juga yang tergambar dalam tulisan Upik Mutiara dan Yasardin tentang access to justice pada Pengadilan Agama. Mengutip sebuah survey, 80 % respon menjawab puas terhadap layanan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama merupakan salah satu contuh lingkungan peradilan yang telah menerapkan banyak kebijakan demi mempermudah akses, meskipun tetap ada kendala yang dihadapi (hal. 290).

Penulis lain juga mengangkat sejumlah topik penting. Ade Saptomo mengedepankan audit hukum sebagai instrumen mengakhiri korupsi di peradilan umum; Ahmad Sudiro memberi catatan singkat atas peran MA sebagai pemberi pelayanan hukum; dan Ismail Rumadan mengangkat tema pengikisan tumpukan perkara kasasi dan peninjauan kembali. Relevan dengan itu, adalah tulisan Edy Lisdiyono mengenai penerapan asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan; dan tulisan Mella Ismalena F. Rahayu mengenai peran MA dalam meningkatkan kapasitas dan pofesionalisme hakim perkara lingkungan. (Baca juga: Ini Solusi Pengelolaan Tilang di Pengadilan Negeri)..

Judul Akuntabilitas Mahkamah Agung
Editor Theo Yusuf dan Hermansyah
Penerbit APPTHI dan RajaGrafindo Persada
Tahun terbit Agustus 2016
Halaman 369 + xvii

Masalah etika hakim dalam konteks etika hukum ditulis oleh Sri Ayu Astuti; intervensi pengadilan dalam sengketa bisnis yang terdapat klausul arbitrase oleh Dewi Astuty Mochtar. Satu lagi adalah tulisan Antonius Maria Laot Kian tentang telaah filsafat hukum Habermas dan Blaise Pascal terhadap kemerdekaan hakim di Indonesia.

Buku ini, seperti buku kumpulan artikel lainnya, memiliki benang merah tentang bagaimana membuat Mahkamah Agung lebih baik di masa mendatang. Namun dari paparan para akademisi, sebagian besar memfokuskan pada makna transparansi dan aksesibilitas masyarakat. Tak ada tulisan yang sama sekali menyinggung akuntabilitas anggaran negara yang dipakai oleh Mahkamah Agung dan empat lingkungan peradilan di bawahnya.

Lepas dari itu, buku ini sangat layak untuk dibaca di tengah isu-isu kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan pengawasan hakim baik oleh internal maupun eksternal. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, misalnya, menjadi bagian penting yang selama ini ikut mendorong akuntabilitas Mahkamah Agung. Upaya mendorong akuntabilitas itu tak lepas dari harapan para penulis untuk melahirkan Mahkamah Agung Indonesia yang membahagiakan para pencari keadilan.

Selamat membaca!
Tags:

Berita Terkait