Tips Aman Membuat Perjanjian Kawin ala Notaris dan Hakim Agung
Utama

Tips Aman Membuat Perjanjian Kawin ala Notaris dan Hakim Agung

Putusan Mahkamah Konstitusi otomatis sudah berlaku tanpa tergantung pada petunjuk teknis. Para pelaku perkawinan bisa mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Seminar tentang perjanjian kawin dan tugas notaris yang dilaksanakan Ikanot Undip di Jakarta, Sabtu (13/5). Foto: EDWIN
Seminar tentang perjanjian kawin dan tugas notaris yang dilaksanakan Ikanot Undip di Jakarta, Sabtu (13/5). Foto: EDWIN
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XII/2015 yang memperluas ketentuan tentang perjanjian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tampaknya masih sulit dijalankan. Setidaknya, kondisi itu mengemuka dalam seminar nasional yang dilaksanakan Ikatan Alumni Kenotariatan (Ikanot) Universitas Diponegoro Semarang, di Jakarta (Sabtu (13/5).

Bahkan, sepenetahuan Dirjen Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil, Zudan Arif Fakhrulloh, belum ada satu pun pencatatan perjanjian kawin di Kantor Catatan Sipil beberapa bulan setelah putusan Mahkamah Konstitusi itu keluar. Para petugas Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama masih menunggu petunjuk teknis pendaftaran atau pencatatan perjanjian kawin yang sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.

Dalam seminar Ikanot Undip, hakim agung Gayus Lumbuun dan notaris Habib Adjie memberikan tips untuk membuat perjanjian kawin yang baik. Apa saja? (Baca juga: MK Perlonggar Makna Perjanjian Perkawinan).

Pertama,perjanjian kawin yang dibuat harus dengan akta notaris. Meskipun makna Pasal 29 (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diperluas putusan MK, redaksi pasal itu masih tetap mempertahankan frasa perjanjian perkawinan dengan perjanjian tertulis. Karena itu, perjanjian kawin perlu dengan akta notaris karena sifatnya yang berlaku jangka panjang dan baru berakhir jika perkawinan  berakhir akibat kematian atau perceraian. Harus pula ada jaminan isi perjanjian kawin tersebut tidak mudah diubah oleh para pihak. Jika  perjanjian kawin dibuat dengan akta notaris, lalu diteken para pihak, berarti notaris menjamin isi perjanjian kawin sesuai dengan apa yang tercantum dalam minuta aktanya.

Kepada para pihak diberikan salinan akta yang sama bunyinya dengan minuta akta dan berlaku sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Dengan demikian ada jaminan kepastian hukum mengenai isi perjanjian terhadap pihak ketiga. “Kalau menurut saya wajib dengan akta notaris,” ujar Habib. (Baca juga: Bisakah Membuat Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan Berlangsung atau Postnuptial Agreement?).

Zudan Arif Fakhrulloh juga memberikan penegasan senada. “Harus akta notaries. Kalau dengan akta di bawah tangan kan bisa diubah-ubah. Saya pastikan Dinas Dukcapil tidak menerima perjanjian kawin yang tidak berupa akta notaris,” katanya. (Baca juga: Sanksi Hukum Jika Notaris Menghilangkan Minuta Akta).

Kedua,perjanjian kawin didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan yang beragama Islam atau Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi pasangan yang bukan beragama Islam. Langkah ini terutama diperlukan agar perjanjian kawin yang dibuat mengikat bagi pihak ketiga.  Dengan adanya pendaftaran pada instansi yang telah ditentukan, unsur publisitas telah terpenuhi sehingga mengikat pula bagi pihak ketiga. Jika tidak didaftarkan, perjanjian itu hanya akan mengikat suami-istri sebagai para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1313-1314 dan 1340 KUHPerdata.

Habib merujuk pada yurisprudensi. Putusan Mahkamah Agung No. 3405/K/PDT/2012 tanggal 19 Februari 2014 menegaskan perjanjian kawin yang tidak dicatat menjadi tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga harta bersama yang ada harus dibagi dua suami-istri yang bercerai itu 50%-50%. Karena itu, Habib menegaskan pentingnya pencatatan perjanjian kawin.

Hakim Agung Gayus Lumbuun membuat penegasan senada. “Itu wajib, boleh di Catatan Sipil seperti yang lama atau di notaris, salah satunya harus. Pernikahan adalah satu lembaga baru bagi kehidupan. Kalau tidak (didaftarkan) ya resiko ditanggung sendiri. Kalau terjadi hal-hal yang nanti sengketa, tidak ada bukti hukumnya,” katanya.

Dalam pandangan Gayus, putusan MK telah memberikan pilihan mengenai pengesahan perjanjian kawin, terlebih yang dibuat setelah perkawinan berlangsung. Yang terpenting adalah perjanjian kawin itu setidaknya tercatat dengan akta notaris. Akan tetapi ia menjelaskan jauh lebih baik jika tetap didaftarkan ke pejabat pencatat perkawinan di KUA atau KCS.

Ketiga,dalam rangka perlindungan kepada pihak ketiga, notaris perlu memastikan kepada suami-istri yang membuat akta perjanjian kawin daftar inventarisasi harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan yang akan dicantumkan dalam akta. Selain itu perlu dipastikan ada pernyataan yang dibuat oleh suami-istri bahwa harta tersebut tidak pernah ditransaksikan dengan cara apapun, untuk, dan kepada siapapun.

Petunjuk teknis
Mengenai belum adanya petunjuk teknis, Habib menyarankan jika perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan berlangsung telah dituangkan dalam akta notaris, selanjutnya para pihak mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan. Petitumnya, agar pengadilan memerintahkan KUA atau KCS mendaftarkannya atau mencatatkannya perjanjian kawin dimaksud. Jika akan didaftarkan/dicatatkan ke KUA permohonan diajukan ke Pengadilan Agama, dan jika ke KCS diajukan ke Pengadilan Negeri.

Habib menemukan praktik peradilan sebelum putusan MK, ternyata sudah ada perjanjian kawin yang dicatatan atas perintah penetapan pengadilan. Misalnya ditemukan dalam Penetapan No. 239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel.; Penetapan No. 326/Pdt.P/2000/PN.Jkt.Bar.; Penetapan No. 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tim.; dan Penetapan No.  459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tim.

Dalam Penetapan No. 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tim tersebut majelis hakim mempertimbangkan “bahwa seharusnya para pemohon telah membuat perjanjian perkawinan tentang harta bersama sebelum perkawinan dilangsungkan, akan tetapi karena kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon sehingga baru sekarang para pemohon berniat membuat perjanjian pemisahan harta bersama”. Majelis juga menimbang bahwa “pada kutipan akta perkawinan para pemohon ternyata tidak terdapat catatan tentang perjanjian perkawinan”; dan bahwa Pengadilan tidak menemukan “hal-hal yang bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, karena itu permohonan para pemohon beralasan untuk dikabulkan”.

Zudan menyatakan putusan MK tidak perlu dibuat petunjuk teknis khusus karena otomatis sudah berlaku. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun ia mengakui bahwa proses sosialisasi masih terus berlangsung ke seluruh unit terkait di bawah Dirjen Dukcapil. “Kalau itu nggak perlu aturan teknis, petugasnya yang mungkin belum tahu, surat edaran sedang kita rapikan,” katanya pada hukumonline.
Tags:

Berita Terkait