Rekomendasi WALHI Terkait Implementasi Moratorium Izin Tata Kelola Hutan
Berita

Rekomendasi WALHI Terkait Implementasi Moratorium Izin Tata Kelola Hutan

WALHI menilai selama enam tahun masa moratorium tujuan utama dari kebijakan moratorium belum berhasil.

Oleh:
DAN/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hutan adat. Foto: MYS
Ilustrasi hutan adat. Foto: MYS
Kebijakan penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk ikut serta menurunkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan ancaman pemanasan global bagi Bumi. Untuk itu, pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dikeluarkanlah Instrksi Presiden (Inpres) No.6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Di masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo juga mengeluarkan Inpres No.8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini ditujukan kepada 3 Menteri terkait yakni, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Menteri Dalam Negeri; dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Pimpinan Badan, Pimpinan Unit Kerja, Pimpinan Satuan Tugas di tingkat pusat, para Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia, untuk menjalankan Inpres tersebut.

“Selain mendapatkan apresiasi, kebijakan Presiden ini juga mendapatkan sorotan kritik dari banyak pihak, utamanya karena Inpres ini hanya memiliki semangat memperpanjang moratorium untuk dua tahun (lagi), sementara secara substansi masih jauh dari menjawab problem pokok dan struktural dari carut marutnya pengelolaan sumber daya alam kita,” papar WALHI melalui keterangan tertulisnya, yang dikutip hukumonline, Senin (15/5).(Baca Juga: Ketentuan Area Pengelolaan Hutan Diubah, Pekerja Industri Kehutanan Resah)

Sejak awal keluarnya Inpres ini, WALHI mengkhawatirkan kebijakan ini akan menemui nasib yang sama seperti kebijakan sebelumnya. Hanya menjadi secarik kertas, tidak memiliki kekuatan hukum dan bahkan tidak bersifat mandatory bagi Kementerian atau Lembaga negara lainnya, termasuk Pemerintah Daerah, yang kini kewenangannya kembali bertumpu pada Provinsi sesuai dengan UU No.23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tigabulan setelahPresiden Jokowi mengeluarkan Inpres Moratorium, peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi. Data WALHI menyebutkan titik api sebagian besar berada di wilayah konsesi perusahaan dan yang ironinya titik api juga ditemukan di area Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB). Artinya, Presiden Jokowi tidak menggunakan kesempatan penyelamatan hutan dan lahan gambut di Indonesia yang berakibat pada kerugian yang sangat besar bagi negara dan masyarakat.

“Kala itu, Presiden memilih melewatkan kesempatan membuat gebrakan penyelamatan lingkungan hidup, hutan alam dan ekosistem rawa gambut dengan memperkuat kebijakan moratorium,” ujar WALHI.(Baca Juga: Revisi PP, Pemerintah Perketat Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut)

Inpres No. 8 Tahun 2015 akan berakhir. Sama seperti dua tahun sebelumnya, publik masih menanti keputusan Presiden, apakah kebijakan moratorium akan segera dikeluarkan. Terlebih, moratorium terhadap perizinan perkebunan sawit telah disiapkan sejak tahun 2016, sayangnya sejauh ini publik belum mengetahui sampai dimana prosesnya, di tengah berbagai tantangan dan dinamika ekonomi politik yang berkembang di dalam dan luar negeri.

WALHI menilai, selama enam tahun masa moratorium, tujuan utama dari kebijakan moratorium belum berhasil, pembenahan tata kelola sumber daya alam khususnya di sektor kehutanan belum terjadi. Untuk itu,WALHI mendorong Pemerintah untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Mengeluarkan kebijakan penundaan pemberian izin baru perkebunan kelapa sawit dan sektor lainnya seperti HPH, HTI dan tambang dalam bentuk Peraturan Presiden. Kemudian yang kedua, memperkuat perlindungan hutan alam dan lahan gambut  melalui audit perizinan seluruh industri/usaha berbasis lahan. Audit perizinan untuk melihat aspek pelanggaran hukum dan konflik. Dari hasil audit perizinan ini, akan diklasifikasikan pada upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan dan perundang-undangan dan penciutan wilayah konsesi korporasi, serta penyelesaian konflik. (Baca Juga: 5 Putusan Pengadilan Terkait Kebakaran Lahan) 

Ketiga, mempercepat pelaksanaan Kebijakan Pemerataan Ekonomi, melalui pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial untuk mengatasi ketimpangan penguasaan dan pengelolaan tanah antara usaha skala besar dengan rakyat dan petani miskin. HGU perkebunan yang bermasalah dan atau telah habis masa izinnya, diambilalih oleh negara dan diredistribusikan kepada rakyat untuk dikelola secara berkeadilan dan berkelanjutan.

Keempat, mendorong ekosistem rawa gambut yang sudah mendapatkan izin usaha tetapi belum ada kegiatannya segera diambilalih oleh negara, sebagai langkah perlindungan dan penyelamatan ekosistem rawa gambut. Memastikan korporasi yang melakukan pengrusakan hutan alam, lahan gambut serta kawasan ekosistem esensial lainnya untuk melakukan pemulihan sebagai tanggung jawab mereka, tanpa mengurangi kewajiban hukumnya.

Kelima, melakukan perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia disertai dengan rencana aksi dan indikator capaian yang terukur, mencakup: (a)Membentuk Tim Independen untuk melakukan audit perizinan dan merekomedasikan pencabutan atau penciutan izin-izin perkebunan yang melanggar hukum, (b) Penguatan kerangka regulasi perkebunan kelapa sawit dan sinkronisasi dengan regulasi sektor lainnya (kehutanan, pertambangan, penataan ruang,  dan lain-lain), serta (c) Melakukan upaya-upaya intensifikasi perkebunan kelapa sawit yang sudah ada khususnya pekebunan skala kecil, inventarisasi kebun sawit non skema, dan penataan hilirisasi industri sawit.

Jika penguatan kebijakan moratorium dilakukan bersamaan dengan langkah-langkah aktif yang dilakukan oleh pemerintah, negara dapat menyelamatkan hutan alam, ekosistem rawa gambut dan kawasan ekosistem esensial lainnya seperti karst dapat melampaui target Rencana Kerja Tahunan Kehutanan Nasional 69.144.073. Dari analisis spasial terhadap arahan RKTN dengan PIPIB, tersedia potensi sebesar sekitar 80 juta hektar wilayah yang terlindungi.

Sebelumnya, Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo meminta pemerintah tidak memperpanjang moratorium pembukaan hutan dan lahan gambut yang akan berakhir pada 13 Mei 2017 karena regulasi yang tertuang dalam Inpres No. 8Tahun 2015 tersebut dinilai menghambat investasi.

"Tidak usah diperpanjang karena (regulasi) tersebut menghambat investasi. AS saja mati-matian menarik investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Masa kita malah hambat investasi," kata Firman, Senin (8/5).

Menurut politisi Partai Golkar itu, investasi merupakan bagian penting bagi perekonomian dan penerimaan negara. Oleh karena itu, pemerintah harus menjaga dan melindungi investasi yang sedang berlangsung di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait