Bandul Mau ke Mana?
Tajuk

Bandul Mau ke Mana?

Ketakutan dan rasa frustrasi itu wajar saja, apalagi kalau bayangan seramnya adalah bila wajah kita tiba-tiba sebagai bangsa, atau negara, berubah menjadi wajah monster. Bukti nyatanya belum ada, dan mudah-mudahan tidak akan ada, tetapi rasanya ancaman ke arah sana selalu saja menari-nari membayangi kesadaran kita.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. BAS
Ilustrasi. BAS
Suatu malam di tahun 2010 di Jakarta, saya berada di antara puluhan teman yang berkumpul untuk menandai lahirnya suatu pusat riset, yang menjadi bagian dari pusat-pusat riset dan penelitian Universitas Indonesia. Pusat riset tersebut didukung oleh seorang teman, Almarhum Roderick Hills, yang berpartisipasi melalui CSIS Hills Program on Governance (tidak terkait dengan CSIS Indonesia) yang berpusat di Washington DC. Kerja sama dengan UI tersebut, dinamai UI Center for the Study of Governance. Sewaktu menyambut, mewakili semua teman anggota pendiri, Erry Riyana Hardjapamekas, yang didaulat sebagai ketuanya, antara lain menyatakan terima kasihnya kepada Rod, dengan mengatakan antara lain kira-kira seperti ini: “Rod yang Republiken tetapi tetap seorang yang sangat demokrat dan menjunjung tinggi penegakan Good Governance di semua sektor...” Hampir semua hadirin tertawa lebar termasuk Rod sendiri, masing-masing dengan persepsi yang mungkin berbeda dalam mengartikan sentilan politis tersebut.

Setelah beberapa kali berdiskusi di beberapa makan siang di business clubnya di DC, saya lebih dalam mengenal Rod, yang dahulu pernah menjabat sebagai Chairman dari US Security Exchanges Committtee, pendiri dari suatu law firm “lobbyist” berpengaruh di DC, dan yang peran isterinya, Carla Hills, mantan Menteri Perdagangan AS, sangat berpengaruh dalam perundingan-perundingan dagang AS dengan negara-negara lain, bilateral maupun multilateral. Rod juga sangat menonjol perannya sebagai Chairman dari US-Asean Business Council yang aktif berperan dalam berbagai perundingan antara AS dan negara-negara ASEAN. Dari latar belakangnya dan lingkungannya yang saya tahu, Rod adalah tokoh Partai Republik yang berpengaruh. Di luar kebiasaan kami yang  “lebih dekat” bergaul dengan teman-teman Amerika yang sejalan dengan platform Partai Demokrat, nyatanya kami bisa juga berteman baik dengan tokoh Republiken ini. Yang menakjubkan, ternyata Rod dan sejumlah temannya di Partai Republik, dalam pemilu Presiden AS tahun 2008 mendukung Obama, calon dari Partai Demokrat yang oleh Republiken tulen dianggap kekiri-kirian. Kecewa dengan sejumlah kebijakan Obama, dalam pemilu AS tahun 2012, Rod tidak lagi mendukung Obama.

Dari sini jelas bahwa pilihan-pilihan yang dilakukan oleh warga berpengaruh di AS tidak melulu melekat dan membuta setia pada pilihan partainya. Orang-orang cerdas, matang dan berpredikat negarawan tersebut memilih kandidat-kandidatnya berdasarkan kondisi dan kebutuhan negara waktu itu, kebijakan partai waktu itu, kebutuhan masyarakat luas waktu itu, dan kebijakan-kebijakan yang diduga akan diambil oleh para kandidat kalau salah satu dari mereka terpilih nantinya.

Saya kira dimanapun pasti ada segolongan orang yang berpikiran sama. Mereka yang memandang pemilu atau pilkada sekadar sebagai pesta demokrasi sehari. Mereka yang menganggap bahwa gonjang-ganjing masa kampanye hanya merupakan bunga-bunga demokrasi, baik sebagai hiburan atau informasi bagi pemilih pemula, atau sebagai ajang bagi mereka yang baru belajar berdemokrasi, atau forum bagi mereka yang masih “belum selesai”. Dengan begitu banyaknya jumlah warga seperti itu, maka ekses kampanye selalu terjadi. Kadarnya pun berbeda-beda, dari yang sekadar akan hilang karena waktu berlalu, ada yang secara pribadi menusuk dan menyakiti hati secara dalam orang-orang tertentu, dan ada pula yang mengguratkan luka cukup dalam pada ide-ide pembentukan Republik dan kesatuan berbangsa. Yang terakhir ini bisa berlanjut kalau penguasa dan elite politik tidak cukup sensitif, atau takut mengambil risiko dan tidak cukup tanggap memberikan keputusan untuk memadamkan asap yang membahayakan kehidupan berdemokrasi dan kelangsungan berbangsa tersebut. Kita tahu bahwa isu SARA selalu timbul tenggelam dalam praktik demokrasi kita, yang sekaligus menunjukkan tingkat kedewasaan kita dalam berpolitik dan berdemokrasi pada suatu kurun waktu. Suatu bangsa bisa melakukan satu kebodohan besar bila memberikan kesempatan kepada mayoritasnya untuk memilih, dan akibat pemilihannya tersebut menenggelamkan bangsa tersebut ke dalam suatu situasi yang mundur dari peradaban berpolitik dan berdemokrasi secara dewasa. Banyak orang yang menjadi takut dan frustrasi karenanya, sebab bangunan demokrasi yang sudah tersusun dengan baik melalui perjuangan sulit dan kadang-kadang berdarah-darah, kini terancam runtuh.

Ketakutan dan rasa frustrasi itu wajar saja, apalagi kalau bayangan seramnya adalah bila wajah kita tiba-tiba sebagai bangsa, atau negara, berubah menjadi wajah monster. Bukti nyatanya belum ada, dan mudah-mudahan tidak akan ada, tetapi rasanya ancaman ke arah sana selalu saja menari-nari membayangi kesadaran kita.

Yang sebenarnya mereka takutkan mungkin adalah bila tiba-tiba wajah kita menjadi monster teror dengan menggunakan kedok agama tertentu. Atau wajah kita berubah menjadi wajah monster gurita kapitalis liberal yang memperbesar jurang pemisah kaya-miskin, dan dianggap dekat dengan kebejatan moral. Atau wajah kita berubah menjadi wajah monster komunis totaliter yang hantunya bangkit dari kubur.

Perjalanan bangsa kita tidak pernah menunjukkan keberhasilan ancaman-ancaman tersebut. Keberagaman dan toleransi sudah mengalir di urat nadi sebagian besar orang Indonesia yang pada dasarnya waras. Ancaman-ancaman itu memang mungkin menakutkan buat sementara orang yang pernah mengalami pengalaman traumatik, mereka yang terdidik secara salah dalam keluarga atau lingkungan yang dunianya berada di bawah tempurung, atau mereka yang belum cukup dewasa untuk menjadi bagian dari masyarakat demokratis. Ancaman-ancaman menjadi semakin terlihat nyata karena dimanfaatkan dan dibesar-besarkan oleh mereka yang berharap mendapatkan manfaat dari keadaan yang serba kacau dan tidak menentu. Dikatakan oleh banyak orang bahwa ini terjadi karena mayoritas yang baik, yang plural, yang pro demokrasi cenderung diam. Ruang terbuka, ruang media, dan ruang maya dikuasai oleh mereka yang ingin mengambil kesempatan dan manfaat dari kondisi yang kacau tadi. Saya pernah menulis di rubrik ini bahwa kelas menengah kita tidak pernah mati. Mungkin terlena, karena menganggap bahwa semua berjalan baik-baik saja setelah kita bertransformasi sejak 1998. Mereka akan bangkit kalau ada suatu isu mengemuka yang sangat mengganggu. Mereka mungkin tidak akan turun ke dunia ke jalan karena itu bukan tempat mereka. Mereka adalah wakil-wakil dari birokrat, tentara, polisi, jaksa, hakim, advokat, anggota parlemen, karyawan swasta, profesional, aktivis LSM, pemuka agama, guru, mahasiswa, pemuda, petani, pedagang, pensiunan, ibu rumah tangga, seniman, budayawan yang masih waras. Mereka yang sadar bahwa masa depan mereka tidak ditentukan oleh orang-orang yang bisa membawa mundur peradaban. Mereka yang sadar bahwa masa depan mereka adalah sejajar dengan mereka yang sejahtera di negara-negara maju. Merekalah yang akan menentukan kemana kita akan bergerak ke depan.

Sejumlah orang, bahkan pakar, mengkhawatirkan bahwa keberhasilan di Pilkada yang berbau SARA, dianggap sebagai model pemilihan yang akan berhasil diterapkan dalam pemilihan di skala nasional. Dan kalau pilkada-pilkada tersebut mencapai skala masif, ketakutan mereka berujung pada pertanyaan kemana nanti semangat pembentukan Republik, semangat berbangsa, dan semangat kita mengikat diri dalam persatuan yang dikandung dalam konstitusi kita akan dibawa? Apa wajah Indonesia kelak, dan kemana bandul dasar bernegara kita akan bergerak?  Ke kanan? Ke kiri? Ke tengah? Ke kanan-tengah? Ke kiri-tengah?

Kita tidak seharusnya takut. Memang ada eskalasi yang memanaskan kondisi politik. Kita pernah mengalami itu setelah melalui berbagai krisis nasional. Dan sampai saat ini Republik masih berdiri, bangsa ini masih bersatu, orang-orang waras masih tegak mendukung Republik, dan mayoritas kita saya percaya masih waras. Sebagai pelajaran, dalam kurun waktu kurang dari satu dua dasa warsa yang berlalu, kita melihat bahwa Amerika Latin mengalami perubahan drastis yang menarik. Brazil, Chili, Venezuela pernah sangat militeristis-totaliter, kemudian bandul mereka bergerak ke kiri dengan sosialisme gaya barunya, tapi sekarang bandul itu sudah mengarah ke kanan lagi, atau setidaknya ke tengah. Kalaupun mereka mengaku kiri baru, nyatanya mereka akrab bersahabat dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang tentu saja membawa kepentingan kapital. China pun yang resminya komunis, pendekatannya selalu didasarkan pada kepentingan kapital, pertumbuhan ekonomi dan keuntungan usaha. Kita dicemaskan oleh kemenangan Trump dengan ide-idenya yang dianggap tidak waras. Tetapi itu tidak terjadi dalam pemilu Belanda, dan pemilu di Perancis minggu lalu.

Pilkada di Jakarta beberapa minggu yang lalu bukanlah tentang proses pemilihan ideologi apa yang kita beri kesempatan untuk membawa Jakarta berkembang untuk lima tahun ke depan. Ini bukanlah perang tanding ideologi dari parpol-parpol. Pertama, pemilih tidak percaya lagi pada parpol, dan kedua, parpol-parpol juga dianggap sudah tidak membawa ideologi lagi. Parpol hanya melihat kepentingan berkuasa, habis perkara. Pilkada yang baru saja terjadi adalah proses pemilihan orang-orang, untuk menjadi pimpinan daerah ini selama lima tahun ke depan. Orang-orang ini punya latar belakang masing-masing yang digunakan sebagai modal (uang, karakter, keilmuan dan lain-lain) untuk memenangkan pilkada, punya parpol pendukung, punya ahli strategi, punya masa bukan parpol, punya pendukung dikalangan media dan media sosial, punya juga pendukung orang-orang biasa, punya pendukung-pendukung yang “invisible”, dan tentu pendukung-pendukung yang punya kepentingan politik tertentu atau kesempatan untuk mendapatkan bisnis tertentu dari Jakarta yang kaya. Mereka kadang bisa dikendalikan, kadang tidak. Merekalah yang bekerja untuk menangguk suara. Mereka kadang tidak berkoordinasi atau mungkin bekerja sendiri dan secara gelap. Mereka melakukan kampanye pencitraan, mereka melakukan kampanye untuk menjatuhkan lawan, dan yang kurang bisa dikendalikan melakukan kampanye-kampanye yang di luar batas kewajaran termasuk kampanye yang dianggap menggunakan unsur SARA. Banyak orang atau lembaga, bahkan lembaga-lembaga yang resmi mengurus pilkada melakukan pembiaran. Semua terjadi di depan mata kita begitu saja tanpa bisa dicegah. Hal demikian bukan hal baru, dan bisa terjadi lagi. Apakah membahayakan untuk kepentingan Republik dan bangsa? Jawabannya bisa ya, tetapi sekali lagi, semua ini tidak cukup untuk meruntuhkan apa yang sudah disepakati oleh bapak-bapak bangsa pada awal lahirnya Republik, dan sudah kita pelihara selama ini. Kita akan baik-baik saja kalau mayoritas kita tetap waras.

Jadi apa hubungannya semua ini dengan pembuka di atas yang menampilkan sosok Rod Hills? Saya punya harapan besar bahwa ke depan, masing-masing dari kita yang waras ini, bisa mengikuti jalan pikiran Rod pada waktu memilih Obama yang merupakan lawan politik parpol di mana Rod menjadi pemukanya. Rod memilih Obama karena mungkin melihat bahwa programnya lebih baik dari program kandidat Partai Republik. Atau Rod beranggapan bahwa orang seperti Obama inilah yang dianggap paling tepat untuk memenuhi panggilan jaman dan kebutuhan bangsa AS pada masa itu. Atau Rod sekedar menganggap bahwa Obama lebih baik atau lebih tidak berbahaya dari Bush Jr. Kita seharusnya memilih bukan berdasarkan dari parpol mana kandidat pilihan kita berasal, bukan berdasarkan kepentingan dari pemilik modal yang mendukung kandidat pilihan kita, bukan dari agama, suku, atau etnis mana atau warna kulit apa kandidat pilihan kita berasal. Kandidat pilihan kita adalah ia atau mereka yang sadar betul bahwa mereka dipilih oleh tuntutan zaman ini, oleh kepentingan terbaik mayoritas penduduk, dan oleh mereka yang punya harapan Indonesia akan tetap menjadi bagian dari peradaban. Kalau kesadaran itu ada, nampaknya keyakinan kita akan bertambah bahwa kita akan baik-baik saja, Republik akan tetap ada, dan kita masih bisa menyebut jati diri kita sebagai bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang jauh ke depan.

Badang, Mei 2017. ATS
Tags: