Polemik Pasal Penodaan Agama Tetap Masuk dalam RKUHP
Utama

Polemik Pasal Penodaan Agama Tetap Masuk dalam RKUHP

RKUHP masih memasukan pasal penodaan agama meski belum mendapat persetujuan dari seluruh fraksi di DPR.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Diskusi Forum Legislasi dengan topik Pasal Penodaan Agama menampilkan narasumber Arsul Sani dan Refly Harun di Komplek Parlemen, Selasa (16/5). Foto: RFQ
Diskusi Forum Legislasi dengan topik Pasal Penodaan Agama menampilkan narasumber Arsul Sani dan Refly Harun di Komplek Parlemen, Selasa (16/5). Foto: RFQ
Pasca putusan kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok belakangan muncul suara desakan agar pasal penodaan agama dihapuskan dari KUHP. Di sisi lain, sebagian kalangan memandang keberadaan pasal penodaan itu masih diperlukan. Terlebih, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menolak pengujian Pasal 156 ataupun Pasal 156a KUHP karena dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan perdebatan keberadaan pasal penodaan agama sudah ramai menjadi perbincangan sejak beberapa tahun lalu. Bahkan, sempat diajukan pengujian ke MK oleh sekelompok orang. Namun, dalam putusan MK No.140/PUU-VII/2010, MK menolak permohonan pemohon.

Dia sependapat dengan putusan MK yang menolak pengujian pasal tersebut dengan alasan pasal tindak pidana penodaan agama tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski putusan MK ini terdapat concurring opinion (alasan berbeda) dan dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Hakim Konstitusi Harjono dan Maria Farida Indrati.

“MK menyimpulkan pasal itu masih konstitusional. Namun dalam pertimbangan hukumnya, MK mengarahkan agar norma dalam pasal tersebut diperbaiki supaya tidak menjadi pasal karet, sehingga normanya mesti disempurnakan,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (16/5/2017). Baca Juga: Meski Konstitusional, UU Penodaan Agama Perlu Disempurnakan

Tak hanya putusan itu, pengujian pasal penodaan agama ini pernah kembali dimohonkan oleh Tajul Muluk, Hasan Alaydrus, Ahmad Hidayat, Umar Shahab, dan Sebastian Joe pada 2012 ke MK. Namun, sayangnya MK tetap menolak permohonan para pemohon tersebut. Berdasarkan dua putusan MK tersebut, kata Arsul, mestinya dalam aspek ketatanegaraan persoalan pasal penodaan agama telah selesai.

“Kalau ada kalangan berpendapat pasal itu melanggar konstitusi dan kebebasan berpendapat, menurut saya tidak bisa lagi (beralasan), karena sudah diputuskan MK,” tegasnya.

Mengacu pada dua putusan MK tersebut, kata Arsul, pasal penodaan agama tetap dipertahankan dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hanya saja, rumusan normanya mengalami perubahan. Dikatakan Arsul, rumusan pasal tersebut sudah dilakukan pembahasan di tingkat Panja bersama dengan pemerintah.

“Hanya saja memang belum disetujui secara keseluruhan dari kelompok fraksi di Komisi III. Itu sebabnya masih terdapat perbedaan pandangan dari sejumlah fraksi,” kata dia.

Dalam RKUHP, pasal penodaan agama diatur dalam Pasal 348 RKUHP. Bila dalam KUHP penodaan agama ancaman maksimal hukuman selama lima tahun penjara. Namun, dalam RKUHP ancaman hukuman maksimal hanyalah dua tahun atau denda kategori 3. “Rumusan norma dalam pasal penodaan agama lebih sederhana dibanding sebelumnya,” ujar Anggota tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP ini.  

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu telah meminta pemerintah memberikan penjelasan perbuatan/tindakan yang masuk dalam kategori penodaan agama tidak subjektif. Nantinya, penentuan masuk tidaknya unsur penodaan agama menjadi ranah penegak hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

“Sejauh ini DPR dan pemerintah mengacu putusan MK. Tetapi, masyarakat sipil kan maunya dihapus saja. Nah, kami tidak sepakat dengan usulan penghapusan pasal itu. Kalau ada orang yang menghina agama, kemudian nggak ada hukumnya dan diselesaikan dengan caranya sendiri bisa dark justice,” dalihnya.

Pengamat hukum tata negara Refly Harun berpandangan Pasal 156 dan 156a KUHP bukanlah pasal yang tak dapat diubah meski sudah diputuskan MK. Menurutnya, UU yang baik ketika mulai dirumuskan hingga menjadi produk legislasi tidak menimbulkan multitafsir. Sebaliknya, pasal multitafsir dalam sebuah UU menunjukan buruknya kualitas legislasi.

Refly menceritakan sejarah munculnya Pasal 156a di era orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Menurutnya, munculnya Pasal 156a KUHP akibat lobi-lobi dari pemuka agama kala itu ke Presiden Soekarno. Alhasil, terbitlah Penetapan Presiden Republik Indonesia No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Baca Juga: UU Penodaan Agama Tak Kekang Kebebasan Beragama

Namun fakta di lapangan, kata Refly, kelompok mayoritas mendikte kelompok minoritas. Padahal, mestinya negara melindungi kelompok mayoritas maupun minoritas. “seharusnya pasal penodaan agama tak saja melindungi kalangan muslim, tetapi juga nonmuslim,” harapnya.

Tak yakin rampung RKUHP
Refly melanjutkan pembahasan RKUHP yang di dalamnya tetap memasukkan pasal penodaan agama mesti segera dirampungkan meski belum mendapat persetujuan dari seluruh fraksi terkait dengan rumusan normanya.

“RKUHP harus cepat dibuat DPR. Tetapi saya nggak yakin bisa selesai. Kalau tidak selesai ubah saja secara parsial. Kalau tidak, kita ajukan judicial review ke MK. Konstitusional itu kan bisa berubah,” ujarnya.

Menurutnya, bila MK membatalkan Pasal 156 dan 156 a, setidaknya MK bisa memberi Batasan. Misalnya, ujaran kebencian terhadap orang yang secara masif mengutarakan kebencian agama tertentu. Karena itu, batasannya adalah ujaran kebencian. “Dan itu harus masif, bukan keseleo ngomong. Karena itu, harus dikualifikasi sebagai ujaran kebencian,” sarannya.

Selain itu, mesti adanya tindakan yang menodai agama dengan perbuatan nyata, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang dalam hukum penodaan agama. “Mudah-mudahan kita rasional,” katanya. Baca Juga: Putusan, Penahanan Ahok dan Masa Transisi Peradilan

Arsul menambahkan keberadaan pasal penodaan agama tetap diperlukan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, pasal tersebut sebagai bentuk hukum sebagai alat pengendalian sosial di tengah masyarakat, sehingga menghindari potensi masyarakat bertindak sendiri.
Tags:

Berita Terkait