Penghapusan Pasal Penodaan Agama Potensi ‘Peradilan Jalanan’
Utama

Penghapusan Pasal Penodaan Agama Potensi ‘Peradilan Jalanan’

Pemerintah dan DPR masih tetap mempertahankan keberadaan pasal penodaan agama dalam RKUHP dengan berbagai alasan.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
Desakan sebagian kalangan agar menghapus pasal yang mengatur penodaan agama dari Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ditolak kalangan parlemen. Alasannya sederhan, kalau pasal penodaan agama dihapus, ketidaan aturan tersebut bakal berpotensi terjadinya peradilan jalanan. Karena itu, pemerintah bersama DPR masih tetap mempertahankan aturan pasal penodaan agama dalam RKUHP.

“Kalau itu (pasal penodaan agama, red) dihapus, apa yang terjadi dengan penghinaan-penghinaan terhadap agama lain. Akhirnya, apakah kita serahkan ke ‘peradilan jalanan’?” ujar Wakil Ketua Komisi III Desmon Junaidi Mahesa di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (18/5/2017). Baca juga: Polemik Pasal Penodaan Agama Tetap Masuk dalam RKUHP

Menurutnya, bagi negara yang terdiri dari berbagai suku dan agama, seperti Indonesia, keberadaan pasal tersebut menjadi penting. Setidaknya, dapat mengatasi konflik yang disulut akibat persoalan penodaan agama tertentu. Untuk itu, norma hukum penodaan agama di tengah masyarakat berperan penuh untuk mengatasi konflik antar agama. Apalagi, bila aturan penodaan agama tidak ada dipastikan negara tak akan terlibat mengatasi konflik agama.   

“Padahal dalam konstitusi, peran negara melindungi seluruh warga negaranya,” kata dia.  

Desmon mengatakan sebagian kalangan yang menolak keberadaan pasal itu mesti melihat jernih akibat yang ditimbulkan ketika terjadi kasus penodaan agama tanpa ada aturannya. Baginya, adanya pasal penodaan agama memberi peran negara untuk hadir di tengah-tengah masyarakat agar tercipta kerukunan, tertib, dan saling menghargai perbedaan keyakinan.

Politisi Partai Gerindra itu berpendapat penghapusan pasal penodaan agama tak menjadi persoalan apabila masyarakatnya bisa menjamin dan telah siap tidak saling menghina agama lain. Sayangnya, masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama tak bisa menjamin dan menjaga hal tersebut. Itu sebabnya demi menjaga ketertiban sosial, umum, maka tetap diperlukan pasal penodaan agama.

“Kalau dicabut, perbedaan akan semakin tajam. Akhirnya, ‘peradilan jalanan’ justru kecenderungan mayoritas (mengadili) terhadap minoritas, pidana apa yang harus diterapkan,” ujarnya.

Anggota Panja RKUHP Dossy Iskandar Prasetyo menambahkan wacana pencabutan penghapusan pasal penodaan agama mesti disertai dengan alasan yang rasional. Di sisi lain, bila pasal penodaan dihapus tanpa alasan yang rasional bakal memunculkan kekacauan akibat perbuatan penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia.  

Dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, negara harus memainkan perannya menjaga persatuan dan kesatuan. Meski kebebasan berekpresi dan memeluk agama, negara tidak berhak melakukan intervensi. Sebab kebebasan berekspresi dan beragama merupakan hak asasi manusia (HAM) yang mendasar.

Namun, negara pun tak boleh membiarkan terjadinya kegaduhan yang mengganggu stabilitas keamanan negara akibat munculnya kasus-kasus penodaan agama. Itu sebabnya negara mesti hadir melalui penegakkan aturan pasal penodaan agama yang berkeadilan. Baca Juga: Meski Konstitusional, UU Penodaan Agama Perlu Disempurnakan

“Loh, bagaimana kalau tidak ada aturan penodaan agama, orang bisa ngata-ngatain seenaknyasoal keyakinan, tak bisa diukur dengan rasionalitas. Ini bisa terjadi gesekan kemudian negara dianggap tidak mampu dan ada proses pembiaran ketika terjadi saling ejek dan serang,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Hanura itu.

Pengamat hukum tata negara Refly Harun berpandangan Pasal 156 dan 156a KUHP bukanlah pasal yang tak dapat diubah meski sudah diputuskan MK. Menurutnya, UU yang baik ketika mulai dirumuskan hingga menjadi produk legislasi tidak menimbulkan multitafsir. Sebaliknya, pasal multitafsir dalam sebuah UU menunjukan buruknya kualitas legislasi.

Refly menceritakan sejarah munculnya Pasal 156a di era orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Munculnya Pasal 156a KUHP akibat lobi-lobi dari pemuka agama kala itu ke Presiden Soekarno. Alhasil, terbitlah Penetapan Presiden Republik Indonesia No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 

Namun fakta di lapangan, kata Refly, kelompok mayoritas mendikte kelompok minoritas. Padahal, mestinya negara melindungi kelompok mayoritas maupun minoritas. “Seharusnya pasal penodaan agama tak saja melindungi kalangan muslim, tetapi juga nonmuslim,” harapnya.

Perbaiki rumusan norma
Lebih lanjut, Dossy Iskandar menegaskan pasal penodaan agama tetap masuk dalam RKUHP. Pemerintah dan DPR pun mempertahankan keberadaan pasal tersebut. Masuknya pasal penodaan agama daam RKUHP menindaklanjuti putusan MK yang menyatakan pasal 156 dan 156a KUHP tak bertentangan dengan konstitusi. Hanya saja, MK meminta agar rumusan pasal tersebut disempurnakan agak tidak terjadi multitafsir dalam penerapannya.

“Kalau dalam RKUHP, itu penodaan agama memang ada aturannya. Secara umum sudah ada pembahasan dan akan dievaluasi. Kalau ada perkembangan di masyarakat, nanti disesuaikan kembali,” ujarnya. Baca juga: UU Penodaan Agama Tak Kekang Kebebasan Beragama

Desmon menilai pasal penodaan agama merupakan pasal mati. Menjadi persoalan ketika masyarakat melanggar, maka pasal tersebut akan hidup di tangan penegak hukum. Sepanjang masyarakat tertib dan menghargai perbedaan agama, pasal tersebut akan mati dengan sendirinya. “Menurut saya pasal ini pasal mati, kalau kita menghargai semua agama sesuai pilihannya dan tidak menghina. Kalau dicabut pun tidak ada gunanya juga,” ujarnya.

Meski tak sependapat dengan penghapusan pasal tersebut, jalan tengahnya dengan melakukan revisi dan penyempurnaan pasal penodaan agama dalam RKUHP disesuaikan dengan perkembangan sosial masyarakat Indonesia. Tujuannya agar dalam penerapannya tidak multitafsir. “Perlu dipikirkan ulang,” katanya.
Tags:

Berita Terkait