Inilah Masalah Utama LKBH di Indonesia
Utama

Inilah Masalah Utama LKBH di Indonesia

Status PNS/ASN menghalangi dosen beracara di pengadilan. Seharusnya bisa di bawah naungan UU Bantuan Hukum.

Oleh:
HASYRY AGUSTIN
Bacaan 2 Menit
Tulisan di salah satu sudut LKBH Fakutas Hukum Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin. Foto: HOL/RIA
Tulisan di salah satu sudut LKBH Fakutas Hukum Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin. Foto: HOL/RIA
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH), atau dengan nama yang berbeda, ialah lembaga bantuan hukum bernaung di perguruan tinggi. LKBH adalah motor penggerak yang memberikan bantuan untuk orang yang tidak mampu. Sayangnya, dalam menjalankan pengabdian, LKBH memiliki tantangan yang cukup mengganjal. Di satu sisi dosen LKBH tidak boleh beracara di pengadilan; dan di sisi lain jumlah advokat yang mau berpraktik di LKBH juga minim. Inilah tantangan utama LKBH yang sudah bertahun-tahun dihadapi.

"Dahulu kami bisa beracara di pengadilan, namun karena sudah ada hakim yang dipecat karena memperbolehkan yang tidak ada sumpah Pengadilan Tinggi, akhirnya kami sekarang tidak dapat beracara," tutur Maher Amin,  dosen dan juga pengurus LKBH UIN Sunan Ampel Surabaya pada saat konperensi LKBH Perguruan Tinggi se-Indonesia di kampus UI, Depok pada Senin (22/5).

Menurut Maher memang menjadi masalah karena terjadi dualisme antara UU Advokat dengan UU Bantuan Hukum di lapangan.  Ada hakim yang memperbolehkan dosen untuk beracara namun ada juga hakim yang tidak memperbolehkan dosen yang latar belakangnya PNS untuk beracara. (Baca juga: Begini Tips LKBH UNLAM Mengurus Biaya Operasional).

Hal senada dituturkan Arisah, dosen yang juga pengurus LKBH Universitas Khairun Ternate. Terjadinya dualisme atau tidak dapatnya dosen beracara menjadi halangan yang cukup berpengaruh dalam proses bantuan hukum yang diberikan oleh LKBH. (Baca juga: Jaksa Persoalkan Kehadiran Pengacara LKBH FHUI).

"Di kami advokat hanya ada tiga orang.  Kebanyakan dosen. Ditambah anggaran perkasus sedikit sekali, sehingga advokat lebih memilih untuk memberikan advokasi hukum di lawfirm dibandingkan di LKBH. Jadi cukup menjadi halangan ketika dosen tidak dapat beracara," ungkap Arisah.

Sugeng Teguh Santoso, Sekjen Peradi Versi Luhut pun menyinggung bahwa sebenarnya sebaiknya dosen dapat beracara.  Pasalnya seharusnya dosen berada di bawah UU No. 16 Tahun 2011  tentang Bantuan Hukum bukan di bawah UU Advokat.

"Dalam UU Bantuan Hukum yang diverifikasi ialah lembaganya, bukan mengenai orangnya.  Jika lembaganya sudah sah seharusnya siapapun yang bernaung di bawahnya dapat beracara di pengadilan," tutur Sugeng.

Selain itu menurut Sugeng, rasio bantuan hukum di Indonesia sangat jauh sekali dari ideal.  Rasio ideal adalah 1: 12-14 ribu, sedangkan rasio di Indonesia ialah 1:200 ribu. Artinya, seorang advokat menangani 200 ribu orang. "Jauh sekali dari ukuran ideal.  Sehingga seharusnya dosen pun dapat beracara walaupun advokat ketika lembaga tempat dia bernaung sudah terverifikasi. Bukan hanya melakukan konsultasi atau kegiatan non litigasi saja," ujar Sugeng.

Hakim agung Suhadi  menegaskan advokat LKBH sebenarnya dapat beracara. Cuma, mereka yang berstatus dosen atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak dapat beracara. Mereka hanya bisa melakukan konsultasi atau bantuan non-litigasi seperti juga penyuluhan. (Baca juga: LKBH dan Paralegal Minta Jadi Pihak Terkait).

"Kalau dahulu ada lisensi dari Pengadilan Tinggi untuk izin berpraktek untuk dosen di wilayah Pengadilan Tinggi tersebut, tetapi sekarang tidak ada itu. Sekarang pegawai negeri tidak berwenang untuk itu. Kalau beracara itu nanti siapa yang mau menjustifikasi, hakim satu dengan hakim yang lain menjadi berbeda.  Oleh karena itu, di UU jelas siapa yang dapat beracara dan tidak beracara," jelas Juru Bicara Mahkamah Agung itu.
Tags:

Berita Terkait