Chandra M. Hamzah: Dudukkan Kembali KPPU pada Posisi yang Benar
After Office

Chandra M. Hamzah: Dudukkan Kembali KPPU pada Posisi yang Benar

Setelah 16 tahun dijalankan, UU Persaingan Usaha direvisi. Banyak masukan dari para pemangku kepentingan.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Chandra M. Hamzah, Dewan Pengawas ICLA. Foto: EDWIN
Chandra M. Hamzah, Dewan Pengawas ICLA. Foto: EDWIN
Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA), perhimpunan para pengacara persaingan usaha, telah memberikan kontribusi dalam revisi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha). Masukan itu berguna untuk memperjelas beberapa masalah yang timbul selama 16 Tahun UU Persaingan Usaha itu dijalankan.

Beberapa masukan itu menyentuh organisasi, tugas dan kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Masihkah relevan menempatkan KPPU dalam posisi seperti sekarang? Masihkah relevan mempertahankan hukum acara yang selama ini dipakai dalam hukum persaingan usaha? Untuk menjawab pertanyaan itu, Hukumonline mewawancarai Chandra M.Hamzah. Advokat yang duduk di Dewan Pengawas ICLA ini menyampaikan pandangan kritisnya terutama mengenai kedudukan KPPU dan proses peradilannya. Berikut petikannya:

RUU Persaingan Usaha kini mulai dibahas DPR dan Pemerintah. KPPU masih berperan sebagai lembaga pemeriksa dan pemutus sengketa, bagaimana tanggapan Anda?
Pertama tama kita mesti menyadari bahwa Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental, dimana perbedaan antara  hukum privat dan hukum publik itu lebih tegas dibandingkan dengan sistem Anglo Saxon. Pembedaan hukum privat jadi lebih tegas, sementara di Anglo Saxon tidak setegas di Eropa Kontinental. Pertanyaannya, apakah kita masih menganut sistem seperti  itu atau kita ingin bergerak ke arah Anglo Saxon? Kalau dari hukum positif yang ada di Indonesia, saya melihat  bahwa kita masih membedakan antara hukum privat dengan hukum publik cukup tegas.  Dilihatnya dari mana? Dari penyelesaian sengketa yang timbul dari hubungan hukum. (Baca juga: Perbedaan Karakteristik Sistem Civil Law dan Common Law).

Di Indonesia kita mengenal 4 lingkungan peradilan: ada lingkungan peradilan umum, ada tata usaha negara, ada agama, dan ada militer. Lingkungan peradilan ini dibagi dua secara tegas. Ada yang bersifat perdata, ada yang bersifat pidana. Pidana ini adalah bersifat publik. Hukum Tata Usaha Negara (TUN) itu bersifat publik. Hukum agama bersifat perdata. Hukum Militer bersifat publik. (Pembedaan) ini menjadi penting, karena hukum  acara yang ada di tiap peradilan berbeda. Berbedanya bagaimana? Kalau di perdata hakim bersifat pasif, sementara kalau di TUN dan di pidana, hakim bersifat aktif untuk mencari kebenaran materiil. Bahkan di TUN, hakim bisa memerintahkan pihak termohon untuk mengeluarkan, menghadirkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mendapatkan kebenaran materiil. Di Hukum Pidana,  BAP itu tidak boleh ada yang disembunyikan. Seluruh orang yang di BAP mesti dimasukkan. Seluruh bukti yang diperoleh dalam peradilan mesti dimasukkan. Seluruh keterangan orang mesti dimasukkan. Jadi apa namanya, hakim wajib bersikap akif. Kalau perdata tidak, hakim bersifat menunggu. Siapa yang mendalilkan mesti membuktikan.

Jadi misalnya kalau di pidana, ada hasil forensik, terhadap suatu kejahatan, maka pengacara terdakwa boleh bilang ‘tolong dihadirkan, karena setahu kami dulu sudah dilakukan forensik. Mana forensiknya. Kok nggak ada dalam berkas.’ Supaya apa? Mendapatkan kebenaran materiil. Berdasarkan inilah, kita melihat, sengketa yang terjadi di Komisi Persaingan Usaha apakah dia bersifat perdata atau bersifat publik? Begitu pertanyaannya.

Apa dampak pembedaan hubungan hukum tersebut bersifat publik atau perdata?
Dalam hubungan hukum yang bersifat perdata, kedudukan para pihak itu sederajat. PT A lawan PT B sebagai subjek hukum. Bahkan pemerintah pun kalau mengadakan kontrak pengadaan barang dan jasa, itu perdata. Karena pemerintah selaku yang butuh barang, swasta sebagai suplier. Kalau tidak dibayar, gugat perdata. Kalau hubungan hukum yang bersifat publik, itu hubungan yang beda derajat. Pemerintah mengeluarkan suatu keputusan, IMB (Izin Mendirikan Bangunan), itu hubungan yang beda derajat. Kita mohon izin IMB. Di dalam (pemerintahan), terjadi apa kita tidak pernah tahu. Syarat-syarat sudah kita lengkapi segala macam, kok ditolak? Gitu ya. Kita mohon izin pasang reklame, kita mohon izin penggunaan air tanah, ya, kita mohon izin pengesahan PT bahkan, maka Kumham AHU ngeluarin: Anda diizinkan. Apa yang terjadi disana kita nggak tahu. Ya. Apakah ada rapat tim, tiba-tiba kita ditolak. Padahal kita merasa diri kita sudah lengkap seluruh persyaratan.

Begitu ditolak, kita tidak puas, kita gugat. ‘Tolong keluarin dulu, anda rapatnya apa sih? Apa pertimbangan Anda kenapa kami ditolak?’ Itu yang namanya tata kelola pemerintahan yang baik. KPPU,  begitu juga dengan ini, dengan KPK, atau polisi  atau jaksa. Pada saat dia melakukan penyidikan, memangnya kita tahu apa yang mereka lakukan di sana? KPK periksa, siapa saja yang sudah diperiksa, kita tidak tahu. Bagaimana proses pemeriksaannya, kita tidak tahu.

Permohonan IMB beda derajat. Kalau untuk proses criminal justice system, dalam proses peradilan pidana, maka seluruh putusan peradilan pidana dibilang bukan kewenangan pengadilan TUN. Itu jelas. Dia punya apa? Dia punya lembaga yang namanya praperadilan. Gitu ya. Cuma, kalau IMB, kewenangan TUN. Jadi TUN di dalam UU dibilang bahwa seluruh dokumentasi administrasi, sebenarnya kan surat panggilan, penyitaan, itu kan  administrasi kan? Cuma dalam UU TUN dinyatakan itu bukan merupakan kewenangan TUN. Artinya dia bersifat publik tapi bukan kewenangan TUN. Kewenangan pengadilan pidana. Praperadilan dengan segala macamnya. Kalau yang selain itu (surat panggilan, penyitaan) kewenangan TUN.

Dengan konsep tersebut, KPPU termasuk jenis yang mana?
Kalau KPPU melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha, kita tidak  tahu apa yang terjadi di sana. Maka, itu kita bilang kewenangan publik. KPPU selaku lembaga publik menjalankan kewenangannya selaku lembaga publik. Ini bukan KPPU dalam rangka pengadaan barang dan jasa ya. Dia bukan bangun gedung, beli motor, beli ATK (Alat Tulis Kantor), bukan. KPPU menjalankan kewenangannya sebagai lembaga publik. Maka keputusannya adalah keputusan publik. Kalau keputusan publik, maka pilihannya cuma dua, apakah dia masuk peradilan pidana, atau masuk PTUN? Tinggal itu. Nah apakah dia masuk peradilan pidana? Mungkin.  Merupakanconcern dari banyak pihak bahwa rezim hukum persaingan usaha di banyak negara itu lebih berat sebagai bukan pidana. Hanya di beberapa negara dan itu pun cuma untuk hard core cartel.

Kalau bukan pidana, sanksinya administratif, maka logikanya: TUN. Itu silogisme yang sangat sederhana. Pertanyaannya, apakah KPPU dalam melakukan pemeriksaan itu dia menjalankan kewenangan perdata, menjalan fungsi sebagai hubungan perdata atau hubungan publik? KPPU pada saat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha, apakah hubungan hukum yang terjadi dalam proses pemeriksaan itu hubungan perdata atau hubungan publik?

Kalau bicara masalah kewenangan, tidak ada cara lain, itu adalah publik. Kalau kewenangan publik, maka sengketanya terhadap hubungan yang ada, sengketa yang terjadi karena hubungan yang ada, kembali kepada hubungan hukum, maka sengketanya sengketa publik. Kalau sengketa publik, pilihannya cuma dua tiga sebenarnya: Peradilan Pidana, Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Militer.  Cuma militer nggak mungkin yak an?

Saya mau mulai dari hubungan hukum. Hubungan hukum yang terjadi antara KPPU dan pelaku usaha pada saat KPPU melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha itu hubungan hukum publik atau hubungan hukum perdata? Sengketa yang terjadi dalam hubungan publik diselesaikan melalui peradilan pidana, atau TUN, atau militer. Militer, karena KPPU bukan militer, pelaku usaha juga bukan militer, coret. Pilihannya tinggal pidana atau TUN. Kalau pidana, hanya berlaku terhadap tindakan-tindakan yang memiliki sanksi pidana, ya kan. Saya punya tanah, nggak punya sertifikat, cuma girik, pidana bukan? Bukan. Pada saat girik saya dipermasalahkan kita ribut di TUN. Begitu juga orang lalai membayar pajak, ya, sengketanya kemana? Ke pengadilan pajak, yang ujung-ujungnya ke TUN, karena bukan pidana, walaupun juga ada pidana pajak ya. Sekarang, pelaku usaha melakukan suatu perbuatan, yang boleh dikatakan entah itu kartel, itu apalah namanya, abuse of  dominant position, itu punya sanksi pidana atau nggak? Kalau sanksinya administratif saja, maka bukan masuk peradilan pidana. Karena sanksi pidana hanya bisa dijatuhkan dalam peradilan pidana. Clear.

Jika dilihat dari kewenangan dan fungsinya, KPPU menangani urusan publik. Lalu apakah bisa digolongkan quasi peradilan di lingkungan peradilan publik?
Ini yang saya ingin dudukkan kembali rumah-rumah 4 lingkungan peradilan pada posisi yang sebenarnya. Sederhana saja. Kalau dimasukkan di perdata, maka yang terjadi apa? Satu melanggar logika yang kita sudah bangun, konsep hukum Eropa Kontinental; kedua, proses beracaranya mengalami permasalahan, dan ini terjadi ternyata. Terjadinya begini: pelaku usaha minta agar KPPU mengeluarkan dokumen-dokumen, nggak mau hakimnya. KPPU bilang bahwa pemeriksaan berdasarkan dokumen yang diserahkan. Padahal kita tidak tahu BAP-nya (Berita Acara Pemeriksaan) dibuat ada berapa banyak. Kalau di pidana, termasuk pelanggaran jika ada BAP yang disembunyikan, ada bukti yang disembunyikan. Kalau di pidana, criminal justice system,  itu masalah besar. Penyidik menyembunyikan fakta, itu masalah besar. Makanya penyidik akan sangat hati-hati untuk meminta keterangan siapa yang mesti di BAP. Kalau sudah di BAP, nggak boleh disembunyikan karena menyembunyikan fakta pelanggaran berat. Itulah sifat hukum publik, kebenaran materiil.

Sengketa akan potensial terjadi dalam hubungan hukum apapun. Karena tidak ada sengketa hukum pada saat tidak ada hubungan hukum. Hubungan hukum bisa ada sengketa, bisa nggak. Kalau terjadi sengketa perlu ada penyaluran. Ada solusinya. Kesalahan ini bukan hanya terjadi di KPPU. Kesalahan ini juga terjadi pada masalah hak kekeyaan intelektual (HKI) yang diselesaikan di Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga bersifat perdata. Harusnya yang masuk pegadilan niaga adalah sengketa HKI diantara pihak masalah ini hak siapa, bukan dengan negara. Cuma pada saat permohonan kita ditolak oleh Dirjen KI, di Undang-Undang bilang diajukan ke Pengadilan Niaga. Kembalikanlah konsep dasar hukum kita. Kala lisensi saya habis, saya masih pakai, nah kita ribut. Itu perdata. Masuk Pengadilan Niaga nggak apa-apa.

Salah satu ciri dari TUN adalah pihak termohonnya itu selalu pejabat Tata Usaha Negara. Dalam sengketa KPPU selama ini, yang jadi termohon siapa? Selalu KPPU. KPPU itu lembaga negara, dia digugat selaku apa? Selaku dia menjalankan kewenangannya sebagai lembaga publik. Harusnya ke TUN. Kalau dari sudut apapun, nggak bisa nggak. (Baca juga: Poin-Poin Penting Revisi UU Persaingan Usaha).

Tapi putusan KPPU selama ini dilakukan upaya hukum untuk diperiksa Pengadilan Negeri?
Nah, kalau ditanya mengenai masalah ini sudah kadung salah, ya. Lebih bagus terlambat, daripada salah terus-terusan karena filosofi proses pembuktiannya menjadi kacau. Proses hukum acaranya. Kembali, hakim perdata bersifat pasif. Anda bicara apa, ya Anda buktikan sendiri. Anda tidak bisa paksa hakim untuk memerintahkan orang melakukan sesuatu. Mengeluarkan dokumen, kalau di pidana kan BAP yang sudah dibuat nggak boleh disembunyikan. Bukti-bukti yang ada tidak boleh disembunyikan. Itu pelanggaran berat. Nah sementara kalau di perdata, anda bilang itu hak anda, mana buktinya? Anda yang mesti provide bukti sendiri. Jadi kalau kita lihat dari sisi tata kelola pemerintahan yang baik, maka terhadap lembaga-lembaga publik, lembaga negara yang menjalankan fungsi publik, maka harus ada solusi, jalan keluar, terhadap orang yang tidak puas terhadap keputusan lembaga negara tersebut. Keputusannya apa? TUN. Diuji secara kebenaran materiil.

Ini bukan sengketa bisnis. Kalau kita membedakan, kan di KPPU ada lagi  misalnya sengketa antara pelaku usaha. Kalau yang itu mangga (silakan). Kalau sengketa antara pelaku usaha, itu bisa kita bicarakan. Cuma keputusannya ini adalah objek TUN.  Ini persis sama seperti dulu, Anda ingat nggak perburuhan? Dulu ada yang namanya P4P/D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat/Daerah). Ini adalah lembaga administrative yang memeriksa dan memutus sengketa antara buruh dan pengusaha sebelum ada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Buruh lapor pengusaha tidak bayar (upah), buruh lapor hak-haknya dikurangi, buruh lapor dipecat tanpa apa pesangon dan sewenang-wenang. Kemudian diputuskanlah sama P4P/D. Buruh menang atau pengusaha yang menang. Whatever, kemudian terhadap keputusan P4P/D diajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN karena dianggap P4P/D itu adalah pengadilan tingkat pertama. Kalau KPPU mau dianggap sebagai pengadilan tingkat pertama, mangga saja terserah, tapi ke TUN. P4P/D sudah dihapuskan, muncullal PHI. PHI ini bersifat perdata. Karena apa? Karena sengketa buruh sama pengusaha dianggap sederajat, kontrak. PHI itu dibangun di atas pengadilan perdata. Dulu TUN, benar, karena ada P4P/D. Ini lembaga pemutus dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Dipindahkanlah suatu konsep ke konsep yang lain. Bukan suatu yang aneh. Begitu P4P/D bubar, maka jadilah dia hubungan kontraktual antara buruh dengan pengusaha. Karena tidak ada P4P/D lagi berantem saja Anda (secara) perdata. Mengapa mereka tidak masuk ke TUN? Karena keputusan pengusaha untuk memecat buruh atau tidak kasih makan buruh atau menggaji buruh itu bukan keputusan tata usaha negara. Itu keputusan perdata. Dulu negara yang memutuskan buruh salah, pengusaha salah, atau bagaimana. Kalau sekarang anda berjuang sendiri. Nggak ada peran negara di sini. Negara lepas. Hakim pasif. Jadi bukan hal yang aneh. Dulu saja pernah bilang, perburuhan di TUN sekarang dia di perdata kok, perdata khusus. Nah kalau ini dipindahin nggak masalah.

Jadi, mulai dari hubungan hukum hubungan hukum yang terjadi antara KPPU dengan pelaku usaha dalam melakukan pemeriksaan pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran hukum persaingan usaha, itu hubungan hukum publik atau hubungan hukum perdata? Kalau hubungan hukum publik, sengketa atau ketidakpuasan yang terjadi harus diselesaikan di pengadilan yang bersifat publik. Sederhana. Pengadilan mana yang bersifat publik? Militer, Tata Usaha Negara, atau Pidana. Militer dicoret karena tidak ada AL, AD, AU sebagai pihak. Selesai. Tinggal TUN atau pidana. Pidana dicoret, karena apa? Karena pengadilan pidana hanya digunakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang memiliki sanksi pidana. Jadi karena tidak ada sanksi pidana, maka sanksi administrasi. Karena sanksi administrasi, TUN-lah sudah. Jadi kembali ke lingkungan peradilan yang ada ini. Ini nggak bisa diutak-utik. Perdata ada perdata khusus, mangga, Niaga gitu ya. Niaga perkara apa? Kepailitan, PKPU, ini sengketa antara pengusaha dengan pengusaha. Hubungan hukumnya sederajat. Nah apa lagi? Pidana khusus? Mangga pidana khusus apa, Tipikor, pidana anak, pidana HAM, pidana perikanan, pidana semua nih. TUN khususnya Pajak.

Undang-undangnya ada sanksi pidana apa tidak? Sederhana. Di undang-undangnya bahwa ini menyangkut militer apa nggak, nggak? Coret. Di undang-undangnya ada sanksi pidana apa nggak, nggak? Coret. Ini yang kacau sekarang.

Kalau begitu status KPPU lebih dapat disebut sebagai lembaga administratif di bawah kekuasaan eksekutif yang menjalankan quasi peradilan?
Saya nggak setuju juga kalau soal (disebut) quasi peradilan. Kenapa tidak setuju? Konsep peradilan itu ada yang namanya pihak harus didengar (audi et alteram partem).  Pada saat proses pemeriksaan di KPPU, ini para pihaknya siapa? KPPU apakah peradilan? Para pihaknya siapa? Jadi dia bukan peradilan. Kalau P4P/D dan Pengadilan Pajak, jelas. Ada buruh yang ngotot, ada pengusaha yang zolim. Kalau di peradilan pidana, polisi juga bukan pihak. Karena itu dia bukan peradilan. Jaksa bukan pihak. Nanti pada saat peradila pidana, Hakim sebagai lembaga sendiri berantem antara jaksa dengan terdakwa. Jaksa mewakili negara. Antara hakim dengan jaksa ini lembaga yang terpisah. Kalau KPPU menyatakan ini sebagai lembaga peradilan, siapa Hakimnya, siapa Jaksanya? Nah apakah KPPU boleh melakukan pemeriksaan? Boleh. Karena di lembaga administratif tidak perlu ada pihak. Di lembaga peradilan mesti ada pihak.  Tapi di lembaga administratif tidak perlu ada pihak. Contoh, kita diperiksa sama kantor Pajak, itu bukan peradilan, itu pemeriksaan. Ketika tidak puas, gugatlah Dirjen Pajak ke TUN. Pengadilan Pajak dibentuk. Yang sebagai termohonnya siapa? Dirjen Pajak atau Kanwil Pajak. Jadi pemeriksaan di pajaknya sendiri dan kemudian memutuskan itu adalah pelaksanaan kewenangan administratif. Jadi setiap kewenangan administratif, punya kewenangan untuk memutuskan. Apapun. Petugas penutup pintu rel kereta, itu kewenangan administratif. Dia punya kewenangan untuk memutuskan menutup palang. Kepala stasiun memutuskan kereta berangkat atau tidak berangkat. Polisi misalnya, Polisi punya kewenanga administratif. Contoh, ngeluarin SKCK. Itu keputusan kan. Mohon izin keramaian.

Jadi, tidak  bisa disebut sebagai peradilan. Itu salah dari awal. Kalau P4P/D bener quasi peradilan. Cuma pemeriksaan. Lembaga administratif nggak pakai sidang. Kalau mau masuk ke sistem peradilan pidana, maka siapa penyidiknya? Penyidik itu polisi dan PPNS. Lalu siapa penuntutnya? Penuntut cuma ada jaksa. Di KPK, penuntut cuma jaksa. KPK merekrut jaksa-jaksa sehingga bekerja di KPK dan kemudian melakukan penuntutan. Kewenangan penuntutan bukan di institusi kejaksaan, di personal Jaksa. Penuntut umum adalah jaksa, KUHAP bilang begitu.

Coba lihat kewenangan KPPU, sanksi tindakan administratif, putusan administratif terhadap tindakan administratif, challenge nya ke lembaga peradilan administratif. Di situ saja ditulis administratif, kenapa perdata? Kalau peradilan itu mesti ada para pihak yang bersengketa, ini negara yang bersengketa. Kalau mau simpel, ya sudah dianggap saja dia pemeriksaan (sebagai pengadilan) tingkat pertama, sidangnya di PT TUN. Jadi nggak ada banding, langsung kasasi. Pajak juga begitu, langsung kasasi. Mangga.
Sekarang sudahlah, kita kembali bahwa lembaga publik, KPPU melakukan kewenangan publik. Itu Undang-Undang dibuat tahun 1999, dibuat dalam suasana euforia, tidak hati-hati dalam waktu singkat dibuat puluhan undang-undang. Secara ide bagus, secara aplikatif banyak masalah.
Tags:

Berita Terkait