3 Kubu Peradi Tanggapi Putusan MK tentang PKPA
Utama

3 Kubu Peradi Tanggapi Putusan MK tentang PKPA

Putusan MK dinilai tidak jelas, bahkan absurd secara operasional.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS
Permohonan uji materiil UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diajukan oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. APPTHI dalam petitumnya meminta dua hal melalui palu Hakim Konstitusi.

Pertama, penyelenggaraan PKPA dilaksanakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi advokat. Kedua, ujian profesi advokat diadakan oleh perguruan tinggi bekerjasama dengan organisasi profesi advokat. Melalui putusan Nomor 95/PUU-XIV/2016 yang dibacakan Selasa (23/5), hanya soal penyelenggaraan PKPA yang dikabulkan untuk selanjutnya harus bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B. (Baca: MK: Penyelenggaraan PKPA Wajib Libatkan Perguruan Tinggi Hukum).

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) di bawah pimpinan Fauzie Yusuf Hasibuan mengaku heran dengan dasar pertimbangan MK memutuskan bahwa penyelenggaraan PKPA oleh organisasi advokat selama ini bertentangan dengan konstitusi.

“Kenapa advokat saja yang diminta? Itulah tidak rasionalnya permintaan ini. Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, harusnya sama, karena kewenangan konsitusi Universitas itu adalah sama(terkait pendidikan), seharusnya juga dilaksanakan bersama-sama Universitas, jangan hanya advokat,” tegasnya.

Fauzie mempertanyakan para pemohon yang semestinya juga meminta secara konstitusional soal pendidikan profesi Jaksa, Hakim, dan Polisi yang masing-masing dikelola oleh lembaga pemerintahan terkait tanpa bekerjasama dengan Perguruan Tinggi. Apalagi menurutnya penyelenggaraan PKPA dengan perguruan tinggi justru sudah dilakukan sejak awal PKPA dilaksanakan.

“Di dalam pelaksanaan teknis sejak tahun 2005 kita sudah menjalankan PKPA ini bersama-sama dengan perguruan tinggi, tidak perlu disampaikan di situ(putusan) pun sudah kita lakukan,” katanya melalui wawancara telepon dengan hukumonline, Jumat (26/5).

Selama ini menurutnya Peradi juga telah bekerjasama dengan Perguruan Tinggi berupa skema kurikulum standar dari Peradi yang bebas dikembangkan oleh Kampus mitra pelaksana PKPA sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan. Ia mengakui bahwa berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional, Universitas memang berwenang mengembangkan kurikulum yang sesuai kebutuhan di daerahnya.  Keseragaman isi PKPA adalah pada kurikulum standar minimal dari Peradi. “Jadi bervariasi, daerah-daerah (penyelenggara PKPA) bisa memilihnya,” ujarnya.

Peradi pun sudah mengatur bahwa PKPA lebih banyak bermuatan pengalaman praktek dari para praktisi yang menjadi pengajar. Karena muatan teori sudah banyak diberikan di Perguruan Tinggi. Untuk itulah keterlibatan pengajar dari dosen di Universitas hanya 15% sedangkan selebihnya adalah para praktisi hukum.

Fauzie menyatakan bahwa Peradi telah bekerjasama dengan sekitar 90 Fakultas dan Sekolah Tinggi Hukum se-Indonesia untuk pelaksanaan PKPA. “Cuma memang ada lembaga-lembaga yang diberikan otoritas melaksanakan PKPA yang bukan Perguruan Tinggi, karena UU tentang Sistem Pendidikan Nasional membolehkan,” tambahnya. Hal ini terkait beberapa PKPA yang diselenggarakan Peradi dengan lembaga pelatihan keterampilan hukum yang masuk dalam kategori lembaga pendidikan non-formal.

Dalam pasal 4 Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang menjadi petunjuk pelaksanaan PKPA, memang disebutkan bahwa Peradi menyelenggarakan PKPA dengan mitra pelaksana dari institusi/lembaga yang telah mempunyai izin sebagai lembaga penyelenggara  pendidikan formal atau non-formal dari Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional. Sehingga mitra pelaksana PKPA yang bukan Perguruan Tinggi tetap memenuhi kualifikasi berdasarkan ketentuan Sistem Pendidikan Nasional. “Mereka telah diberikan izin oleh Pemerintah,” katanya lagi.

Lebih lanjut, meskipun mengaku heran dengan latar belakang MK menimbang penyelenggaraan PKPA oleh organisasi advokat selama ini bertentangan dengan konstitusi, Fauzie mengaku senang bahwa putusan MK yang justru menguatkan peran organisasi advokat sebagai pelaksana UU Advokat untuk menyelenggarakan pendidikan dan ujian profesi advokat.

Sementara itu kubu Peradi yang dipimpin Luhut M.P.Pangaribuan menanggapi proses pengambilan putusan yang dilakukan MK dalam permohonan uji materiil ini. Sebagaimana yang dituangkan dalam putusan Nomor 95/PUU-XIV/2016 tersebut bagian pertimbangan atas pokok permohonan, MK tidak hanya merasa tidak perlu mendengarkan keterangan MPR, DPR, DPD, maupun Presiden namun juga tidak menerima permohonan DPN Peradi Fauzie Hasibuan untuk menjadi pihak terkait yang didengarkan keterangannya.

“Ada kesan di sana itu tidak obyektif, terasa bias,” kata Luhut. Ia sendiri mengaku kepengurusan Peradi yang dipimpinnya tidak menerima panggilan apapun untuk memberikan keterangan terkait permohonan yang telah diputus tersebut.

Apalagi menurut Luhut dalam kenyataannya selama ini PKPA banyak bekerjasama dengan Perguruan Tinggi walaupun UU Advokat tidak mewajibkan hal tersebut. “Saya yang satu-satunya mengusulkan itu ketika dulu kami menyusun kurikulum PKPA dengan tim yang lain, menurut saya memang itu baik,” lanjut Luhut. Meskipun memang ia pun mengakui dalam kelanjutannya seringkali hanya sebatas kerjasama pengadaan tempat pelaksanaan PKPA. Banyak pengelola PKPA yang tidak mengerti soal pentingnya bekerjasama lebih terintegrasi dengan kurikulum pendidikan tinggi hukum di Universitas.

“Ini otokritik dan harus kita terima, kalau kita lihat ke belakang ini kan menjadi sumber pencarian duit baik kepada organisasi tertentu maupun kepada pribadi-pribadinya,” tambahnya. (Baca juga: Siapa Mendulang Untung dari Bisnis PKPA?).

Luhut juga menilai amar putusan ini terasa absurd untuk dilaksanakan secara operasional. Mulai dari bentuk kerjasama macam apa yang dimaksudkan hingga formulasi teknis pelaksanaannya. “Kan harus kerjasama dengan Perguruan Tinggi, sementara kurikulum saat ini dibuat organisasi profesi, Perguruan Tinggi yang mana? Kan tidak satu saja kan? Organisasi profesi (advokat) juga tidak satu kan? Ada kecurigaan saat ini rebutan lahan kan,” katanya lagi.

Luhut menilai putusan ini dibuat secara tergesa-gesa karena secara de facto sudah terjalin kerjasama antara organisasi advokat dengan Perguruan Tinggi dalam pelaksanaan PKPA mulai dari pengadaan tempat hingga tenaga pengajar. Meskipun begitu gagasan dari isi putusan ini secara keseluruhan dinilainya sudah baik karena sudah selayaknya terjadi integrasi kampus sebagai gudangnya ilmu secara teori dengan organisasi profesi sebagai gudangnnya pengalaman penerapan praktis.

Senada dengan tanggapan dua kubu Peradi lainnya, Sekretaris Jendral Peradi kubu Juniver Girsang, Hasanuddin Nasution merasa keberatan dengan pertimbangan MK bahwa penyelenggaraan PKPA selama ini bertentangan dengan konstitusi. Ia belum merasa jelas dengan maksud dari ‘keharusan’ bekerjasama dengan Perguruan Tinggi yang ditambahkan dalam putusan MK apakah mengenai izin PKPA, kualifikasi, atau lainnya. (Baca juga: Ujian PERADI Juniver, Tidak Harus PKPA).

“Selama ini pun kami sudah bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, Fakultas Hukum khususnya di Indonesia, kualifikasinya juga akreditasinya B, yang baru banget nggak ada juga dalam putusan ini, nggak jelas banget,” katanya kepada hukumonline.

Saat dihubungi via sambungan telepon saat berita ini dibuat, Hasanuddin mengatakan baru akan melakukan rapat pembahasan atas putusan MK ini dengan pengurus Peradi lainnya.

Sampai dengan berita ini ditulis, belum ada satupun lembaga mitra PKPA non Perguruan Tinggi yang bisa dimintai tanggapannya mengenai dampak putusan MK tersebut.
Tags:

Berita Terkait