DPR Pertanyakan “Ihwal Kegentingan Memaksa” Terbitnya Perppu 1/2017
Berita

DPR Pertanyakan “Ihwal Kegentingan Memaksa” Terbitnya Perppu 1/2017

Komisi XI DPR RI masih menunggu draf Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dari Bamus DPR untuk kemudian ditetapkan apakah menerima atau menolak Perppu itu menjadi undang-undang.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP
Komisi XI DPR RI meminta penjelasan pemerintah terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk kepentingan Perpajakan pada Senin (29/5). Penjelasan ini diperlukan bagi Komisi XI DPR RI dalam rangka menentukan sikap apakah mayoritas fraksi menerima atau menolak Perppu tersebut menjadi undang-undang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa latar belakang diterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 lantaran pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selama ini punya akses sangat terbatas untuk mengakses informasi keuangan wajib pajak di sektor jasa keuangan. Sejumlah regulasi membatasi akses itu dengan alasan adanya prinsip kerahasiaan bagi nasabah atas informasi simpanannya pada lembaga jasa keuangan.

“Aturannya selama ini kasih syarat harus tahu nama pemilik rekening dan nomor rekening untuk minta informasi keuangan nasabah,” kata Ani, sapaan akrab Sri Mulyani, di Gedung Nusantara I pada Senin (29/5). (Baca Juga: Tak Ada Jaminan Data Keuangan yang Dibuka DJP Tak Bakal Disalahgunakan)

Akses DJP yang terbatas ini, lanut Ani, dapat menjadi ‘batu ganjalan’ buat pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam era pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau yang lebih dikenal sebagai Automatic Exchange of Information (AEoI) pada gelombang kedua  September 2018 mendatang. Pasalnya, kesepaktan dari Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purpose menetapkan bahwa negara yang akan ikut dalam era AEoI setidaknya memenuhi minimal empat standar internasional.

Pertama, regulasi domestik yang memadai bagi otoritas pajak untuk mengakses. Kedua, memenuhi instrumen perjanjian internasional. Ketiga,pemenuhan infrastruktur teknologi informasi. Keempat, jaminan kerahasiaan dan keamanan data nasabah. Poin pertama dan kedua telah dipenuhi pemerintah dengan terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 dan serta ditandatanganinya Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) dan Common Reporting Standard (CRS) dimana Indonesia telah meratifikasi MAC melalui Perpres Nomor 159 Tahun 2014 tentang Pengesahan Convention on MAC (Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan).

“Indonesia sudah tandatangan, bila tidak dianggap layak ikut (AEoI) kita tetap jadi subject to AEoI, tetapi tidak punya hak dapat akses data antara negara secara resiprokal itu,” kata Ani. (Baca Juga: Menyoal Posisi Perppu Akses Informasi Pajak di Hadapan UU Keterbukaan Informasi Publik)

Menanggapi itu, Anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun berpendapat seharunya era keterbukaan informasi keuangan terkait perpajakan sudah dimulai sejak 5 atau 10 tahun silam. Menurutnya, ada problem penerimaan pajak yang menjadi kepentingan nasional di mana penerimaan pajak mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Catatan Misbakhun, sejak tahun 2015 hingga tahun 2016 kemarin ada penurunan yang cukup signifikan dari sektor perpajakan.

“Penerimaan pajak ini mayoritas dalam struktur APBN kita. Tetapi tahun ke tahun makin menurun. Ada permasalahan di soal penerimaan pajak ini,” kata Misbakhun.

Misbakhun melanjutkan, DJP merupakan institusi negara yang sah dan diberi wewenang untuk memungut pajak. Tetapi ternyata, sejumlah regulasi diketahui menghambat akses DJP untuk menggali potensi penerimaan pajak. Untungnya, Pasal 8 Perppu Nomor 1 Tahun 2017 mengatur setidaknya lima undang-undang yang membatasi akses bagi DJP untuk melihat informasi keuangan pada lembaga jasa keuangan dapat dikecualikan sepanjang untuk kepentingan perpajakan nasional dan perpajakan internasional.

“Ibaratnya DJP suruh cari uang tapi satu tangannya diikat oleh undang-undang,” kata Misbakhun. (Baca Juga: 4 Tantangan Pemerintah Usai Terbitkan Perppu Akses Informasi Pajak)

Tak hanya Misbakhun, pantauan Hukumonline, sejumlah anggota Komisi XI DPR saling melontarkan pendapat terkait pro dan kontranya pasca diterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2017. Asal tahu, DPR diberikan wewenang terbatas untuk menindaklanjuti Perppu itu apakah diterima sehingga menjadi undang-undang atau ditolak. Kewenangan lain selain menolak dan menerima Perppu, tak dimiliki oleh DPR. Meski begitu, beberapa anggota Komisi XI DPR terlihat penasaran dengan urgensi ihwal kegentingan yang memaksa sehingga perlunya Perppu itu untuk segera disahkan menjadi undang-undang.

“Perppu ini harus paripurna jangan sampai terlambat. Meskipun kewenangan DPR terbatas, tidak bisa tambah atau kurang tapi hanya bisa setuju atau tolak. Kalau tidak disetujui, bisa kami dalami,” kata Anggota Komisi XI DPR Johnny G. Plate.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI lainnya, Andreas Eddy Susetyo mengatakan bahwa pemerintah mesti segera menindaklanjuti persoalan confidentiality and data safeguard mengingat tanpa adanya jaminan kemanan dan kerahasiaan data, ia khawatir akan ada penyalahgunaan data oleh aparatur DJP. Ia juga mengkritik pemerintah lantaran Perppu Nomor 1 Tahun 2017 sama sekali tak menyinggung soal jaminan kerahasiaan dan keamanan data yang dikumpulkan dan dikelola oleh DJP saat era pertukaran baik untuk domestik dan luar negeri resmi dimulai.

“Kenapa data safeguard ini tidak berlaku di Perppu. Tidak ada sama sekali menyentuh itu,” kata Andreas.

Ketua Komisi XI DPR RI Melchias Markus Mekeng menjelaskan bahwa agenda rapat hari ini Senin (29/5) adalah sebatas agenda untuk fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah. Komisi XI DPR RI ini ingin meminta penjelasan yang sejelas-jelasnya dari pemerintah terkait substansi Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini. Nantinya, soal pengesahan atau penolakan Perppu ini akan dibahas dalam rapat paripurna pada masa sidang berikutnya pada awal Juni 2017 mendatang.

“Itu nanti saat rapat paripurna. Saat ini sebatas fungsi pengawasan saja agendanya,” kata Mekeng.

Tags:

Berita Terkait