Penyelesaian Hukum Sengketa DPD RI
Kolom

Penyelesaian Hukum Sengketa DPD RI

Ada tiga metode penyelesaian hukum yang bisa dilakukan.

Bacaan 2 Menit
Muhammad Amin Putra. Foto: Dokumen Pribadi.
Muhammad Amin Putra. Foto: Dokumen Pribadi.
Dalam tulisan ini akan menjabarkan metode penyelesaian hukum paling ideal pada sengketa di DPD RI. Secara umum, terdapat tiga metode penyelesaian hukum yang mengemuka yaitu pembatalan pengambilan sumpah, penyelesaian di MK melalui Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan gugatan pada PTUN.   m engenai usulan agar Mahkamah Agung (MA) membatalkan tindakan administratifnya memandu pengambilan sumpah. Mekanisme ini dapat dilakukan oleh MA untuk membatalkan pengambilan sumpah pimpinan DPD melalui SK KMA (Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung). Konstruksi pembatalan yang dilakukan oleh SK KMA didasari Keputusan Ketua MA RI Nomor 271/KMA/SK/X/2013.   Pada bagian lampiran disebutkan bahwa Surat Keputusan adalah naskah dinas yang memuat kebijakan yang bersifat menetapkan, tidak bersifat mengatur, dan merupakan pelaksanaan kegiatan, yang digunakan untuk: 1). Menetapkan/mengubah status kepegawaian/personal/keanggotan/material/peristiwa; 2). Menetapkan /mengubah/membubarkan suatu kepanitiaan/tim; dan/atau; 3). Menetapkan pelimpahan wewenang.   Klausul menetapkan/mengubah status peristiwa, dapat dijadikan dasar bagi MA untuk membatalkan pengambilan sumpah terhadap pimpinan DPD. Dengan pembatalan pengambilan sumpah, berdampak pada hilangnya hak dan kewajiban dari pimpinan DPD yang dilantik. Sehingga, pimpinan DPD yang diambil sumpah bukan sebagai pimpinan DPD yang sah. Namun, metode tersebut dapat berujung pula di pengadilan TUN karena gugatan oleh pimpinan DPD terpilih. Gugatan tersebut sangat mungkin terjadi dan jika diputus diterima, hal ini justru menjadi legitimasi bagi pihak penggugat.   Di sisi lain gugatan tersebut menimbulkan keanehan tersendiri karena diputus oleh PTUN, yang notabene berada di lingkup MA. Hal penting dari penerapan metode penyelesaian demikian adalah timbulnya permasalahan hukum baru, berupa gugatan TUN yang akhirnya tidak menjawab permasalahan hukum yang sesungguhnya. Selain itu, metode penyelesaian ini menjadi preseden buruk bagi MA dan cenderung mengurangi kepercayaan publik terhadap MA. Karena pengambilan sumpah pimpinan DPD dilakukan dengan sepengetahuan Ketua MA.   Kedua, usul penyelesaian ini melalui SKLN diajukan oleh Refly Harun dalam surat kabar Koran Kompas tanggal 12 April 2017, Refly Harun mengatakan ada dua solusi yang bisa ditempuh yaitu jalur politik dan hukum. Penyelesaian jalur hukum dilakukan dengan meminta MA membatalkan tindakan administratifnya memandu pengambilan sumpah dan melalui Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN).   Pendapat ini dipertahankan pada Opini di Koran Kompas pada hari jum’at, 28 April 2017 dengan Judul Legalitas Pimpinan DPD. Menurut Refly Harun, penyelesaian melalui SKLN paling efisien dan memungkinkan sebagai terobosan hukum serta tidak bertentangan dengan dengan Pasal 24C UUD NRI 1945, karena hanya menyebutkan sengketa kewenangan lembaga negara. Selain itu pendapat lainnya bahwa membawa penyelesaian ke MK paling efektif dibanding ke MA melalui PTUN atau PN, dengan pertimbangan bahwa PTUN/PN tidak berani membatalkan SK DPD.   Terhadap pendapat ini, terdapat dua pandangan, pertama tindakan MA yang melakukan pelantikan menimbulkansengketa antara DPD dengan MA. Kedua, dapat dilakukan terobosan hukum, karena Pasal 24C tidak menyebutkan frasa “antar” lembaga negara. Terhadap dua pendapat tersebut dapat dijawab,pertama, dalam Pasal 24C ayat (6) bahwa hukum acara (termasuk SKLN) diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Merujuk UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 61 ayat (2) bahwa kewenangan MK terkait masalah ini adalah memutus sengketa kewenangan yang terjadi di antara lembaga negara.Maksud dari Pasal 61 UU MK adalah harus ada dua lembaga negara yang bersengketa. Sedangkan dalam perkara ini yang terjadi adalah sengketa di dalam tubuh DPD.   Selain itu dalam aturan hukum acara SKLN yaitu Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Berdasarkan Pasal 1 angka 7, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih (terdapat pemohon dan termohon) lembaga negara.   Jika sengketa yang dimaksud adalah pengambilan sumpah yang diartikan perbedaan pendapat dalam pelaksanaan wewenang, jelas, bahwa DPD tidak memiliki kewenangan untuk mengambil sumpah pimpinan DPD terpilih. Dalam UU MD3 tidak ada kewenangan DPD untuk melakukan pengambilan sumpah terhadap pimpinan DPD. Selain itu pendapat Jimly Asshidiqqie dalam bukunya Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara bahwa isu kewenangan konstitusional yang dalam pelaksanaanya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama lain, maka yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya memiliki kewenangan yang dipersengketakan tersebut adalah MK.   Sehingga, pendapat yang mengemuka agar penyelesaian melalui SKLN adalah tidak rasional karena tidak menjawab (kewenangan) dan (kepentingan langsung dengan lembaga. Sebagai contoh dalam perkara atas putusan SKLN Nomor 1/SKLN-X/2012.Pertanyaan pokok sengketa adalah apakah Pemerintah . Menteri Dalam Negeri berwenang untuk melakukan penundaan tahapan pemilihan kepala daerah dan membuka kembali pendaftaran Pasangan Calon dengan kewenangan yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum (KPU), jadi terdapat kewenangan yang sama/hampir sama dan perlu diputus/diperjelas oleh MK.   Kedua, dengan pengajuan penyelesaian ke MK karena tidak melanggar Pasal 24C UUD NRI 1945 dan merupakan terobosan hukum. Dalam Naskah Komprehensif UUD NRI 1945, para perumus perubahan UUD 1945 sudah sepakat bahwa SKLN merupakan sengketa antar lembaga negara. Selain itu jika memang merupakan sengketa kewenangan, tidak ada kewenangan yang dipersengketakan di DPD. Hal ini merupakan sengketa politik antar anggota DPD. Seperti sudah disebutkan sebelumnya. Jika menyatakan penyelesaian MK merupakan terobosan hukum, justru dalam permasalahan ini tidak ada terobosan hukum.   Karena terobosan hukum dilakukan jika tidak ada metode penyelesaian yang tersedia. Pendapat bahwa penyelesaian oleh MK dipilih karena lebih baik dibanding melalui MA di pengadilan PTUN dan PN, justru mengambarkan model penyelesaian politik dan menandakan memang tidak ada upaya terobosan hukum yang harus dilakukan dari penyelesaian masalah ini. Karena metode penyelesaian hukum sudah tersedia, namun disebabkan pandangan “ketidakpercayaan” pada MA, maka penyelesaian di MK lebih baik.   Terlepas dari pelantikan yang dilakukan oleh MA, proses pemilihan pimpinan DPD, secara singkat dinyatakan tidak sah. Karena menggunakan dasar hukum yang sudah dibatalkan oleh MA dan dalam situasi lainnya disebutkan menggunakan dasar hukum perubahan, namun sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tidak ada keharusan dalam aturan mengenai pergantian pimpinan DPD. Sehingga, semua proses pasca pemilihan pimpinan DPD merupakan proses dan hasil yang inkonstitusional.   Titik permasalahan yang harus diselesaikan adalah pada objek pengangkatan pimpinan DPD, yaitu Keputusan DPD. Karena ketika pelantikan sudah dilakukan dan dasar hukum pimpinan DPD sudah dikembalikan ke peraturan sebelumnya, maka menimbulkan dualisme Keputusan DPD tentang pimpinan DPD, sehingga perlu diperjelas keabsahannya. Kemudian untuk menyelesaikan permasalahan keabsahan tersebut, langkah yang perlu diperhatikan adalah membatalkan keabsahan Keputusan DPD. Alternatif paling ideal atas pembatalan objek pengangkatan pimpinan DPD adalah melalui mekanisme gugatan di pengadilan TUN.   Mekanisme penyelesaian di pengadilan TUN merupakan penyelesaian paling tepatdan paling sedikit menimbulkan dampak hukum karena memiliki beberapa alasan. Pertama meskipun bukan objek gugatan TUN, namun dapat diajukan berdasarkan asas-asas dan prinsip hukum. Dalam Pasal 260 ayat (5) UU MD3menyebutkan bahwa, pengangkatan Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua) DPD ditetapkan dengan Keputusan DPD, yang ditanda tangani oleh pimpinan sementara.   Jika melihat kembali objek berupa keputusan DPD, maka tidak dapat menjadi objek TUN. Karena Keputusan DPD tidak diterbitkan oleh pihak Pejabat TUN yang menjalankan fungsi administratifsebagaimana dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b UU Administrasi Pemerintahan. Namun, perlu diingat bahwa keberadaan pengadilanPTUN adalah untuk mengadili dalam sengketa publik. Meskipun tidak hanya PTUN,namun tidak mungkin mengajukan pembatalan Keputusan DPD ke Pengadilan Negeri khususnya pada ruang lingkup perdata (misal PMH) atau pidana.   Kedua,penyelesaian di pengadilan TUN tidak menimbulkan dampak hukum signifikan, karena hanya ruang lingkup objek yang diperluas. Sekaligus dapat menjawab pertanyaan hukum kedepan yang mungkin muncul, yaitu gugatan dalam sengketa serupa di DPR dan MPR. Sedangkan pihak yang dapat melakukan gugatan adalah pimpinan DPD sebelumnya. Hal ini berdasarkan Pasal 53 UU Peratun, demikian tidak semua pihak di DPD dapat melakukan gugatan ke pengadilan TUN.   Asas-asas dan prinsip hukumdapat digunakan dalam gugatan pengadilan TUN, yaitu asas dan prinsip Secara singkat bahwa asas tersebut bermakna hakim dianggap tahu hukum, sehingga tidak boleh menolak perkara yang diberikan kepadanya. Asas tersebut juga termaktub dalam Pasal 10 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian, permasalahan pembatalan Keputusan DPD dapat diajukan gugatan ke Pengadilan TUN, dengan argumentasi asas Jika tidak adanya metode penyelesaian hukum melalui pengadilan justru menimbulkan masalah hukum padalegalitas pimpinan, pengambilan keputusan dan keluaran yang dihasilkan oleh DPD ke depannya.   Padaprinsip , bahwa adanya pengawasan yang dilakukan oleh yudikatif kepada legislatif. Sebagaimana diketahui prinsip digunakan dalam sistem pemerintah Indonesia dengan tujuan agar tidak timbul sisi absolut pada satu pihak. Prinsip-prinsip tersebut tercermin dari berjalannya ketatanegaraan, pihak legislatif melakukan pengawasan terhadap eksekutif.   Sedangkan yudikatif dapat melakukan pengawasan terhadap eksekutif dan legislatif salah satunya melalui putusan-putusan pengadilan, khususnya dalam peradilan di MA dan MK sertaTUN. Jika kemudian akan diuji ke pengadilan TUN, tinggal hakim yang akan menilai dengan melihat sebagai objek perkara sehingga membiarkan terjadinya pelanggaran hukum atau menerima dan memutus perkara untuk menyelesaikan pertanyaan hukum.    
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline


Pembatalan Pengambilan Sumpah
Pertama







Penyelesaian Melalui SKLN




[1]



[2]

subjectumlitis objectumlitis cq

[3][4]



Alternatif Jalan KeluarMelalui PTUN










curia ius novit check and balances. curia ius novit.

check and balancescheck and balances 

judicial review 

*) Muhammad Amin Putra adalah Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)


[1]Terlihat dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2), yaitu frasa “pemohon adalah lembaga Negara” dan “lembaga negara yang menjadi Termohon”
[2]Lihat JimlyAsshidiqqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 16
[3]Pada awal pembahasan ditawarkan frasa “persengketaan kewenangan antar lembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah”, yang kemudian disepakati Hasil kerja PAH I BP MPR dilaporkan pada Rapat ke-5 BP MPR, 23 Oktober 2001 bahwa memutuskan perselisihan, kewenangan atau kompetensi antar lembaga (negara)
[4]Pada Halaman 458 s/d 708 Naskah Komprehensif UUD 1945 terbitan Mahkamah Konstitusi RI Tahun 2010
Tags: