SPSI Dukung Pengujian PHK Akibat Perkawinan Sesama Pekerja
Utama

SPSI Dukung Pengujian PHK Akibat Perkawinan Sesama Pekerja

Bagi Pemerintah dan APINDO Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Oleh:
AIDA MARDATILLAH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang keempat pengujian Pasal 153 ayat (1) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait larangan PHK perkawinan sesama pekerja dalam satu perusahaan. Pemohonnya karyawan PLN yakni Jhoni Boetca, Edy Supriyanto Saputro, Airtas Asnawi, Syaiful, Amidi Susanto, Taufan, Muhammad Yunus, Yekti Kurniasih yang sebagian besar pengurus Serikat Pekerja PLN Palembang dan Jambi.

Agenda kali ini mendengarkan keterangan DPR dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) selaku pihak terkait. Namun, sidang kali ini tidak dihadiri oleh pihak DPR, sehingga sidang ditunda dan akan dilanjutkan pada sidang berikutnya. Penundaan sidang gara-gara ketidakhadiran DPR ini membuat pengurus SPSI wilayah Sumatera, Jambi, dan Bengkulu kecewa.

“Seharusnya DPR dapat hadir karena mesti menerangkan dasar pembuat UU memasukan frasa “kecuali” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f itu,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Daerah SPSI wilayah Sumatra, Jambi dan Bengkulu Jhonny Boetca usai persidangan di Gedung MK Jakarta, Senin (5/6/2017). (Baca juga: Ketika PHK Akibat Perkawinan Sesama Pekerja Dipersoalkan)

Selengkapnya, Pasal 153 ayat (1) huruf f berbunyi, “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: (f) pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.”

Jhonny mengatakan seharusnya norma Pasal 153 ayat (1) huruf f berhenti pada larangan pengusaha melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh memiliki hubungan darah dan atau ikatan perkawinan. “Seharusnya sampai disini, titik. Tetapi ada frasa ‘kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), dan perjanjian kerja bersama (PKB)’,” kata Jhonny menerangkan.

Baginya, adanya frasa “kecuali telah…” ini dapat dimanfaatkan pengusaha untuk melakukan PHK. Sebab, aturan ini masih membuka ruang PP, PKB membolehkan PHK dengan alasan ada ikatan darah atau ikatan perkawinan. Menurutnya, Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, UU Perkawinan dan UU HAM.   

“Uji materi UU Ketenagakerjaan ini bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) dimana perkawinan itu hak seseorang untuk mendapatkan keturunanan dan hak mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Maka itu, untuk melindungi warga negara frasa ‘kecuali telah diatur dalam PK, PP, dan PKB’ harus dihilangkan,” pintanya.  

Karena itu, pengusaha dilarang melakukan PHK karena pekerja/buruh mempunyai ikatan pertalian darah dan atau ikatan perkawinan tanpa kecuali. “Titik sampai situ saja. Kami mohon kepada MK seperti itu,” harapnya.

Dia mencontohkan di Jepang, pekerja suami istri malah mendapatkan reward oleh perusahaan. Tetapi, kenapa kalau di Indonesia di PHK? “Saya kira pelarangan perwakinan sesama pekerja dibilang untuk menghindari korupsi, tapi itu pemikiran terlalu picik menurut saya. Harus dihilangkan pemikiran seperti itu karena KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) tergantung dari mentalitas dan etika seseorang,” katanya.

Mencegah hal-hal negatif
Dalam sidang sebelumya pada Senin (15/5), dalam keterangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menilai keberadaan aturan PHK bagi para pekerja yang berstatus suami-istri dalam satu perusahaan bertujuan untuk mencegah hal-hal yang negatif di lingkungan perusahaan. Hal tersebut disampaikan Gustav Evert Matulessy selaku kuasa hukum APINDO dalam persidangan.

APINDO yang hadir sebagai Pihak Terkait menerangkan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Gustav, norma tersebut bertujuan melindungi kepentingan lebih besar dalam menjaga hak setiap warga negara untuk menikah sekaligus menjaga hak setiap orang yang bekerja guna mendapatkan perlakuan yang adil.

Gustav tidak menampik adanya dampak positif pernikahan pekerja dalam satu perusahaan. Dampak positifnya, yakni pasangan pekerja tersebut secara emosional akan saling menguatkan hubungan keluarganya, sehingga merasa aman dan tenteram karena saling melindungi. “Dampak negatifnya, dapat mengurangi, bahkan menghilangkan objektivitas kerja dari hubungan kerja antara pekerja dan manajemen perusahaan,” terangnya.

Dia tegaskan pada prinsipnya perusahaan tidak melarang seorang untuk menikah. Akan tetapi, apabila suami-istri bekerja dalam suatu perusahaan yang sama akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam mengambil keputusan internal perusahaan. Hal itu akan berimbas terhadap objektivitas dan profesionalisme dalam pekerjaannya.

“Misalnya berkaitan dengan penilaian kinerja pekerja, pengembangan karir, promosi, pemberian sanksi, dan sebagainya, yang akan mengganggu rasa keadilan bagi pekerja yang lainnya yang tidak memiliki hubungan khusus sebagai suami-istri dalam suatu perusahaan,” dalihnya.

Hal senada juga disampaikan Pemerintah yang diwakili Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Haiyani Rumondang. Dia menjelaskan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan mendasari hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh adalah perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

“Sehingga pekerja/buruh seharusnya sudah mengetahui dan dapat memperkirakan konsekuwensi apabila mereka melakukan perikatan perkawinan sesama rekan sekerja yang dilakukan setelah perjanjian kerja disepakati oleh kedua belah pihak,” ujar Rumondang dalam sidang.

Rumondang menerangkan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan untuk mengakomodasi sifat dan jenis pekerjaan serta karakteristik perusahaan dalam bisnis tertentu. Namun, ketentuan PK, PP, atau PKB, terlebih dahulu harus melalui proses pemeriksaan oleh Pemerintah.

Hal ini mencegah terjadinya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pengusaha terkait permasalahan hubungan pertalian darah dan ikatan perkawinan. Dalam hal ini, Pemerintah akan memeriksa substansi dalam PK, PP, atau PKB. “Apabila ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah akan memberikan koreksi sebagai bentuk pengawasan dari Pemerintah. Karena itu, aturan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945,” paparnya.
Tags:

Berita Terkait