Mekanisme, Nilai Saldo, hingga Sanksi Terkait Akses Informasi Keuangan di PMK 70/2017
Utama

Mekanisme, Nilai Saldo, hingga Sanksi Terkait Akses Informasi Keuangan di PMK 70/2017

Pemerintah diminta memberikan sosialisasi yang jelas dan tepat sasaran guna menghindari persepsi yang keliru dari WP.

Oleh:
FITRI NOVIA HERIANI
Bacaan 2 Menit
Mekanisme, Nilai Saldo, hingga Sanksi Terkait Akses Informasi Keuangan di PMK 70/2017
Hukumonline
Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan regulasi mengenai petunjuk teknis terkait akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, yakni PMK No.70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Beleid tersebut merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Pada dasarnya, PMK 70/2017 mengatur hal-hal teknis yang belum diatur di dalam Perppu 1/2017. Staf Ahli Kemenkeu Bidang Perpajakan, Suryo Utomo menegaskan bahwa keberadaan PMK 70/2017 ini memastikan agar Perppu 1/2017 berjalan dengan baik, terutama untuk pelaksanaan perjanjian internasional terkait AEoI dan kepentingan perpajakan di dalam negeri.

Secara garis besar, lanjut Suryo, PMK 70/2017 mengatur subyek yang wajib menyampaikan informasi data keuangan dan mekanisme pelaporannya. Jika merujuk pada Perppu 1/2017, subjek dan mekanisme mengenai akses data informasi belum dijelaskan, termasuk kemungkinan sanksi yang diberikan kepada pihak-pihak yang menyalahgunakan kewenangan untuk mengakses informasi data keuangan tersebut.

Suryo menjelaskan pokok-pokok PMK 70/2011. Pertama, mengenai subyek. Subyek yang dimaksud dalam Perppu 1/2017 (yang wajib memberikan informasi data keuangan) adalah lembaga jasa keuangan atau lembaga jasa keuangan lainnya yang berada dibawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga keuangan yang masuk ke dalam kategori dalam PMK adalah perbankan, pasar modal, asuransi. Subyek lainnya di luar jasa keuangan yang diatur dalam PMK juga termasuk koperasi, depository institution, custodial institution, specified insurance company, dan investement entity.

Kedua, PMK 70/2017 mengatur mekanisme penyampaian informasi data keuangan. Terkait hal ini, PMK mengatur dua kategori informasi yang wajib dilaporkan secara otomatis dan by request (sesuai permintaan). (Baca Juga: 4 Tantangan Pemerintah Usai Terbitkan Perppu Akses Informasi Pajak)

Mekanisme penyampaian informasi data keuangan secara otomatis maksudnya adalah seluruh informasi yang terekam dalam satu periode. Informasi terkait data keuangan selama satu tahun, wajib sifatnya dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui OJK, tanpa diminta terlebih dahulu.

“Misalnya setahun, dan ini baru mulai berlaku untuk pelaksanaan tahun 2018 mendatang atas keadaan tahun 2017. Jadi, sifatnya otomatis tanpa permintaan, baik secara elektronik atau non-elektronik. Elektronik maksudnya online via OJK,” kata Suryo dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Senin (5/6).

Namun Suryo menjelaskan bahwa informasi data keuangan yang dilakukan secara otomatis melalui OJK dan dilaporkan secara online hanya berlaku untuk lembaga jasa keuangan saja. Sementara entitas lain di luar lembaga jasa keuangan langsung disampaikan ke DJP, tanpa melalui OJK terlebih dahulu, dan dilaporkan secara non-elektronik (bukan online).

Apakah ada entitas lain yang tidak wajib melaporkan informasi terkait data keuangan? Ya, PMK memberikan pengecualian bagi beberapa pihak untuk tidak wajib melaporkan infromasi data keuangan kepada OJK maupun DJP seperti, pemerintah, organisasi internasional, bank sentral, dana pensiun yang memenuhi persyaratan, dan entitas lain yang dinilai berisiko rendah untuk digunakan dalam penghindaran pajak.

Kemudian permintaan informasi keuangan by request atau sesuai permintaan DJP. Suryo menyampaikan bahwa aturan ini bukanlah aturan baru terkait informasi data keuangan. Dalam UU KUP, DJP bisa meminta informasi data keuangan Wajib Pajak (WP). Tetapi aturan yang ada di dalam KUP dan PMK 70/2017 berbeda. (Baca Juga: Aturan Turunan Perppu Akses Informasi Pajak Akan Atur Sanksi Penyalahgunaan Data Keuangan)

Sesuai PMK, permintaan informasi keuangan tidak lagi harus melewati Menkeu dan OJK terlebih dahulu, OJK bisa langsung meminta informasi kepada lembaga keuangan pemilik rekening. Sedangkan berdasarkan UU KUP, permintaan pembukaan infromasi rekening nasabah haruslah melewati Menkeu dan OJK terlebih dahulu. Hal ini mempersingkat mekanisme pembukaan infromasi data perbankan yang dahulu bisa mencapai masa 1 tahun. Dan untuk informasi by request, lembaga keuangan memiliki kewajiban memenuhi permintaan DJP paling lambat sejak diterimanya permintaan.

“Sebetulnya sama, yang beda hanya tata caranya saja. Sekarang tidak harus dari Menkeu,” tambah Suryo.

Selanjutnya adalah masalah yang paling krusial yakni mengenai kerahasiaan data informasi yang diperoleh oleh DJP. Pasalnya, banyak pihak yang menilai bahwa kewenangan DJP untuk mendapatkan informasi data keuangan rawan disalahgunakan. Maka, Suryo menegaskan bahwa informasi yang diterima oleh DJP adalah benar-benar untuk basis data perpajakan. PMK juga memberikan larangan pejabat unutk menyebarkan dan menyalahgunakan informasi perpajakan tersebut. Jika melanggar, maka pihak yang bersangkutan akan dikenai sanksi yang diawali dengan klarifikasi, teguran tertulis, pemeriksaan bukti permulaan, dan dapat dilanjutkan dengan penyidikan untuk pengenaan sanksi pidana.

Lalu apa saja informasi keuangan yang wajib dilaporkan secara otomatis? Identitas lembaga keuangan, identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan. Data-data tersebut, lanjut Suryo, sesuai dengan common supporting standard (CSR)yang disusun oleh OECD untuk pelaksnaan AEoI.

Namun, tidak semua rekening wajib dilaporkan oleh lembaga jasa keuangan. PMK membagi dua batasan nilai rekening yang wajib dilaporkan yakni untuk pelaksanaan perjanjian internasional (AEoI) dan kepentingan domestik. (Baca Juga: Pemerintah Terbitkan Perppu Akses Informasi untuk Perpajakan)

Sesuai aturan didalam CSR yang diatur OECD, untuk nasabah luar negeri (kepentingan perjanjian internasional), bagi rekening keuangan yang dimiliki oleh entitas dan telah dibuka sebelum 1 Juli 2017, yang wajib dilaporkan adalah rekening yang memiliki agregar saldo lebih dari USD250.000. bagi rekening keuangan yang dimiliki oleh entitas yang baru dibuka sejak 1 Juli 2017 dan rekening yang dimiliki oleh orang pribadi, tidak terdapat batasan saldo minimal.

Sedangkan laporan demi kepentingan perpajakan domestik dibagi menjadi empat bagian. Pertama, untuk rekening keuangan di sektor perbankan. Rekening yang dimiliki oleh orang pribadi wajib dilaporkan jika nilai agregat saldo minimal Rp200 juta, dan yang dimiliki oleh entitas tidak terdapat batasan saldo minimal.

Kedua, rekening keuangan di sektor perasuransian. Rekening keuangan di sektor perasuransian yang wajib dilaporkan adalah yang nilai pertanggungannya paling sedikit Rp200 juta tanpa batasan saldo minimal. Ketiga, untuk rekening keuangan di sektor koperasi, yang wajib dilaporkan adalah yang agregat saldo minimal Rp200 juta. Dan keempat, untuk rekening di sektor pasar modal dan perdagangan berjangka komoditi, tidak terdapat batasan saldo minimal.

“Prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai CSR akan dimulai pada 1 Juli 2017. Dan pelaporannya 1 Agustus 2018,” tambah Suryo.

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani menyampaikan bahwa pihaknya mendukung langkah pemerintah untuk mengefektifkan Perppu 1/2017. Jika melihat latar belakang keterbukaan informasi keuangan yang sudah dilakukan lebih dari 50 negara, Hariyadi menyadari bahwa hal tersebut merupakan kesepakatan internasional.

Namun demikian, lanjutnya, penerapan Perppu 1/2017 dan PMK 70/2017 tetap menimbulkan kekhawatiran bagi Wajib Pajak (WP) di Indonesia. Untuk itu, ia meminta pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada seluruh WP yang tercatat di Indonesia bahwa pembukaan data informasi data keuangan bukanlah bertujuan untuk ‘memojokkan’ WP. Hal ini penting dilakukan oleh pemerintah guna menghindari informasi yang simpang siur seperti pembukaan informasi terkait data kartu kredit beberapa waktu lalu.

“Jangan kaitannya terkait keterbukaan infromasi data keuangan, namun yang disosialisasikan adalah pemeriksaan. Menurut kami pemeriksaan sudah tugas DJP sehingga tidak perlu lagi sosialisasinya dan dengan pengampunan pajak sudah jelas. Sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran bahwa pembukaan data terkait AEoI akan sasar kepada pemeriksaan semata,” ujar Hariyadi.

Selain itu, Hariyadi menilai bahwa data yang diperlukan dan diatur dalam PMK 70/2017 sudah sesuai dengan data yang dapat diberikan oleh Lembaga Jasa Keuangan (JLK). “Artinya, jangan sampai meminta data yang akhirnya akan merepotkan JLK dan WP sendiri. Dan tentang kerahasiaan perlu sekali, jangan sampai kalau terbuka justru dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak berkepentingan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait