Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara
Mengurai Status Hakim:

Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara

Pengesahan RUU Jabatan Hakim penting memastikan “jenis kelamin” jabatan hakim yang ideal, apakah tetap sebagai pejabat negara, pejabat negara tertentu (berstatus PNS), atau bisa disebut istilah jabatan lain yang lebih pas? Kepastian ini berpengaruh terhadap kesejahteraan dan jaminan perlindungan para hakim secara proporsional.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara
Hukumonline
Profesi Hakim dipandang sebagai officum nobile (profesi terhormat/luhur) yang membutuhkan keahlian khusus dan tanggung jawab besar. Makanya, hakim kerap disebut sebagai “Wakil Tuhan” di muka bumi. Di pundaknyalah nasib seseorang atau kelompok ditentukan melalui ketukan palunya atas nama negara. Namun, melakoni profesi hakim tak jarang penuh godaan bersifat materi, ancaman, intervensi para pihak berkepentingan, bahkan kekuasaan.

Tapi, tanggung jawab dan resiko seorang hakim itu, nampaknya belum berbanding lurus dengan hak dan jaminan fasilitas yang diterimanya sebagai pejabat negara. Beberapa Undang-Undang (UU) telah menempatkan status hakim sebagai pejabat negara. Seperti, Pasal 19 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Pasal 122 UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pun, salah satunya mengukuhkan status hakim semua tingkat peradilan sebagai pejabat negara.

Faktanya, “label” pejabat negara hanya berlaku bagi hakim agung, tidak demikian dengan hakim pengadilan tingkat pertama dan banding. Kata lain, konsekuensi status hakim tingkat pertama dan banding sebagai pejabat negara hingga kini memang belum jelas aturan teknis pelaksanaannya. Tiga UU Bidang Peradilan Tahun 2009 dan UU ASN, misalnya, belum mengatur bagaimana proses seleksi calon hakim sebagai pejabat negara termasuk sistem penggajiannya.

Sebenarnya, status hakim sebagai pejabat negara sudah disematkan sejak berlakunya UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (PPK). Pasal 11 ayat (3) UU PPK menyebutkan pegawai negeri yang menjadi "pejabat negara tertentu" tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknya. Penjelasannya, yang dimaksud "pejabat negara tertentu" antara lain Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda MA, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan.

Lalu, lewat PP No. 41 Tahun 2002 tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim ditegaskan status hakim adalah PNS dengan jabatan tertentu atau pejabat negara tertentu yang berstatus PNS. Aturan ini memunculkan hakim berstatus “ganda”, ketika calon hakim diangkat sebagai hakim, status PNS-nya tidak hilang. Kemudian dengan status “ganda” ini, minimnya kesejahteraan (hak) dan jaminan perlindungan mulai dirasakan sebagian besar hakim.

Puncaknya, pada Maret 2012 lalu. Tentu kita masih ingat ketika sejumlah hakim-hakim muda konkrit memperjuangkan kesejahteraan dan jaminan perlindungan. Ya, ketika itu sebagian besar hakim yang digagas Hakim Sunoto berencana melakukan ancaman mogok sidang apabila kesejahteraan atau hak-hak mereka tidak diperhatikan. Baca Juga: Sunoto: Hakim Muda Penggagas Mogok Sidang

Maklum, ketika itu gaji dan tunjangan hakim sangat minim. Bayangkan, gaji pokok, tunjangan jabatan, dan remunerasi (tunjangan kinerja) hakim 0 tahun totalnya hanya sebesar Rp 5,56 juta. Rinciannya, seorang hakim golongan III/a untuk masa kerja 0 tahun, gaji pokoknya hanya Rp1.976.000,-. Lalu, ditambah tunjangan jabatan Rp650.000,- dan tunjangan kinerja (70 persen) Rp2.940.000,-. Total yang diperoleh sebesar Rp5.566.000,-.

Take home pay ini dirasa masih belum mencukupi mengingat tugas hakim itu sangat berat. Saat itu, gaji pokok hakim lebih kecil daripada pegawai negeri sipil (PNS) biasa. Ditambah, tunjangan jabatan hakim itu tak pernah naik selama 11 tahun. Karena itu, ancaman mogok sidang hakim-hakim di daerah pun tak terelakkan. Belum lagi, fasilitas kendaraan dinas belum semua dinikmati para hakim. Uniknya, panitera pengganti (PP) yang berstatus PNS justru memperoleh fasilitas ini.   

Hak keuangan dan fasilitas   
Akhirnya, perjuangan hakim-hakim muda ini membuah hasil setelah “mempengaruhi” berbagai pemangku kepentingan. Gaji dan tunjangan hakim tingkat pertama dan banding naik cukup signifikan termasuk jaminan hak-hak lainnya seiring ditekennya PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah MA oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Oktober 2012. 

Hak keuangan dan fasilitas bagi hakim itu terdiri dari 10 komponen yakni gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun, dan tunjangan lain. Besaran gaji pokok hakim didasarkan jenjang karir dan masa jabatan hakim yang bersangkutan yang ketentuannya mengikuti besaran gaji pokok PNS. Sehingga gaji pokok terendah yang diterima Hakim golongan IIIa dengan masa kerja 0 tahun sebesar Rp 2.064.100 dan tertinggi bagi hakim golongan IVe dengan masa kerja 32 tahun mencapai Rp 4.978.000.

Sementara kenaikan tunjangan jabatan hakim naik cukup signifikan. Sebelumnya tunjangan jabatan hakim paling rendah (pemula) sebesar Rp 650.000 untuk Hakim Pratama. Kini, tunjangan jabatan hakim terendah (hakim pratama Kelas II) masa kerja 0 tahun mencapai Rp 8.500.000 atau naik 1.208 persen. Lalu, hakim pemula (pratama) untuk pengadilan Kelas IA sebesar Rp11,8 juta. Tertinggi, tunjangan Ketua Pengadilan Tingkat Banding sebesar Rp40,2 juta. Jadi, gaji pokok hakim golongan IIIa sebesar Rp2,064 juta dan tunjangan, take home pay hakim pemula berkisar Rp10,5-14 juta hingga Rp47 jutaan bagi hakim paling senior (hakim tinggi).

Selengkapnya, tunjangan hakim berdasarkan jenjang kepangkatan sebagai berikut:  

Hakim Tingkat Banding
No.JabatanBesar Tunjangan (Rp)
1 Ketua 40,2 juta
2 Wakil Ketua 36,5 juta
3 Hakim Utama 33,3 juta
4 Hakim Utama Muda 31,1 juta
5 Hakim Madya Utama 29,1 juta
6 Hakim Madya Muda 27,2 juta

Hakim Tingkat Pertama Kelas IA Khusus (Termasuk hakim yustisial di MA sebagai Asisten Koordinator)
No.JabatanBesar Tunjangan (Rp)
1 Ketua 27 juta
2 Wakil Ketua 24,5 juta
3 Hakim Utama 24 juta
4 Hakim Utama Muda 22,4 juta
5 Hakim Madya Utama 21 juta
6 Hakim Madya Muda 19,6 juta
7 Hakim Madya Pratama 18,3 juta
8 Hakim Pratama Utama 17,1 juta
9 Hakim Pratama Madya 16 juta
10 Hakim Pratama Muda 14,9 juta
11 Hakim Pratama 14 juta

Hakim Tingkat Pertama Kelas IA (Termasuk hakim yustisial di MA)
No.JabatanBesar Tunjangan (Rp)
1 Ketua 23,4 juta
2 Wakil Ketua 21,3 juta
3 Hakim Utama 20,3 juta
4 Hakim Utama Muda 19 juta
5 Hakim Madya Utama 17,8 juta
6 Hakim Madya Muda 16,5 juta
7 Hakim Madya Pratama 15,5 juta
8 Hakim Pratama Utama 14,5 juta
9 Hakim Pratama Madya 13,5 juta
10 Hakim Pratama Muda 12,7 juta
11 Hakim Pratama 11,8 juta

Hakim Pengadilan Kelas I B
No.JabatanBesar Tunjangan (Rp)
1 Ketua 20,2 juta
2 Wakil Ketua 18,4 juta
3 Hakim Utama 17,2 juta
4 Hakim Utama Muda 16,1 juta
5 Hakim Madya Utama 15,1 juta
6 Hakim Madya Muda 14,1 juta
7 Hakim Madya Pratama 13,1 juta
8 Hakim Pratama Utama 12,3 juta
9 Hakim Pratama Madya 11,5 juta
10 Hakim Pratama Muda 10,7 juta
11 Hakim Pratama 10,03 juta

Hakim Pengadilan Kelas II 
No.JabatanBesar Tunjangan (Rp)
1 Ketua 17,5 juta
2 Wakil Ketua 15,9 juta
3 Hakim Utama 14,6 juta
4 Hakim Utama Muda 13,6 juta
5 Hakim Madya Utama 12,8 juta
6 Hakim Madya Muda 11,9 juta
7 Hakim Madya Pratama 11,1 juta
8 Hakim Pratama Utama 10,4 juta
9 Hakim Pratama Madya 9,7 juta
10 Hakim Pratama Muda 9,1 juta
11 Hakim Pratama 8,5 juta
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait