Penyelesaian Sengketa Secara Online di Indonesia Oleh: Kania Rahma Nureda
Ceritanya Orang Hukum

Penyelesaian Sengketa Secara Online di Indonesia Oleh: Kania Rahma Nureda

Penghematan waktu dan uang. Sesungguhnya hal ini sudah tampak dalam penyelesaian sengketa secara tradisional dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur litigasi. Namun penyelesaian sengketa secara online akan lebih menghemat dibandingkan dengan alternatif penyelesaian sengketa secara tradisional.

Oleh:
Hukumpedia
Bacaan 2 Menit
Penyelesaian Sengketa Secara Online di Indonesia Oleh: Kania Rahma Nureda
Hukumonline
Jalur peradilan (litigasi) bukanlah satu-satunya cara penyelesaian sengketa. Ada beberapa alternatif penyelesian sengketa selain dengan cara litigasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa selain jalur peradilan lazim disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) disingkat (ADR). Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa:

“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.

Baru-baru ini semakin banyak tulisan-tulisan para sarjana terkait adanya penyelesaian sengketa secara online, yang mana lazim disebut dengan Online Dispute Resolution (ODR). ODR adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui media internet, dalam arti bahwa proses penyelesaiannya dilakukan oleh para pihak yang berada dalam wilayah lintas batas negara (boderless) tanpa harus bertemu muka (face to face)[1].

Pada dasarnya, ODR sama seperti penyelesaian sengketa konvensional lainnya, perbedaannya terletak pada medianya yang menggunakan media Internet (International Network). ODR termasuk ke dalam ADR, dimana ADR memiliki 3 (tiga) tipe penyelesaian sengketa, yaitu negosiasi, mediasi dan arbitrase[2].

Pada masa ini, dalam melaksanakan perdagangan sudah sangat umum melakukan transaksi dengan media online. Hal ini wajar didapati, karena banyak keuntungan-keuntungan yang diperoleh ketika melakukan transaksi perdagangan secara online:[3]

Penghematan waktu dan uang. Sesungguhnya hal ini sudah tampak dalam penyelesaian sengketa secara tradisional dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur litigasi. Namun penyelesaian sengketa secara online akan lebih menghemat dibandingkan dengan alternatif penyelesaian sengketa secara tradisional. Keuntungan ini karena para pihak tidak perlu membayar biaya yang harus dikeluarkan untuk menghindari persidangan, dan biaya-biaya yang berkaitan dengan hal itu;

Bagi para konsumen berarti menghindari biaya besar dalam penyelesaian sengketa. Akan lebih mudah menerima penyelesaian sengketa secara elektronik, karena mereka dapat mengerjakannya sendiri dengan fasilitas komputer yang dimiliki. Hanya, sampai saat ini biaya akses internet masih relatif mahal dan persaingan dalam bisnis tersebut masih kurang sehat;

Bagi para pihak yang menggunakan akses internet lebih yakin dalam menghadapi proses yang akan dijalaninya, sebab mereka dapat dengan mudah mengontrol dan merespons apa yang terjadi dalam proses penyelesaian sengketa;

Bagi para pihak yang enggan melakukan tatap muka, dapat menghindar dari pertemuan dengan pihak lawannya. Para pihak dapat menghindarkan diri dari perasaan takut akan diintimidasi dalam proses. Hal ini merupakan persoalan psikologis; Keuntungan lainnya yang mungkin didapatkan oleh pihak lain, seperti vendor software dan lainnya.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa ADR memiliki 3 (tiga) pilihan penyelesaian sengketa, yang mana ketiganya dapat dilaksanakan secara online, yaitu:

Negosiasi Online
Negosiasi merupakan mekanisme yang utama dan diberikan prioritas dalam penyelesaian sengketa. Negosiasi merupakan suatu cara dimana mereka yang bersengketa berkomunikasi satu sama lain secara langsung mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harinya. Didefinisikan sebagai proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan. [4]

Pada dasarnya model negosiasi online terbagi atas dua bentuk yaitu assisted negotiation dan automated negotiation:[5]

Assisted negotiationterjadi melalui pemberian saran tekhnologi informasi yang diberikan kepada para pihak, dirancang melalui peningkatan kemampuan tekhnologi untuk mencapai penyelesaian.  Menggunakan email adalah bentuk software negosiasi yang primitif, yang dapat diganti dengan sarana yang jauh lebih canggih, dengan model berbasis web yang mempunyai berbagai kemudahan. Email sendiri dianggap versi 1 sofware mediasi. Bahwa jika keberhasilan  dicapai dengan menggunakan sistem yang difokuskan email, keberhasilan lebih besar adalah dengan menggunakan model berbasis web yang lebih canggih sejalan dengan berkembangnya penyelesaian sengketa online.

Sedangkan penyelesaian secara automated negotiation dilakukan melalui perbandingan antara tawaran dengan kesepakatan persetujuan dijalankan tanpa campur tangan manusia, automated negotiation adalah bentuk dari assisted negotiation, para pihak dibantu oleh komputer untuk mencapai kesepakatan tetapi disini komputerlah yang menyelesaikan masalah tersebut. Metode ini disebut penawaran buta karena semua penawaran masih rahasia, dalam arti tidak diperlihatkan pada pihak lawan sampai mereka mendekati tingkat itu.

Mediasi Online
Perlu didefinisikan terlebih dahulu mengenai apa itu mediasi. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pada Pasal 1 Butir 6 bahwa Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator, lalu pada Pasal 1 butir 5 menyatakan bahwa mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.

Pada dasarnya, tidak ada perbedaan antara penyelesaian sengketa mediasi offline dengan mediasi online, yang berbeda hanyalah media yang digunakan yakni sarana komunikasi elektronik pada mediasi offline.

Terdapat 3 (tiga) jenis mediasi online, yaitu: [6]

Mediasi yang bersifat fasilitatif di mana mediator berfungsi sebagai fasilitator dan tidak dapat memberikan opini atau merekomendasikan penyelesaian. Dalam hal ini, mediator memberikan jalan agar para pihak menemukan sendiri penyelesaian bagi sengketa yang dihadapinya. Penyelesaian sengketa jenis ini dilakukan oleh online resolution;

Mediasi evaluatif, yakni mediasi melalui mediator yang memberikan pandangan dari segi hukum, fakta dan bukti. Strategi mediasi ini yaitu membuat suatu kesepakatan mealui mediator dengan memberikan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak, dan mencoba membujuk para pihak untuk menerimanya;

Pendekatan yang menengahi situasi. Mediator mencoba mencampuri permasalahan sejauh disetujui para pihak. Mediator hanya masuk jika para pihak gagal melakukan negoasiasi di antara mereka sendiri, mediator dapat mencampuri hanya sebatas mengajukan solusi, jika para pihak meminta kepadanya. Tujuan awal dari prosedur ini yaitu membantu memfasilitasi komunikasi antara para pihak dengan mediator dan antara para pihak sendiri. Komunikasi semacam itu dapat dijalankan dengan menggunakan teknologi yang tersedia seperti internet relay chats, e-mail, dan video conference. Sarana komunikasi merupakan elemen dasar dalam mediasi.

Mediasi online sama dengan mediasi offline yang biasanya diorganisasi melalui tiga tahap atau sesi.[7]

Sesi pembukaan di mana para pihak, penasihat hukum, mediator, dan mungkin ahli atau psikolog hadir. Dalam sesi ini, para pihak mengemukakan pandangan, fakta dan soal-soal hukum, mediator membuat ringkasan permasalahan yang dihadapi para pihak.

Sesi-sesi lain sama sebagaimana dijelaskan dalam proses mediasi offline, yang juga dapat dilakukan kaukus jika diperlukan dalam sesi ini, mediator mendiskusikan secara privat dengan masing-masing pihak, tentu saja melalui online. Sesi ini disebut juga sebagai “Engine Room’’ dari keseluruhan prosedur yang harus dilalui. Selanjutnya, sesi penutup di mana para pihak bertemu kembali dan melakukan verifikasi terhadap kesepakatan yang sudah dicapai atau sekurang-kurangnya ada hasil yang sudah dicapai atau sekurang-kurangnya ada hasil yang sudah dicapai.

Perbedaan antara mediasi online dan mediasi offline yaitu bahwa dalam mediasi online, dunia nyata (real space) digantikan oleh dunia virtual atau dunia maya (cyberspace)[8].

Arbitrase Online
Prosedur untuk menyelenggarakan arbitrase secara online sebagai berikut:[9]

Peraturan yang diperlukan mengenai permohonan untuk berarbritase dan pelaksanaannya (hal ini meliputi juga peraturan yang diterapkan oleh badan arbitrase tersebut dan informasi lain yang disediakan).

Menyediakan cara untuk memilih arbiter, menerima tempat kedudukan atau menolaknya.
Menyediakan tata cara berarbritase seperti penyediaan peraturan prosedural seperti tata cara mengajukan perkara secara online, menyampaikan tanggapan, mengajukan bukti-bukti dan argumentasi, dan kemungkinan adanya penundaan;

Penyediaan tata cara penggunaan pesan secara elektronik, seperti penyelenggaraan prosedur yang hanya menggunakan dokumen elektronik, penggunaan video conferencing dan audio conferencing termasuk dalam hal ini penyediaan alat-alat bukti berupa keterangan saksi dan saksi ahli.

Penyediaan pembuatan putusan secara online dan persyaratan yang diperlukan agar suatu putusan dapat diterima dan dijalankan. Penyediaan prosedur yang mungkin untuk mengadakan perlawanan atau banding terhadap putusan. Penyediaan prosedur yang dapat memungkinkan proses berjalan secara rahasia dengan menyediakan teknologi enkripsi dan tanda tangan elektronik.

Penyediaan sarana untuk penyimpanan data terutama dalam perlawanan menyangkut hak dari salah satu pihak untuk melakukan perlawanan karena adanya dugaan bahwa hak-hak dari salah satu pihak telah dilanggar.

Studi Kasus
Baru-baru ini beredar draft Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Sebenarnya peraturan pemerintah ini harus sudah dikeluarkan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak 11 Maret 2014. Namun pada kenyataannya, sampai sekarang peraturan ini masih berbentuk draft dan belum juga disahkan. Bahkan, masih banyak perdebatan dan draft tersebut karena dirasa belum cukup layak untuk disahkan dan berlaku secara umum.

Menyadari semakin banyaknya transaksi perdagangan yang akan terus berkembang dimasa depan, Undang-Undang menyatakan adanya regulasi lebih lanjut terkait transaksi perdagangan melalui sistem elektronik melalui Peraturan Pemerintah. Draft ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Lebih lanjut tercantum pada ketentuan:

Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan
“Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya”.

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan
“Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”.

Sebelumnya Undang-Undang menyebutkan bahwa perdagangan juga termasuk pada perdagangan melalui Sistem Elektronik. Ketentuan ini tercantum pada Pasal 4 ayat (1) butir e, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, menyebutkan bahwa lingkup pengaturan perdagangan meliputi: Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Salah satu yang menjadi highlight penulis adalah terkait Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang tertulis pada Bab XVIII Draft mengenai Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang menyebutkan bahwa:

Pasal 79 ayat (1)
Dalam hal terjadi sengketa dalam transaksi perdagangan melalui sistem elektronik, para pihak dapatmenyelesaikan sengketa melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.

Pasal 79 ayat (2)
Penyelesaian sengketa transaksi perdagangan melalui sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan secara elektronik (Online Dispute Resolution) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terlihat pada Pasal 79 ayat (2) bahwa terdapat kemungkinan penyelesaian sengketa secara elektronik ODR (Online Dispute Resolution). Namun, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut terkait ODR itu sendiri atas pasal ini.

Pada peraturan perundang-undangan lain mengatur tentang adanya kemungkinan untuk menangani sengketa yang timbul dari Transaksi Elektronik, yang mana peraturan ini juga menjadi dasar bagi para pihak untuk bebas menentukan cara penyelesaian sengketa (dalam hal ini ADR), yang mana dapat pula dilakukan dengan cara ODR yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik. Lebih lanjut disebutkan pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa:

“Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya”.

Dasar hukum dilaksanakannya prosedur arbitrasi online terdapat pada Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:

“Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak”. 

Dapat disimpulkan bahwa pelaksaan arbitrase secara online dapat dilaksanakan hanya jika terdapat kesepakatan terlebih dahulu dari para pihak untuk menyelenggarakan arbitrase secara online.

Terdapat kemungkinan kesepakatan para pihak dalam melakukan arbitrase secara online, dalam hal ini[10]: Pertama, dalam suatu perjanjian arbitrase ditambahkan klausul untuk penyelesaian melalui arbitrase secara. Kedua, pemberitahuan mengenai berlakunya syarat berarbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No.30 Tahun 1999.[11]

Ketiga, lembaga arbitrase sendiri yang akan menentukan apakah akan melaksanakan proses online atau tidak, sebagaimana dilakukan oleh American Arbitration Association. Dalam hal ini lembaga arbitrase menyusun pengaturan prosedur mengenai arbitrase.

Lain halnya pada Pasal 36 UU No.30 Tahun 1990 yang menyebutkan bahwa: Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Dari Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap dokumen arbitrase, harus dilakukan secara tertulis, kecuali ditentukan lain pada Pasal 4 ayat (3) UU 30 Tahun 1999, dapat dilakukan melalui sarana elektronik, hanya jika disepakati dan wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Perbedaan terlelak pada arbitrase online, harus terlebih dahulu ada kesepakatan.

Dari apa yang telah disebutkan sebelumnya terkait pengaturan mengenai kemungkinan adanya penyelesaian sengketa dengan cara Online Dispute Resolution pada Draft Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, sebenarnya sudah harus dapat dilaksanakan mengingat penyelesaian sengketa dengan ODR tidak hanya akan terus berkembang dan dibutuhkan masyarakat di masa akan datang, tetapi juga memiliki banyak keuntungan bagi para pihak dibandingkan dengan penyelesaian sengketa biasa.

Namun demikian, klausul tersebut juga belum banyak memberikan kejelasan mengenai bagaimana syarat dilaksanakannya ODR, mekanisme ODR, dan penjelasan lainnya. Perlu disadari bahwa penyelesaian sengketa secara online juga masih banyak mengalami kendala di Indonesia seperti belum adanya regulasi secara khusus terkait ODR, tidak meratanya koneksi internet, masih banyaknya kekhawatiran warga Indonesia yang belum percaya akan sahnya dokumen berbentuk soft-file, penyelesaian sengketa secara online masih belum terdengar familiar bagi sebagian masyarakat Indonesia, belum banyaknya sarana-prasarana yang mendukung penyelesaian sengketa secara online guna memudahkan masyarakat seperti lembaga atau website dsb.

Pada kesempatan ini Penulis berpendapat bahwa ada baiknya, Presiden dan DPR RI dapat mengeluarkan Undang-Undang terkait Alternatif Penyelesaian sengketa secara khusus, yang mana mengatur pula tentang Online Dispute Resolution yang sudah pasti akan semakin berkembang di Indonesia pada waktu yang akan datang, memeratakan koneksi internet dalam rangka mempermudah masyarakat Indonesia menjalankan aktivitas perdagangan sehari-hari, menyediakan sarana-prasarana secara mudah agar dapat digunakan masyarakat dalam memilih penyelesaian sengketa dengancara Online Dispute Resolution.
Gagasan ini sebelumnya telah diterbitkan di hukumpedia.com - sebuah kanal warga untuk bertukar gagasan, pendapat, ide, dan sumbang saran  mengenai pembangunan hukum di Indonesia. Gagasan atau pendapat yang dimuat di Hukumpedia.com bukanlah pendapat ataupun saran dari HukumOnline  namun merupakan gagasan ataupun pendapat pribadi dari para Sahabat Hukumpedia

Tertarik agar gagasan atau pendapat anda dapat tampil di HukumOnline? Jangan lupa untuk terus berhukumpedia. Daftar di sini.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Widnyana, I Made, 2014, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, Jakarta: PT. Fikahati Aneska.
Siburian, Paustinus, 2004, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Nugroho, Susanti Adi, 2015, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya Edisi Pertama, Jakarta: Prenadamedia Group.
Basarah, Moch., 2011, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Tradisional dan Modern (Online), Yogyakarta, Genta Publishing.

Undang-Undang dan Peraturan di Bawahnya
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Draft Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (masih berupa draft dan belum disahkan)
Internet
https://tinyurl.com/y7hobgaa
https://tinyurl.com/y936lfgp

[1]Moch. Basarah, 2011, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Tradisional dan Modern (Online), Yogyakarta, Genta Publishing, Halaman 92.
[2]I Made Widnyana, 2014, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, Jakarta: PT. Fikahati Aneska, halaman 47.
[3]Paustinus Siburian, 2004, Arbitrase Online Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta: Penerbit Djambatan, halaman 110.
[4]H. Priyatna Abdurrasyid, 2011,Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Jakarta: PT. Fikahati Aneska, halaman 15.
[5]https://tinyurl.com/y7hobgaa, Diakses pada 13 September 2016, Pukul 15.10 WIB.
[6]H. Priyatna Abdurrasyid.,Op.Cit.,halaman 92.
[7]Susanti Adi Nugroho, 2015, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya Edisi Pertama, Jakarta: Prenadamedia Group, halaman 43.
[8]Loc.Cit.
[9]Loc.Cit.
[10]Loc.Cit.
[11]Pasal 8 ayat (1) UU No.30 Tahun 1999: Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimile, email, atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
Tags:

Berita Terkait