Pendidkan Khusus Profesi Advokat Pasca Putusan MK
Kolom

Pendidkan Khusus Profesi Advokat Pasca Putusan MK

Jika dimungkinkan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi harus juga berperan aktif dengan membuat kurikulum khusus terkait dengan materi PKPA sehingga pelaksanaan PKPA ini benar-benar menjadi bagian pendidikan formal yang tidak asal-asalan.

Bacaan 2 Menit
Hani Adhani. Foto: Istimewa
Hani Adhani. Foto: Istimewa
Profesi Advokat adalah profesi yang saat ini sangat diminati oleh para lulusan fakultas hukum. Para fresh graduate sarjana hukum biasanya memiliki ketertarikan untuk menjadi Advokat oleh karena adanya tantangan dalam upaya untuk membantu masyarakat untuk menegakan hukum dan keadilan. Masih banyaknya masyarakat yang buta tentang hukum tentu menjadikan profesi Advokat ini menjadi urgent ada dalam masyarakat.

Profesi Advokat adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Tuntutan Jaksa dan Putusan Hakim tentu tidak akan pernah ada tanpa ada gugatan dari para Advokat, oleh karenanya sangat wajar apabila profesi advokat menjadi bagian profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile).

Seseorang yang telah bergelar sarjana hukum tidak dapat langsung menjadi Advokat. Ada tahapan yang harus dilalui apabila para sarjana hukum ingin menjadi Advokat yang tahapan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Salah satu tahapan yang harus dilalui oleh para sarjana hukum untuk menjadi Advokat yang diatur dalam UUAdvokat adalah adanya keharusan untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.

Adanya keharusan untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat telah dilaksanakan oleh organisasi Advokasi baik itu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ataupun Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang biasa dilaksanakan 1 (satu) sampai 3 (tiga) bulan yang diisi dengan berbagai materi khusus seperti hukum acara, mulai dari pidana, perdata, TUN, agama, MK, hubungan Industrial, niaga, HAM, persaingan usaha dan arbitrase.

Selain itu, setiap peserta pelatihan juga diberikan materi mengenai kode etik profesi Advokat, teknik non litigasi serta materi pendukung lainya seperti teknik wawancara dengan klien, penelusuran hukum, dokumentasi hukum, serta argumentasi hukum (legal reasoning).

Setelah mengikuti PKPA para calon Advokat selanjutnya akan mengikuti Ujian Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh organisasi Advokat dan setelah dinyatakan lulus selanjutnya mereka juga diwajibkan untuk mengikuti magang di kantor hukum selama dua tahun secara terus menerus. Kewajiban magang ini memang memberikan kematangan bagi para calon Advokat dalam menangani berbagai kasus yang ada di masyarakat.

Apabila diibaratkan seorang pilot, maka pengalaman jam terbang menangani berbagai kasus atau perkara menjadikan patokan awal kemahiran dan kematangan seorang Advokat. Hal tersebut memiliki nilai jual tersendiri bagi karir seorang Advokat yang pada akhirnya menjadikan mereka Advokat yang mahir dan handal dalam menangani berbagai kasus.

Setelah memenuhi syarat magang barulah nantinya para Advokat ini disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya dan setelah itu mereka akan mendapatkan kartu tanda anggota Advokat dan dapat mulai untuk menangani kasus sendiri dan/atau dapat pula membuka kantor hukum sendiri.

Adanya tahapan yang terbilang cukup sulit tersebut menjadikan profesi Advokat memiliki nilai prestise tersendiri. Apalagi nantinya para Advokat tersebut memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh Advokat lain, maka secara otomatis hal tersebut akan memberikan nilai lebih yang berimbas kepada banyaknya kasus yang akan ditangani.

Putusan MK tentang PKPA
Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang selama ini dijalankan oleh organisasi Advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat ternyata dalam kenyataannya dianggap melanggar hak konstitusional khususnya bagi Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945.

Pimpinan Pusat Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia mengajukan permohonan judicial review UUAdvokat kepada Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengaturan PKPA sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat. Menurut Pimpinan Pusat Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia, seharusnya PKPA yang diselenggarakan oleh organisasi Advokat dilaksanakan dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi atau sekolah tinggi hukum.

Mereka beranggapan bahwa ada kewajibandari Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesiauntuk ikut serta menjaga dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945yang salah satunya adalah dengan menjadikan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kompetensi Strata Satu (S1) yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ilmu hukum.

Untuk menjawab permasalahan konstitusional perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui putusan dalam perkara 95/PUU-XIV/2016 yang diucapkan pada tanggal 23 Mei 2017, dalam pertimbangan hukum menyatakan bahwa oleh karena dalam pelaksanaan PKPA dimaksud harus terdapat standar mutu dan target capaian tingkat keahlian/keterampilan tertentu dalam kurikulum PKPA maka dalam kaitan tersebut kerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu hukum atau sekolah tinggi hukum menjadi penting.

Sebab menurut MK, berbicara pendidikan, terminologi yang melekat dalam istilah PKPA tersebut, secara implisit mengisyaratkan bahwa PKPA harus memenuhi kualifikasi pedagogi yang lazimnya sebagaimana dituangkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, menurut MK, organisasi advokat dalam menyelenggarakan PKPA harus bekerja sama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu hukum atau sekolah tinggi hukum dengan kurikulum yang menekankan pada kualifikasi aspek keahlian atau keprofesian.

Keharusan tersebut menurut MK didasarkan pada argumentasi bahwa standardisasi pendidikan termasuk pendidikan profesi akan terjaga kualitasnya sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Advokat [vide Pasal 28 ayat (1) UU Advokat] dan sejalan dengan semangat Pasal 31 UUD 1945.

Selain itu, menurut MK, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan standar yang lazim digunakan dalam pendidikan keprofesian. Oleh karena itu, organisasi advokat tetap sebagai penyelenggara PKPA dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi yang fakultas hukumnya minimal terakreditasi B atau sekolah tinggi hukum yang minimal terakreditasi B.

Hal tersebut sejalan dengan tujuan Advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang pada intinya menegaskan bahwa Organisasi Advokat dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Menurut MK, untuk menjaga peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan UU Advokat, maka penyelenggaraan PKPA memang seharusnya diselenggarakan oleh organisasi atau wadah profesi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum.

PKPA Pasca Putusan MK
Putusan MK tersebut tentunya akan menjadi pijakan bagi Organisasi Advokat dan perguruan tinggi/sekolah tinggi hukum untuk melakukan kerjasama dalam hal penyelenggaraan PKPA bagi para calon Advokat. Apabila dimungkinkan tentunya Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi harus juga berperan aktif dengan membuat kurikulum khusus terkait dengan materi PKPA ini, sehingga semua materi yang akan diajarkan kepada seluruh calon Advokat memiliki tingkat kualitas materi yang sama dan standar yang sama sehingga pelaksanaan PKPA ini benar-benar menjadi bagian pendidikan formal yang tidak asal-asalan.

Adanya patokan angka akreditasi minimal B bagi perguruan tinggi atau sekolah tinggi hukum dalam penyelenggaraan PKPA sebagaimana putusan MK dalam perkara 95/PUU-XIV/2016 diharapkan menjadikan penyelenggaraan PKPA memiliki tingkat kualitas yang juga setara dengan akreditasi penyelenggara perguruan tinggi dan/atau sekolah tinggi hukum. Sehingga diharapkan hasil PKPA tersebut akan dapat melahirkan para Advokat yang handal dan berkualitas yang dapat membantu masyarakat dan meningkatkan daya saing bangsa.

Selain itu, tentunya kita berharap pasca putusan MK tersebut, akan terjalin kerjasama yang baik antara organisasi Advokat dan Perguruan Tinggi Hukum atau sekolah tinggi hukum sehingga penyelenggaraan PKPA benar-benar memiliki standar kualifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan profesi lainnya sehingga profesi advokat tetap dalam jalur profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile).

*)Hani Adhani adalah Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi RI.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: