Revisi UU BUMN Atur Ketentuan Pemilihan Direktur dan Komisaris Melalui DPR
Berita

Revisi UU BUMN Atur Ketentuan Pemilihan Direktur dan Komisaris Melalui DPR

Hal krusial lain dalam revisi UU BUMN adalah soal pembentukan anak perusahaan.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN, Jakarta. Foto: SGP
Gedung Kementerian BUMN, Jakarta. Foto: SGP
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah berinisiatif untuk melakukan Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini dilakukan untuk memperbaiki tata kelola dan pengaturan BUMN sebagai purusahaan Negara yang memiliki peran terhadap hajat hidup orang banyak.

“Dalam Revisi UU BUMN itu, kami ingin menegaskan bahwa untuk Dirut (Direktur Utama) dan Komut (Komisaris Utama) kami akan buka fit and proper test di DPR,” ujar wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Bowo Sidik Pangarso, dalam seminar KAHMI, Revisi UU BUMN Untuk Reformasi Tata Kelola BUMN, Kamis (8/6), di Jakarta.

Menurut Bowo, salah satu poin krusial dalam revisi UU BUMN adalah adanya ketentuan yang mengatur tentang pemilihan direktur utama dan komisaris utama melalui uji kelayakan di DPR. Hal ini bertujuan untuk memastikan keberadaan direktur dan komisaris pada BUMN merupakan orang yang tepat.

“Kami ingin supaya seluruh perusahaan BUMN dipimpin oleh orang-orang yang pas, capable, dan punya kemampuan,” terang Bowo kepada hukumonline. (Baca Juga: Pakar HTN: Ada Tujuan Positif dari Keberadaan PP 72/2016)

Bowo menilai, selama ini proses pemilihan direktur dan komisari BUMN hanya berdasarkan hitung-hitngan politik Pemerintah. Direktur dan komisaris biasanya diisi oleh orang-orang dekat Pemerintah yang memiliki andil dalam proses pemenangan seorang Presiden.

“Alasan kami karena kami melihat sekarang seenaknya penguasa menunjuk komut dan jajarannya berikut dirut dan jajarannya,” kata Bowo.

Ia membandingkan dengan periode-periode Pemerintahan sebelumnya yang memilih direktur dan komisaris BUMN berdasarkan profesionalitas orang-orang yang dipilih. “Kalau dulu dirut dan komisaris biasanya masih professional. Sekarang tidak, dirut atau komisaris utama itu untuk kepentingan politik. Orang politik, orang pendukung politik, orang kampus yang berpolitik semuanya masuk disitu,” urai Bowo.

Oleh karena itu, melalui revisi UU BUMN ini dibuatkan ketentuan yang dapat mengatur proses uji kelayakan yang melibatkan DPR. “Dengan undang-undang ini kami mencoba untuk pemilihan direktur utama itu kami pun ikut masuk untuk menguji kelayakan mereka,” tuturnya. (Baca Juga: Kerugian BUMN atau BUMD, Negara Bisa Gugat Perdata Komisaris dan Direksi)

Di tempat yang sama, ketua tim hukum KAHMI, Bisman Bakhtiar mengatakan, terkait keterlibatan DPR dalam fit and proper test direksi dan komisaris utama harus dilihat dari dua sisi. Pertama, sisi positifnya. Dengan keterlibatannya, DPR dapat menjalankan fungsi pengawasan terhadap orang-orang yang akan dipilih.

Melalui pengawasan tersebut, DPR setidaknya dapat memastikan orang-orang yang nantinya dipilih menjadi direktur utama dan komisaris utama merupakan orang-prang yang tepat, memiliki kemampuan dan kapasitas yang benar-benar dapat diandalkan. Selain itu, dengan keterlibatan DPR, dapat mencegah konflik interest dikemudian hari. “Artinya itu untuk menghindari dirut atau komisaris jadi-jadian,” terang Bisman.

Kedua, negatifnya adalah, apabila komisaris utama dan direktur utama dipilih melalui uji kelayakan DPR, menurut Bisman, akan semakin jauh keterlibatan DPR terhadap BUMN. Ia menilai, semakin jauh keterlibatan DPR terhadap BUMN bisa saja berakibat terjadinya kompromi politik di dalamnya. (Baca juga: Kekayaan BUMN Bukan Bagian Keuangan Negara)

“Artinya, sebenarnya kalau yang terjadi seperti itu fit and proper test DPR juga sama saja,” ujar Bisman.

Oleh karena itu menurut Bisman, belajar dari kasus-kasus lain yang pernah terjadi, khusus untu pemilihan direktur utama dan komisaris utama, layak untuk dipertimbangkan keterlibatan DPR di dalamnya dengan catatan, DPR dapat bertindak fair.

Bisman menambahkan, hal krusial lain dalam revisi UU BUMN adalah soal pembentukan anak perusahaan. Di dalam ketentuan revisi UU BUMN, anak perusahaan BUMN juga merupakan BUMN. Oleh karena itu ketika anak perusahaan hendak membetuk anak perusahaan kembali, perusahaan tersebut tetap berada dalam kontol Negara. “Dalam hal ini kontrol Pemerintah, Kontrol DPR, dan kontrol Badan Pemeriksa Keuangan,” terangnya.

Selain itu, Bisman juga menambahkan hal penting lainnya yang baru diatur dalam revisi UU BUMN adalah soal Penyertaan Modal Negara (PMN). PMN yang berasal dari saham BUMN lain seperti yang diatur dalam revisi UU BUMN menurut Bisman merupakan bentuk koreksi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016.

“Jadi penyertaan modal Negara yang berupa bentuk barang milik Negara itu harus betul-betul dipastikan lewat mekanisme APBN, dan yang kedua ada keterlibatan DPR untuk mnyetujui atau tidak meyetujui penyertaan modal Negara tersebut,” pungkas Bisman.

Tags:

Berita Terkait