Hakim Serba Bijak
Tajuk

Hakim Serba Bijak

Dalam satu tarikan nafas yang sama, saya juga mencemaskan bagaimana caranya para hakim kita bisa menyiapkan diri untuk menghadapi semua perubahan yang sangat menyadarkan kita pada banyak keterbatasan dan kekurangan kita.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Tidak pernah terbayang kalau saya mengambil jalur profesi sebagai hakim sekarang ini, perjalanan hidup seperti apa dinamikanya yang kira-kira harus saya hadapi dalam menjalankan profesi mulia tersebut. Pertanyaan ini juga mungkin ada di benak teman-teman advokat dan profesi atau pekerja hukum lainnya.

Saya membayangkan bahwa pada era Orde Lama, hakim kita menghadapi tantangan dari sistem politik yang cukup plural dengan sistem banyak partai, pemerintahan sipil yang cukup represif, kemudian sistem presidentil berubah menjadi sistim parlementer yang kemudian berakhir dengan demokrasi terpimpin. Memang korupsi belum menggerogoti birokrasi, parlemen, judikatif dan dunia usaha. Juga masih ada jarak besar antara kualitas dan pemahaman hukum dari para hakim, advokat, jaksa dan polisi, dan utamanya pencari keadilan.

Hakim-hakim masih banyak yang berpendidikan Belanda, atau setidaknya dididik oleh juris dan akademisi yang didikan Belanda, baik di Leiden, Utrect, dan sebagainya, maupun di Rechtshoogeschool te Batavia. Disiplin kerja pengaruh Belanda masih tinggi, pengetahuan tentang undang-undang ex-Belanda rata-rata masih fasih, dan mungkin gaji dan fasilitas negara masih cukup untuk menunjang kehidupan yang pantas. Walaupun Soekarno agak sinis terhadap profesi hukum dengan mengatakan bahwa juris tidak bisa diajak ber-revolusi, sistem kehakiman kita waktu itu cukup independen, bahkan dalam banyak hal berani untuk berkata tidak kepada penguasa. Kebanggaan dan kemandirian sistem kehakiman tercatat dengan baik dalam sejarah era ini.

Pada era Orde Baru, tentu tantangannya jauh berbeda. Dengan sistem yang sangat sentralistik, otoriter, dan represif, sistem kehakiman kita menjadi lemah, dikendalikan oleh penguasa dan organisasi. Hakim menjadi tidak mandiri dan mulai terjangkit penyakit korupsi yang sistemik, utamanya karena sistem remunerasi yang buruk dan melecehkan. Sistem pendidikan tinggi hukum yang menjamur juga menghasilkan juris yang gagap, tidak kompeten, dan rendah disiplin keilmuannya. Ini terefleksi pada sistem kehakiman sebagai pemakai lulusan fakultas-fakultas hukum negeri maupun swasta, apalagi jumlah lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum terbaik tidak banyak yang mengambil jalur profesi sebagai hakim.

Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi digenjot untuk mencapai target-target statistik yang memang terbukti, sehingga Indonesia menjadi tempat investasi favorit di antara negara-negara sedang berkembang. Tetapi begitu masalah investasi asing, transaksi bisnis dan keuangan, salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi, menyangkut penerapan hukum dan pelaksanaan hukum atau keputuan hakim, terjadi kegamangan yang meragukan banyak investor yang mengutamakan bisnis secara berintegritas.

Hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia dipotret sebagai tidak jelas, tumpang tindih, mudah berubah, tidak ada konsistensi, dan dipengaruhi oleh faktor korupsi, kolusi dan nepotisme  yang tinggi dan hampir merata di mana-mana. Ini sangat mudah terlihat dalam penilaian peringkat kondisi keuangan dan kemampuan membayar negara maupun sektor swasta, yang diberikan oleh firma-firma pemeringkat tingkat dunia, dalam prospektus-prospektus penawaran umum sebagai faktor risiko, dalam laporan-laporan para analis dan media masa kelas dunia, dan information memorandum yang digunakan dalam banyak road show pemerintah dan sektor swasta kita di pusat-pusat keuangan dunia.

Mereka bilang, no pain no gain, dalam mempertimbangkan kelayakan investasi di Indonesia, artinya risikonya cukup besar tetapi marjin keuntungannya pun, kalau berhasil, juga lebih besar dibanding dengan pasar lain. Ini bisa juga dianggap sebagai cara pandang yang sangat permisif dari sejumlah investor terhadap masalah-masalah integritas dalam berbisnis di Indonesia.           

Pada era reformasi sekarang ini, sistem kehakiman kita mencoba untuk menjadi pelopor dalam usaha reformasi hukum dan institusi hukum. Reformasi terjadi dalam format-format yang baku dan umumnya diterima baik (generally acceptable) dalam sistem demokrasi yang diterima dimanapun, termasuk penghargaan yang wajar terhadap sistem remunerasi para hakim. Tetapi itu tidak cukup. Karena korupsi masih terjadi, masih banyak peraturan yang tidak jelas, masih banyak ketidak jelasan cara pengambilan keputusan dalam pemerintah, campur tangan parlemen yang membesar, mutu keputusan masih sering dipertanyakan, sistem recruitment dan training masih belum bisa mengatasi kendala peningkatan mutu, dan kemandirian hakim masih banyak dipengaruhi oleh uang, tekanan masa dan partai politik.

Menilai kinerja sistem kehakiman kita dari ketiga era di atas memang banyak caranya. Kita bisa menilainya dari efektifitas para hakim mengejar dan menuntaskan tumpukan perkara. Kita bisa menilainya dari kualitas putusan yang diberikan, utamanya untuk perkara-perkara besar dan penting. Kita kemudian juga bisa menilainya dengan membuat perhitungan statistik berupa kepuasan dari para pencari keadilan terhadap putusan-putusan yang ada.

Atau lebih abstrak lagi, kita bisa melihatnya dari apakah keputusan-keputusan tersebut memberi dampak positif terhadap perbaikan sistem kenegaraan, sistem politik dan cara kita berdemokrasi, mendukung gerakan anti korupsi dan menetapkan standar untuk sistem integritas nasional yang baik, membangun praktik terbaik bisnis, memberikan perlindungan konsumen dan konservasi sumber daya alam, dan mengembangkan dan memperbaiki sistem di banyak sektor penting lainnya seperti misalnya sistem pembangunan perkotaan, pendidikan, kesehatan, perlindungan buruh, jaminan pensiun dan lain-lain.

Yang saya maksud tidak terbayang kalau saya berprofesi hakim sekarang ini, juga sekaligus menggambarkan tantangan-tantangan yang ada sekarang maupun yang akan datang, seperti misalnya bagaimana hakim-hakim kita menghadapi perkara-perkara: (i) krisis ekonomi, moneter atau perbankan yang masih mungkin terjadi dengan melihat masih rentannya sistem keuangan dan perbankan dunia saat ini, makin kompleksnya sistem keuangan, moneter dan perbankan dunia termasuk perkembangan fintech (keuangan berbasis teknologi), apalagi bila ada muatan politis yang kental seperti dalam kasus Bank Century;

(ii) yang bisa timbul terkait dengan pelaksanaan program divestasi terhadap modal asing, apalagi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan perusahaan-perusahaan besar; (iii) yang terkait dengan isu perkembangan sentimen nasionalisme dalam pengelolaan sumber-sumber daya ekonomi kita; (iv) kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, dan tuntutan masyarakat adat, yang tidak hanya membutuhkan pendekatan teknologi yang tepat tetapi juga pemahaman mengenai isu-isu sosial setempat; (v) penyerobotan hutan dan taman nasional yang sangat berdimensi sosial karena menyangkut kemiskinan dan ketidak-berdayaan masyarakat setempat, yang di sisi lain juga sarat motif ekonomis dari para pemain gelap;

(vi) yang menyangkut pemilu, pilkada, politik uang, sengketa internal parpol dan antar parpol, serta parpol dan pemerintah atau lembaga negara; (vii) intoleransi, SARA dan gesekan antar golongan, agama, dan suku yang pada era modern ini terlihat aneh, tetapi nyatanya masih terjadi; (viii) radikalisme, terorisme dan kekerasan serta ancaman keamanan terhadap publik; (ix) perlakuan terhadap transaksi elektronik, kejahatan siber, lontaran rasa kebencian melalui media sosial dan lain-lain yang terkait dengan komunikasi internet.

Belum lagi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama lagi, kita akan mengalami lompatan-lompatan teknologi yang terkait dengan penggunaan big data, alih daya dari tenaga manusia ke teknologi robotik, penggunaan kendaraan tanpa pengemudi, penggunaan artificial intllegence dalam berbagai fungsi kehidupan masyarakat,  yang semuanya mengandung potensi risiko hukum dan sengketa hukum.

Saya membayangkan bahwa dalam 10 tahun mendatang, lebih dari 50% pekerjaan advokat, dokter, akuntan, profesional perbankan, direksi dan banyak profesi dan pekerjaan lain akan diambil alih oleh teknologi robotik, dan hampir seluruh pekerjaan kasar (blue collar) akan juga diambil alih oleh teknologi robotik. Saya hanya belum bisa membayangkan bahwa peran hakim yang harus juga adil, bijaksana, dan mewakili rasa keadilan masyarakat diambil alih oleh robot hakim, walaupun hampir seluruh pekerjaan analisa datanya, bukti-bukti dan membandingkan dengan putusan yang menjadi preseden bisa dikerjakan oleh robot.

Memahami itu semua, saya jadi sangat mengapresiasi dan bersimpati terhadap peran sulit hakim di masa kini dan mendatang. Dan dalam satu tarikan nafas yang sama, saya juga mencemaskan bagaimana caranya para hakim kita bisa menyiapkan diri untuk menghadapi semua perubahan yang sangat menyadarkan kita pada banyak keterbatasan dan kekurangan kita. Tugas yang menjadi bukan menjadi beban para hakim saja, tetapi juga ada pada pundak kita semua.

ats - 7 Juni 2017
Tags: