Fenomena Hakim Korupsi, Layakkah Menuntut Kesejahteraan?
Mengurai Status Hakim:

Fenomena Hakim Korupsi, Layakkah Menuntut Kesejahteraan?

Peningkatan kesejahteraan tak menjamin hakim bebas korupsi, tetapi semua berpandangan sudah waktunya kesejahteraan hakim diperbaiki.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI/AID
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Masih hangat dalam pemberitaan, bagaimana penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan peran mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar dalam kasus suap pengurusan putusan uji materi UU No.41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Peternakan).

"Sepak terjang" Patrialis ini terungkap dalam surat dakwaan pemilik CV Sumber Laut Perkasa Basuki Hariman yang dibacakan penuntut umum di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin lalu (5/6). Patrialis disebut menerima uang dan janji miliaran rupiah melalui seorang pengusaha yang juga teman Patrialis yang bernama Kamaludin.

Tak sampai di situ. Patrialis, bahkan disebut membocorkan draf putusan perkara uji materi bernomor 129/PUU-XIII/2015 dan menyarankan Basuki melakukan pendekatan kepada hakim konstitusi lain yang belum menyampaikan pendapat dan berpendapat menolak permohonan uji materi. Baca Juga: Patrialis Sarankan Pengusaha Menangkan Uji Materi UU Peternakan

Sebelum Patrialis, pada 2013 atau sekitar empat tahun lalu, penangkapan Ketua MK M Akil Mochtar oleh KPK juga menjadi peristiwa yang menggemparkan. Akil ditangkap di rumahnya bersama anggota DPR dari Fraksi Golkar, Chairun Nisa dan Cornelis Nalau yang merupakan keponakan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih.

Kasus itu pun berkembang. Akil divonis bersalah karena terbukti melakukan pencucian uang dan menerima suap terkait beberapa sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di MK melalui sejumlah pihak, termasuk perusahaan istrinya, CV Ratu Samagat. Akil dihukum seumur hidup dan putusannya kini telah berkekuatan hukum tetap.

Dua kasus hakim konstitusi ini merupakan bagian dari potret fenomena korupsi kalangan hakim di Indonesia. Masih ada lagi kasus-kasus korupsi lain yang melibatkan hakim. Bukan hakim konstitusi, melainkan hakim-hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA), seperti peradilan umum dan Tata Usaha Negara (TUN).

Kasus suap hakim yang cukup menyita perhatian publik pada 2015 lalu adalah kasus suap Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro. Kasus itu melibatkan advokat senior Otto Cornelis Kaligis dan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Dalam pengembangannya, kasus ini menyeret pula Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat Patrice Rio Capella.

Yang tak kalah heboh adalah kasus suap Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejo Cahyono. Tak hanya menerima uang, Setyabudi disebut beberapa kali menerima fasilitas "hiburan" di Venetian Spa, Lounge & Karaoke. Sebenarnya masih ada beberapa kasus korupsi hakim lain yang ditangani KPK.

Di tengah fenomena hakim korupsi, perjuangan para hakim dari seluruh pelosok daerah, terutama pengakuan status hakim sebagai pejabat negara terus "dikumandangkan". Apalagi kedudukan hakim sebagai pejabat negara secara tegas disebutkan dalam Pasal 19 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 122 UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).   

Sayang, meski berstatus pejabat negara, para hakim, khususnya di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak memperoleh seluruh fasilitas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim. Hal itu disebabkan keterbatasan anggaran dan kemampuan keuangan negara.

Maka, untuk mengukuhkan status hakim sebagai pejabat negara, Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim (RUU Jabatan Hakim) dianggap menjadi solusi. Tentu, konsekuensi logis dari status hakim sebagai pejabat negara, antara lain pemenuhan kesejahteraan dengan segala hak dan fasilitas yang sepatutnya diperoleh hakim selaku pejabat negara. Baca Juga: Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara

Sekedar informasi, pemerintah dan DPR telah sepakat untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Jabatan Hakim. Namun, kembali lagi pada fenomena korupsi hakim. Layakkah hakim menuntut kesejahteraan dengan pemenuhan hak dan fasilitas sebagai pejabat negara? Sebab, hipotesis yang muncul sejahtera belum tentu terhindar dari korupsi. Mungkin kasus Akil bisa menjadi contoh.

Hakim Agung sekaligus Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Suhadi mengatakan, harus dipisahkan antara mendudukan hakim sebagai pejabat negara dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oknum-oknum hakim. Ia berpendapat, kasus-kasus korupsi hakim tidak relevan dijadikan ukuran menilai pantas atau tidaknya hakim menuntut kesejahteraan ketika statusnya pejabat negara.

"Kalau ukurannya apakah pantas untuk hakim itu menuntut status sebagai pejabat negara, padahal ada (kasus-kasus) OTT (Operasi Tangkap Tangan) pejabat lain, oke kita pergi (Lembaga Pemasyarakatan) Sukamiskin. Disitu, ratusan Bupati, Gubernur sampai Menteri pun pejabat negara, toh negara ini tidak bubar," katanya kepada hukumonline saat ditemui di kantornya di Gedung MA, Jumat (26/5/2017) pekan lalu.

Menurutnya, dari ratusan narapidana korupsi penghuni LP Sukamiskin, jumlah narapidana hakim terbilang kecil. Ia bahkan meyakini jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sementara, jumlah narapidana anggota DPR, Walikota, Gubernur, dan Menteri yang notabene sama-sama berstatus pejabat negara jumlahnya cukup banyak.

Memang, apabila dibandingkan, jumlah kasus korupsi yang melibatkan unsur hakim lebih sedikit ketimbang unsur pejabat lain, seperti DPR, Walikota, Gubernur, dan Menteri/Kepala Lembaga. Setidaknya, jumlah itu yang terlihat dari data penanganan perkara korupsi di KPK.

Berdasarkan data statistik dan penindakan KPK, sejak 2004-Maret 2017, lembaga antirasuah ini telah melakukan penyelidikan terhadap 874 perkara, penyidikan 594 perkara, penuntutan 489 perkara, inkracht 406 perkara, dan eksekusi 434 perkara. Dari 594 perkara yang disidik KPK, 16 orang diantaranya berprofesi sebagai hakim.

Tindak Pidana Korupsi yang Ditangani KPK Berdasarkan Profesi/Jabatan
Jabatan/Profesi 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Anggota DPR/DPRD 0 0 0 2 7 8 27 5 16 8 9 19 23 3
Kepala Lembaga/Kementerian 0 1 1 0 1 1 2 0 1 4 9 3 2 0
Duta Besar 0 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0
Komisioner 0 3 2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Gubernur 1 0 2 1 1 2 1 0 0 2 3 3 1 0
Walikota/Bupati dan Wakil 0 0 3 6 6 5 4 3 3 3 12 4 9 2
Eselon I/II/III 2 9 15 10 22 14 12 15 18 7 2 7 10 12
Hakim 0 0 0 0 0 0 1 2 2 3 2 3 1 1
Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 16 18 28 7
Lainnya 0 6 1 2 4 4 9 3 3 8 8 5 25 2
Jumlah 4 23 29 27 55 45 65 38 49 59 61 62 99 27
Sumber : Statistik Penanganan Perkara KPK per 31 Maret 2017

Berikut daftar ke-16 hakim yang terjerat kasus korupsi di KPK :
Tahun Hakim Perkara
2010 Ibrahim
Hakim Pengadilan Tinggi TUN DKI Jakarta
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait pengurusan perkara banding PT Sabar Ganda milik DL Sitorus dalam sengketa tanah dengan Pemprov DKI Jakarta. Ibrahim bertindak sebagai ketua majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut bersama hakim anggota Santar Sitorus dan Arifin Marpaung. Uang suap diterima Ibrahim melalui pengacara Adner Sirait.
2011 Syarifuddin
Hakim Pengawas Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Perkara tindak pidana korupsi menerima sesuatu atau janji dalam penanganan perkara penjualan aset PT Skycamping Indonesia (dalam pailit).
Imas Dianasari
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan suap dalam rangka mempengaruhi putusan perkara dan pengurusan kasus di MA supaya putusan kasasi menolak gugatan Serikat Pekerja dalam penanganan kasus Hubungan Industrial terkait pemutusan hubungan kerja akibat mogok kerja tidak sah yang dilakukan oleh Pekerja PT Onamba Indonesia.
2012 Heru Krisbandono
Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Negeri Pontianak
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait penanganan perkara penyimpangan anggaran pemeliharaan mobil dinas Sekretrariat DPRD Kabupaten Grobogan TA 2006-2008 di Pengadilan Tipikor Semarang dengan terdakwa Muhammad Yaeni.
Kartini Juliana Marpaung
Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Semarang
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait penanganan perkara penyimpangan anggaran pemeliharaan mobil dinas Sekretrariat DPRD Kabupaten Grobogan TA 2006-2008 di Pengadilan Tipikor Semarang dengan terdakwa Muhammad Yaeni.
2013 Pragsono
Hakim Pengadilan Tipikor Semarang
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait penanganan perkara penyimpangan anggaran pemeliharaan mobil dinas Sekretrariat DPRD Kabupaten Grobogan TA 2006-2008 di Pengadilan Tipikor Semarang dengan terdakwa Muhammad Yaeni.
Asmadinata
Hakim Pengadilan Tipikor Semarang
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait penanganan perkara penyimpangan anggaran pemeliharaan mobil dinas Sekretrariat DPRD Kabupaten Grobogan TA 2006-2008 di Pengadilan Tipikor Semarang dengan terdakwa Muhammad Yaeni.
Aki Mochtar
Ketua MK
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji berkaitan dengan penanganan perkara sejumlah sengketa Pilkada di MK dan tindak pidana pencucian uang.
Setyabudi Tejo Cahyono
Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan penanganan perkara banding korupsi penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung TA-2009 s/d TA-2010 di Pengadilan Tipikor Bandung dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dengan terdakwa Rochman selaku mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung dan kawan-kawan.
2014 Ramlan Comel
Hakim Pengadilan Tipikor Bandung
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan penanganan perkara banding korupsi penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung TA-2009 s/d TA-2010 di Pengadilan Tipikor Bandung dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dengan terdakwa Rochman selaku mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung dan kawan-kawan.
Pasti Serefina Sinaga
Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan penanganan perkara banding korupsi penyimpangan dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung TA-2009 s/d TA-2010 di Pengadilan Tipikor Bandung dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat dengan terdakwa Rochman selaku mantan Bendahara Pengeluaran Sekretariat Daerah Kota Bandung dan kawan-kawan.
2015 Tripeni Irianto Putro
Ketua PTUN Medan
Perkara tindak pidana korupsi penerimaanatau janji terkait dengan penanganan perkara permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan atas Penyelidikan tentang dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diajukan ke PTUN Medan.
Dermawan Ginting
Hakim PTUN Medan
Perkara tindak pidana korupsi penerimaanatau janji terkait dengan penanganan perkara permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan atas Penyelidikan tentang dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diajukan ke PTUN Medan.
Amir Fauzi
Hakim PTUN Medan
Perkara tindak pidana korupsi penerimaanatau janji terkait dengan penanganan perkara permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sesuai dengan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan atas Penyelidikan tentang dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (BANSOS), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Penahanan Pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diajukan ke PTUN Medan.
2016 Janner Purba
Hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu
Perkara tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji sehubungan dengan penanganan perkara penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD M Yunus Bengkulu Tahun Anggaran 2011 yang sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Bengkulu atas nama terdakwa Edy Santoni dan Safri.
2017 Patrialis Akbar
Hakim MK
Perkara tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji terkait dengan permohonan Judicial Review UU No.41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor Register perkara 129/PUU-XIII/2015 dari Basuki Hariman. Sprin.Dik-10/01/01/2017 tanggal 26 Januari 2017.
Sumber : Diolah dari Kanal Penindakan KPK per Maret 2017

Jadi, sambung Suhadi, jika pada kenyataannya pejabat negara lain lebih banyak menjadi penghuni LP Sukamiskin ketimbang hakim dan fenomena korupsi pejabat negara tersebut yang menjadi ukuran, menjadi pertanyaan pula apakah mereka pun pantas menuntut status pejabat negara? "Tidak ada (ukuran) yang seperti itu," imbuhnya. Baca Juga: Rohadi Mengaku Diminta Tutup Mulut dalam Suap Perkara Saipul Jamil

Senada, Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Yohanes Priyana juga berpendapat hakim layak menuntut kesejahteraan. Memang, ada pandangan, gaji kecil memicu tindakan koruptif. Namun, ia menilai, sebenarnya perilaku koruptif tergantung pada paradigma dan panggilan hidup masing-masing hakim.

"Nah, yang mau dicari apa? Hakim yang menganut aliran profesionalisme atau hakim (sekedar) profesi. Kalau profesi itu berkaitan dengan mata pencarian. Kalau yang dicari kan hakim profesional. Profesional itu pada sikap batin. Fasilitas menjadi tidak penting, tapi mencari kepuasan batin. Putusannya baik, putusannya diterima, tanpa pamrih, kan begitu," ujarnya.

Yohanes menganalogikan hakim yang profesional sebagai seorang profesor yang memiliki keahlian dan kelas tertentu. Sebagaimana sang profesor, hakim yang profesional juga layak digaji tinggi. Untuk itu, ia berharap sistem rekrutmen, promosi, dan mutasi lebih jeli dalam menyaring hakim-hakim yang profesional dan berintegritas.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, profesionalisme dan integritas seseorang hakim dapat dinilai secara individu dan bukan kolektif. Namun, yang terjadi sekarang adalah semua disamaratakan. Mau dia hakim profesional atau tidak, gajinya sama saja, asalkan golongannya sama, masa kerjanya sama, dan kepangkatannya sama.

"Sehingga, dalam perkembangannya, mungkin perlu dipikirkan, perlukah sidang (dalam bentuk) majelis. Mungkin dalam perkara kecil cukup hakim tunggal. Sebab, dengan hakim tunggal akan kelihatan apakah dia profesional atau tidak. Itu tantangan. Seleksi alam akan kelihatan. Kalau (bentuknya) majelis, hakim yang tidak bagus pun (bisa tertutup) temannya," terangnya.

Karena itu, Yohanes berpandangan, untuk menilai profesionalisme dan integritas hakim, lebih baik jika berbentuk hakim tunggal. Pasalnya, ketika hakim tunggal memimpin sidang, akan terlihat apakah hakim itu mumpuni atau tidak. Tentu, karena bentuknya bukan majelis, hakim tersebut akan mengeluarkan seluruh kemampuannya.

"Kalau di depan (sidang) tidak mumpuni, ya singkirkan saja. Tidak masalah. Kehendak masyarakat kan begitu. Kenapa kita punya majelis yang banyak sekali. Berapa sih yang profesional. Bagaimana kita tahu profesional atau tidak, wong bentuknya tim. Dengan hakim yang tunggal, tidak begitu banyak, mungkin negara lebih mampu menggaji (tinggi)," tuturnya.

Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengatakan, perilaku koruptif tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan. Ada yang gajinya sudah tinggi, tapi tetap korupsi. Ada juga yang korupsi bukan karena kebutuhan. Ada pula orang yang walau pendapatannya tidak mencukupi, tidak korupsi.

Lepas dari itu, Arsil menegaskan, sudah menjadi kewajiban negara untuk mencukupi kebutuhan hakim sesuai standar kebutuhan hidup, ditambah dengan melihat risiko dan tanggung jawab jabatan. Apabila kebutuhan sudah tercukupi, setidaknya orang-orang yang tadinya terpaksa korupsi karena kebutuhan dapat dicegah.

Tak jamin hakim bebas dari korupsi
Permasalahannya, peningkatan kesejahteraan tak menjamin hakim bebas dari perilaku korupsi. Sebab, ada orang yang melakukan korupsi bukan karena kebutuhan, bahkan sudah menjadi kebiasaan. Arsil berpendapat, korupsi masih banyak terjadi meski kesejahteraan mencukupi, karena korupsi sudah membudaya dan mengakar akibat problematika masa lalu.

"Dulu mungkin pendapatannya kurang dan terpaksa korupsi. Lama-lama itu menjadi kebiasaan," ucapnya. "Nah, orang-orang seperti ini akan susah. Dinaikkan gajinya juga belum tentu menghilangkan kebiasaannya, karena sudah mengakar. Jadi, korupsi faktornya banyak, salah satunya pendapatan. Tapi, pendapatan bukan satu-satunya faktor," tegasnya.

Meski begitu, lanjut Arsil, bukan berarti gaji hakim tidak perlu dinaikkan. Untuk menilai gaji hakim sudah mencukupi atau belum, dapat diihat dari beban tanggung jawab dan kebutuhan hidup. Misalnya, seorang hakim dengan usia 50 tahun. Bisa diperkirakan berapa usia anaknya. Dari situ, dapat ditentukan rasionalitas gaji yang menunjang kebutuhan hidupnya.

Tapi, lagi-lagi, bila ditanya apakah itu menjamin hakim tidak akan korupsi? Jawabannya, tentu saja tidak. Mengingat peningkatan kesejahteraan bukan satu-satunya faktor, Arsil menyarankan agar celah-celah korupsi lain juga ditutup. Antara lain, dengan sistem pengawasan (ketat) yang memadai dan pemangkasan birokrasi yang terlalu rumit.

Mungkin kasus Ketua MK Akil Mochtar dapat menjadi contoh bahwa kesejahteraan belum tentu menjamin hakim bebas dari korupsi.

Sebagaimana diketahui, sebelum terbit UU ASN, kedudukan hakim konstitusi sebagai pejabat negara telah disebutkan dalam Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 UU No.24 Tahun 2003 tentang MK yang telah diubah sebanyak dua kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2013 yang ditetapkan menjadi UU No.4 Tahun 2014.

Tentu, selayaknya pejabat negara, gaji, tunjangan, dan fasilitas hakim konstitusi relatif sudah memadai ketimbang hakim peradilan di bawah MA. Hal ini bisa dilihat perbandingan isi PP No.55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi yang terakhir diubah dengan PP No.56 Tahun 2016 dengan PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.

Melihat perbandingan kedua aturan tersebut, jelas pendapatan hakim konstitusi, terutama Ketua MK, jauh lebih besar dibanding pendapat hakim peradilan di bawah MA. Hak keuangan dan fasilitas hakim konstitusi dan Ketua MK sama dengan hakim agung dan Ketua MA yakni kisaran Rp72,8 (hakim konstitusi/hakim agung) hingga Rp121,6 juta (ketua MK/Ketua MA). Namun, entah mengapa, faktanya masih ada hakim konstitusi yang melakukan korupsi?  

Yohanes berpendapat, peningkatan kesejahteraan menjadi salah satu faktor untuk mengurangi perilaku koruptif hakim. Tapi ingat, hanya salah satu faktor saja. Sebab, bagaimanapun, sekarang, orang memiliki sifat lebih konsumtif. Hakim punya keluarga, punya relasi pergaulan dengan masyarakat, serta citra yang terbentuk di masyarakat.

"Hakim tidak hidup di sangkar emas yang terpisah dari masyarakat. Sementara, dalam masyarakat, sudah terkontaminasi pada pemikiran bahwa jabatan hakim pasti orang kaya, karena negara memberikan gaji besar. Sehingga, dalam hal tertentu di lingkungan kemasyarakatan, misal hakim diminta menjadi donatur, menyumbang, nanti kalau menyumbang Rp100 ribu, wah (dibilang) itu hakim kok kikir. Jadi, ini secara sosiologis, realitas dalam kehidupan (hakim)," ujarnya.

Diimbangi dengan peningkatan risiko sanksi
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan I, Direktorat Jenderal Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Karjono mengungkapkan, konsekuensi logis dari status hakim sebagai pejabat negara, salah satunya adalah mendapatkan hak keuangan dan fasilitas selayaknya pejabat negara. Baca Juga: Dilema ‘Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara

Ia pun menilai, adanya peningkatan kesejahteraan tidak menjamin hakim bebas dari korupsi, meski begitu kesejahteraan hakim memang sudah waktunya diperbaiki. "Kalau kesejahteraan memang harus, supaya mereka tidak aneh-aneh. Masalah korupsi itu karena mental manusianya. Kalau sudah mental manusianya, mau dikasih 'gerbong' kayak apa saja, harta seperti apa saja, kalau mentalnya baik ya baik. Tapi, kalau mentalnya koruptor, ya kasih berapa saja tetap saja korupsi," katanya.

Karjono membeberkan, dulu boleh dikata, ada beberapa layanan Kemenkumham yang terbilang lambat. Ia mencontohkan, layanan jaminan fidusia. Dahulu, seminggu paling cepat, bahkan bisa sampai tiga bulan lebih. Sudah begitu, arsip menumpuk dimana-mana. Kalau tidak segera dilakukan penataan, celah korupsi menjadi sangat tinggi.

Menurutnya, dengan penataan sistem yang berbasis pada information technology (IT), fidusia yang sebelumnya bisa satu, dua minggu, bahkan lebih, sekarang tujuh menit pun sudah jadi dan bisa dicetak di tempat si pemohon. Nah, kalau kesejahteraan sudah ditingkatkan, tentu pelayanan juga harus dimaksimalkan. Apabila masih ada oknum yang mencoba bermain-main, perlu ada peningkatan risiko sanksi.

"Hakim pun, kasih tunjangan yang bagus. Kalau macam-macam, sikat! Kalau kesejahteraan terpenuhi, saya saya pikir mereka juga akan berpikir sekian kali kalau mau aneh-aneh. Sebab, konsekuensinya (lebih besar)," imbuhnya.

Karjono juga mengingatkan, untuk menentukan peningkatan kesejahteraan hakim, perlu ada perbandingan dengan negara-negara lain. Jika kesejahteraan hakim di Indonesia sudah jauh "melejit" dibanding negara lain, tidak perlu lagi ada peningkatan.

"Mari kita sama-sama mengabdi. Cuma tugasnya, tanggung jawabnya kan masing-masing. Makanya, sangat betul, saat tunjangan itu berdasarkan kinerjanya dan beban tugas kerjanya. Jadi, kalau memang dia tinggi ya tinggi betul. Jangan sampai nanti, yang katakanlah, Menterinya cuma segini (pendapatannya), Dirjen-nya segini. Artinya kok lebih banyak Dirjen-nya misalnya. Itu kan tidak bagus," ujarnya.

Di lain pihak, Suhadi sepakat bila harus ada konsekuensi yang lebih besar bagi para hakim yang melakukan pelanggaraan saat statusnya sebagai pejabat negara dan kesejahteraannya sudah terpenuhi. "Justru itu, kalau status sudah ditetapkan sebagai pejabat negara, maka konsekuensinya dia melakukan pelanggaran, dia akan dipecat," tuturnya.

Suhadi berpendapat, dengan pengukuhan status hakim sebagai pejabat negara, para hakim tentu akan lebih berhati-hati. Pasalnya, risiko dari pelanggaran yang dilakukan akan mengakibatkan hakim itu kehilangan segalanya, baik statusnya dia sebagai hakim, keluarga menanggung malu, maupun kehilangan karir karena mendapat sanksi pemecatan.

"Pasti anak dan istrinya akan berantakan. Jadi, ini sebagai pengikat yang betul-betul, super hati-hati bagi hakim. Kalau ini sudah, istilahnya pemerintah sudah memberikan yang terbaik (kepada hakim), tetapi (hakim masih melakukan pelanggaran) ada balasan dengan segala resiko sebagai pejabat negara. Harapan kita seperti itu," tandasnya.

Mengutip Laporan Tahunan MA 2016, pimpinan MA sebenarnya telah bertekad untuk meningkatkan pengawasan dan membasmi segala bentuk praktik-praktik yang melanggar kode etik. Sebab, sistem pengawasan yang baik adalah prasyarat penting dalam mendukung terwujudnya Visi Cetak Biru Pembaruan Peradilan.

Hukuman Disiplin Hakim Tahun 2016
No Jabatan Jenis Hukuman Jumlah Persentase
Berat Sedang Ringan
1 Hakim 15 13 43 71 47,33%
2 Hakim Ad Hoc - - 1 1 0,67%
3 Hakim Pajak - - 1 1 0,67%

Jumlah Jenis Penjatuhan Hukuman Disiplin Sidang MKH Tahun 2014-2016
No Jenis Hukuman Tahun Jumlah
2014 2015 2016
1 Diberhentikan tidak dengan hormat 3 1 - 4
2 Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri - - 2 2
3 Pemberhentian dengan hak pensiun 6 2 - 8
4 Non palu, dimutasikan dan diturunkan pangkat - - - 0
5 Non palu, dimutasikan dan ditunda kenaikan pangkat - - - 0
6 Non palu dan dimutasikan - - - 0
7 Non palu selama 3 bulan 1 - 1
8 Non palu selama 6 bulan 3 1 - 4
9 Non palu selama 13 bulan - 1 - 1
10 Non palu selama 2 tahun 1 - - 1
11 Teguran tertulis - - - 0
Jumlah 13 6 2 21
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait