Ini Ketentuan Hukum Bila Barang Lebaran yang Dipesan Secara Online Bermasalah
Melek Hukum Saat Berlebaran

Ini Ketentuan Hukum Bila Barang Lebaran yang Dipesan Secara Online Bermasalah

Untuk membeli lewat jalur online, dibutuhkan kejelian calon konsumen dalam mengenal penyedia barang/jasa.

Oleh:
M Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Kolase: RES
Ilustrasi. Kolase: RES
Perkembangan teknologi saat ini berpegaruh terhadap semua sektor, tak terkecuali perdagangan. Akses internet yang mudah menjadi salah satu cara bagi pedagang untuk menjajakan produknya melalui dunia maya. Perkembangan tren semacam ini lebih familiar dengan sebutan online shop.

Bukan tidak mungkin, cara belanja yang mudah ini membuat konsumen yang melek internet berbondong-bondong untuk mencobanya. Apalagi menjelang lebaran, di mana semua toko pasti dipenuhi oleh pedagang dan pembeli. Situasi seperti ini terkadang membuat orang lebih memilih belanja secara online.

Harus diakui, bagi sebagian orang belanja online adalah hal yang efisien dan hemat tenaga. Mereka dapat memesan semua produk yang diinginkan tanpa mengkhawatirkan jarak dengan si penjual. Akan tetapi perlu diketahui, belanja seperti ini cukup berisiko. Salah satu risikonya adalah barang yang dipesan ketika sampai ke tangan pembeli, ternyata berbeda dengan apa yang diiklankan.

Hal seperti itu pernah dialami oleh Ryry, salah seorang karyawati perusahaan swasta di Jakarta Selatan. Kepada hukumonline, Ryry menceritakan pengalamannya ketika barang yang dia pesan tidak sesuai dengan keinginan. Suatu ketika, Ryry memesan long dress untuk merayakan hari lebaran. Akan tetapi, setelah menunggu selama tiga hari ternyata bahan long dress yang diterimanya tidak sesuai dengan keterangan yang terpampang di situs online shop tersebut.

Ryry tidak complain dan mengaku tidak mau mempermasalahkan hal tersebut. Selain karena online shop itu merupakan milik temannya, long dress yang sudah dia terima ternyata disukai oleh tantenya. Ryry pun memberikan long dress itu kepada tantenya secara cuma-cuma. Sejak saat itu, Ryry tidak mau lagi membeli dress secara online kecuali dengan merek yang sudah diketahui kualitasnya.

“Kalau saya tidak tahu kualitasnya seperti apa, saya tidak mau beli lagi melalui online shop,” ujar Ryry. (Baca Juga: Begini Ketentuan Hukumnya Menjadi Reseller)

Kisah yang sama diutarakan oleh Ewin kepada hukumonline. Suatu ketika dirinya memesan secara online sebuah celana renang yang akan dipakainya untuk mengisi libur selama lebaran. Akan tetapi setelah barangnya datang, ternyata tdak sesuai dengan pesanan, yang mana celana renang yang dikirim penjual tidak ada talinya seperti yang diinginkan Ewin.

Berbeda dengan Ryry, Ewin langsung menghubungi penjual dengan cara mengirim SMS. Si penjual kemudian meminta barang yang sudah diterima Ewin dikembalikan untuk ditukar dengan barang baru sesuai pesanan. Meski sempat kecewa, Ewin mengaku puas dengan pelayanan online shop tersebut karena tetap mau bertanggungjawab.

“Semua uang yang saya keluarkan untuk mengembalikan barang diganti oleh penjual,” kata Ewin kepada hukumonline.

Pengalaman Ryry dan Ewin tentu bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat, terutama mereka yang cenderung memilih belanja online ketimbang belanja langsung dengan bertemu si penjual. Akan tetapi, mereka tetap perlu tahu apa saja hak-hak yang seharusnya mereka dapat ketika barang yang dipesan tidak sesuai dengan yang dipromosikan oleh si penjual.

Namun sebelumnya perlu diketahui, kemudahan belanja dengan cara online acapkali digunakan oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menjerat calon konsumen dengan modus penipuan. Bukan hanya persoalan salah kirim barang atau pesanan yang datang tidak sesuai dengan harapan, terkadang konsumen harus kehilangan uang yang terlanjur ditransfer tanpa ada kejelasan kapan produk yang diinginkan terkirim.

(Baca Juga: Mau Coba Bisnis Online? Perhatikan Dulu Hal-Hal Berikut Ini)

“Kewaspadaan diperlukan mengingat konsumen tidak bertatap langsung dengan dengan si penjual,” tulis peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, dalam majalah Warta Konsumen. Oleh karena itu, sambung Sularsi, sebelum memutuskan untuk membeli lewat jalur online, dibutuhkan kejelian calon konsumen dalam mengenal penyedia barang/jasa.  

Hukumonline.com

Rujukan Aturan Perundang-undangan
Setidaknya, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang bisa menjadi rujukan bagi Anda untuk melakukan upaya hukum bila merasa dirugikan oleh penjual online. 

Pertama, UU No.8 Tahun 1999tentang Perlindungan konsumen (UU PK). Pasal 4 poin (c) UU ini menegaskan, Konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sedangkan poin (h) menyatakan, Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.

Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha juga diatur di undang-undang ini sesuai Pasal 7 poin (b) dan (g) terkait kewajiban penjual. Pasal 7 poin (b) menyatakan, Pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

(Baca Juga: Ini Tantangan Hukum UKM Berbisnis E-Commerce)

Sedangkan poin (g) menyatakan, Pelaku usaha memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.

Apabila produsen atau pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya, pelaku usaha ini bisa dipidana berdasarkan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen. Pasal itu menyatakan, Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Kedua, pada tahun 2016 pemerintah telah mengeluarkan UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronok (ITE). Pasal 28 Ayat (1) menyatakan, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Kemudian dijelaskan juga tentang sanksinya dalam Pasal 45 A Ayat (1) UU ITE. Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Lalu, Pasal 49 ayat (3) PP No.82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) mengatur khusus bila barang yang dipesan dan diterima konsumen tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Pasal itu menyatakan, Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benarberkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan. 

Ketiga, peraturan tentang perlindungan konsumen terkait barang tidak sesuai dengan yang ditawarkan juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal yang mengatur masalah ini adalah Pasal 378 KUHP yang membahas tentang penipuan.

Pasal itu menyatakan, Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan oran lain untuk menyerahkan suatu benda kepadanya, ataupun supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Chairman and Founder Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Afriyadi, berpendapat jual beli secara online pada prinsipnya sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata.

“Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya,” kata Teguh.  

Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
Menurut Teguh, prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau trust terhadap penjual maupun pembeli.

Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan web site electronic commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, toko online, maupun blog).  

“Dengan kondisi demikian, ada baiknya konsumen lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online,” kata Teguh.
Tags:

Berita Terkait