Waspadai Makanan Kadaluwarsa Jelang Lebaran
Melek Hukum Saat Berlebaran

Waspadai Makanan Kadaluwarsa Jelang Lebaran

Jika konsumen terlanjur membeli produk yang sudah kadaluwarsa, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Apa saja?

Oleh:
Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi makanan. Foto: RES
Ilustrasi makanan. Foto: RES
Lebaran tiba, berbagai makanan hadir untuk melengkapi umat muslim merayakan hari kemenangan. Tetapi, tak semua pengangan makanan aman untuk dikonsumsi. Jika tak teliti membeli, maka bisa saja produk yang dibeli sudah melewati masa layak konsumsi atau kedaluarsa.

Banyaknya makanan kadaluarsa atau hampir habis masa layak konsumsi jelang lebaran membuat pemerintah turun ke lapangan melakukan inspeksi mendadak (sidak). Misalnya saja BPOM Surabaya yang melakukan sidak di beberapa pasar swalayan di Kota Malang beberapa waktu lalu. Hasil sidak menemukan bahwa beberapa makanan yang sudah kadaluarsa terpampang di rak swalayan. Dan hal yang sama juga dilakukan pemerintah daerah lainnya untuk memastikan produk yang beredar aman untuk dikonsumsi.

Kondisi ini tentu membahayakan bagi konsumen karena produk yang kadaluwarsa berisiko merugikan konsumen dari segi kesehatan. Sedangkan jika merujuk kepada UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dari produk yang dibeli.

Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Sujatno, mengatakan bahwa BPOM dan Kementerian Kesehatan adalah dua lembaga yang mengawasi peredaran makanan termasuk menyoal kadaluwarsa. Namun, ia menyayangkan sidak yang dilakukan oleh pemerintah hanya bertepatan pada hari-hari tertentu, misalnya jelang Lebaran dan Tahun Baru.

Padahal, lanjutnya, konsumsi makanan dilakukan oleh masyarakat sepanjang tahun. Sehingga sudah sepatutnya pemerintah melakukan pengawasan terhadap makanan secara regular sehingga tujuan perlindungan konsumen bisa terwujud.

“Masalahnya pemerintah acap kali latah, pengecekan makakan hanya dilakukan menjelang hari raya, natal atau tahun baru. Padahal setiap tahun konsumsi. Harusnya (pengawasan) dilakukan secara regular bukan hanya event tertentu. Kalau YLKI melihat, itu hanya sekedar proyek, proyek selesai ya sudah, itu bukan perlindungan konsumen,” ujarnya.

(Baca Juga: Ini Anjuran KPK Jika Parcel Lebaran Mudah Kadaluwarsa)

Terlepas dari tindakan pemerintah untuk melindungi konsumen dari makanan yang membahayakan kesehatan yang kerap hanya dilakukan setiap tahun jelang lebaran, yang paling penting untuk diketahui oleh konsumen adalah tindakan hukum apa yang bisa dilakukan jika ternyata sudah terlanjur membeli produk yang sudah kadaluwarsa. Berikut penjelasannya.

Langkah Hukum
Sudah selayaknya konsumen Indonesia menjadi konsumen yang cerdas. Selain teliti membeli produk-produk di pasaran, konsumen juga harus memahami hak sebagai pembeli suatu produk. Pasca krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 lalu, pemerintah telah mengambil tindakan melindungi konsumen dengan lahirnya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Meskipun harus diakui, kehadiran UUPK tak menjamin konsumen terlindungi sepenuhnya. Tetapi, UU PK memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menuntut jika merasa dirugikan atas produk yang sudah dibeli. Pasal 4 huruf a UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang yang dibeli. Menjual barang yang sudah kadaluwarsa, artinya melanggar hak konsumen seperti yang diatur dalam Pasal 4 huruf a UU Perlindungan Konsumen.

Jika konsumen merasa dirugikan atas suatu produk terutama mengenai kadaluwarsa, tindakan hukum dapat diambil. Namun sebelumnya, perlu dipahami bahwa ada dua penjelasan terkait kadaluwarsa. Pertama adalah barang tersebut sudah kadaluwarsa tetapi masih diperjualbelikan. Kedua, barang tersebut tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa.

Jika konsumen mengalami kejadian pada kasus yang pertama, yakni produsen menjual produk yang sudah kadaluwarsa dan tanggal kadaluwarsa jelas dicantumkan pada kemasan, maka produsen jelas melanggar Pasal 4 huruf a UU Perlindungan Konsumen.

Prosedur untuk melakukan langkah hukum yang dapat dilakukan diatur dalam Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen. (Baca Juga: Konsumen Cerdas Paham Regulasi, Berorientasi Produk dalam Negeri)
Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen:

(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Jika konsumen mengalami peristiwa pada kasus kedua di mana barang yang dibeli tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa, konsumen dapat menuntut produsen yang menjual produk. Berkaitan dengan kadaluwarsanya suatu barang, salah satu perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, khususnya terkait produksi dan perdagangan barang/jasa, menurut Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen, yaitu tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

Ancaman pidana bagi pelaku usaha yang melanggar larangan tersebut berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Selain ancaman pidana di atas, terhadap pelaku usaha dapat dijatuhkan hukuman tambahan seperti yang tercantum di dalam Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen.
Hukuman tambahan bagi produsen yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa sesuai Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen, yakni:

a.    perampasan barang tertentu;
b.    pengumuman keputusan hakim;
c.    pembayaran ganti rugi;
d.    perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.    kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.     pencabutan izin usaha.

Sebagai pelaku usaha, pemilik mini market dilarang untuk tidak mencatumkan tanggal kadaluwarsa pada barang yang dijualnya. (Baca Juga: BPKN: Jangan Langgar Hak Konsumen)

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, tetap mendahulukan penyelesaian secara damai oleh kedua belah pihak. Saat ini, Indonesia sudah memiliki Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia.

Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen.

Tetapi jika penyelesaian secara damai tidak mendapatkan kata sepakat, maka dapat membawa kasus kepada BPSK. Apabila masih tidak menemukan jalan keluar, maka konsumen dapat menuntut pemilik mini market sebagai pelaku usaha secara pidana, melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk dapat diproses melalui jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen (Pasal 48 UU Perlindungan Konsumen).

Selain itu, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan sesui Pasal 7 huruf f UU Perlindungan Konsumen.

Salah satu contoh kasus dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Bangil No. 747/Pid.B/2010/PN.Bgl. Terdakwa diajukan ke persidangan karena menjual barang berupa makanan ringan atau kue yang lewat masa kadaluwarsanya. Terdakwa dengan sengaja menghapus tanggal kadaluwarsa barang dagangannya, karena terdakwa tahu bahwa barang-barang tersebut telah kadaluwarsa.

Setelah mendengarkan keterangan saksi dan didukung oleh bukti-bukti di persidangan, hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa unsur memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa dengan tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik telah terpenuhi.

(Baca: Ini Ketentuan Hukum Bila Barang yang Dipesan Secara Online Bermasalah)

Majelis Hakim memutus bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur-unsur dalam Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menjual barang kadaluarsa” dan dijatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.

Namun, apakah ada perkara kadaluwarsa yang diselesaikan melalui BPSK dan bukan pidana? Berdasarkan penjelasan dari Anggota BPSK DKI Jakarta, Anam Sinaga, sejauh ini BPSK belum pernah menerima laporan terkait makanan kadaluwarsa. Biasanya, kata Anam, kasus makanan kadaluwarsa banyak yang bermuara ke pidana.

“Setahu saya belum ada yang masuk BPSK, kalaupun ada soal makanan tetapi bukan kadaluwarsa, tetapi makanan tercemar dan merugikan konsumen. Kasus makanan kadaluwarsa banyak di ranah pidana, bukan perdata,” katanya kepada hukumonline, Selasa (20/6).

Aturan Pencantuman Kadaluwarsa
Dikutip dari rubrik klinik di Hukumonline, pencantuman batas kedaluwarsa ini diatur khusus dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk. 03.1.23.06.10.5166 Tahun 2010 tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas Kedaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan (“Peraturan BPOM”).

Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan BPOM diatur bahwa obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan harus mencantumkan batas kedaluwarsa pada penandaan/label. Pencantuman batas kedaluwarsa itu harus dicantumkan dengan jelas sehingga mudah dilihat dan dibaca dengan mencantumkan bulan dan tahun. Selain itu, batas kedaluwarsa pangan, yang memiliki masa simpan kurang dari 3 (tiga) bulan, ditulis dengan mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun.

Pada dasarnya semua pelaku usaha, baik yang memproduksi maupun yang memperdagangkan tidak boleh memproduksi atau menjual barang yang tidak ada tanggal kedaluwarsanya. Namun, siapa yang diwajibkan mencantumkan label/tanggal kedaluwarsa pada barang dan/atau jasa yang diperdagangkannya? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) No.69 Tahun 1999tentang Label Dan Iklan Pangan.
Pihak yang wajib mencantumkan label/tanggal kadaluarsa menurut Pasal 2 PP 69 Tahun 1999:

(1).    Setiap orang yang memproduksi atau menghasilkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.

(2).    Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.

Sesuai Pasal 3 PP 69/1999, label tersebut berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia;
e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.

Berdasarkan pengaturan di atas, maka jelas bahwa yang berkewajiban mencantumkan tanggal kedaluwarsa adalah produsen dari makanan tersebut. Selain itu, dalam Pasal 9 PP 69/1999 juga secara implisit mengatur kewajiban bagi importir untuk mencantumkan label yang memenuhi ketentuan peraturan ini.

Adapun bunyi Pasal 9 PP 69/1999 adalah “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan, dilarang mencantumkan Label yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.”

Bagaimana jika produsen melanggar aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah tersebut? Dalam ketentuan PP 69/1999, pelanggaran yang dilakukan oleh produsen terhadap ketentuan PP 69/1999 dapat dikenakan tindakan administratif. Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 61 PP 69/1999.
Tags:

Berita Terkait