Akan Ada Ketentuan Redefinisi Hutan dalam RUU Perkelapasawitan
Berita

Akan Ada Ketentuan Redefinisi Hutan dalam RUU Perkelapasawitan

Perlu ada pengaturan yang tegas dalam RUU Perkelapasawitan mengenai definisi hutan untuk menghindari polemik yang bekepanjangan antara para pemangku kepentingan dalam industri minyak sawit.

Oleh:
DAN
Bacaan 2 Menit
Diskusi APINDO. FOto: DAN
Diskusi APINDO. FOto: DAN
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017. Artinya pembahsan terhadap RUU ini akan sebgera dikebut agar bisa diselesaikan sebelum tahun 2017 berakhir. Keputusan Parlemen Uni Eropa yang berencana melarang Crude Palm Oil (CPO) Indonesia masuk ke pasar Eropa menjadi salah satu pemicu perbaikan tata kelola indsutri minyak sawit di tanah air.

“Ini kan masih banyak masyarakat yang masih belum paham bahwa perkebunan kelapa sawit itu bukan lokasi hutan,” terang Anggota DPR dari Komisi IV, Firman Subagyo,kepada hukumonline di sela-sela diskusi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Rabu (21/6), di Jakarta.

Menurut Firman, kampanye hitam terhadap industri perkelapasawitan Indonesia diakibatkan oleh ketidakpahaman Non Government Organization (NGO) asing terhadap status perkebunan sawit di Indonesia. “Karena semua perkebunan kelapa sawit itu sudah dilepas dari kawasan hutan, tapi NGO asing kan mengatakan ini termasuk kawasan hutan,”kata Firman.

Oleh karena itu, dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan perlu adanya ketentuan yang mengatur secara jelas tentang posisi perkebunan sawit yang bukan merupakan kawasan hutan. “Jadi harus ada perubahan dalam RUU itu bahwa perkebunan kelapa sawit nanti bukan kawasan hutan,” ujar Firman.(Baca Juga: Giliran Serikat Pekerja Kelapa Sawit Tolak Pembahasan RUU Perkelapasawitan)

Oleh karena status perkebunan sawit yang bukan merupakan hutan, Firman menilai wacana yang berkembang mengenai deforestasi tidaklah relefan. Sehingga perlu didudukkan secara benar maksud isu deforestasi yang ramai di kalangan penggiat lingkungan dengan keberadaan perkebunan kelapa sawit.

“Terkait kekhawatiran deforestasi, saya katakan, perkebunan sawit itu bukan hutan, bagaimana bisa dikantakan deforestasi?,”terang Firman dengan nada bertanya.

Firman menilai perlu ada pengaturan yang tegas dalam RUU Perkelapasawitan mengenai definisi hutan ini agar menghindari terjadinya polemik yang bekepanjangan antara para pemangku kepentingan dalam industri minyak sawit. Sehingga dengan begitu menurutnya, Negara hadir di tengah-tengah polemik tersebut untuk memberikan kepastian hukum kepada sema pihak.

“Kita harus bisa menjawab atau harus bisa memberikan suatu kepastian hukum terhadap semua stakeholder, baik petani, pengusaha, dan juga tenaga kerja,” ujarnya.(Baca Juga: 7 Catatan Kritis Aktivis Lingkungan Terhadap RUU Perkelapasawitan)

Terkait keberadaan masyarakat adat yang sering terkena dampak dari aktifitas pembukaan hutan, Firman menuturkan letak persoalannya berada pada UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “Dulu masyarakat adat itu kan memiliki lahan yang dia tinggal di sanah seumur hidup. Itu yang selalu kita perhatikan. Nah dengan adanya UU 41/1999, itu diklaim lagi menjadi kawasan hutan. Itu yang sampai sekarang gak selesai.”

Firman berpendapat, untuk mengatasi banyaknya persoalan dalam tata kelola industri minyak sawit diperlukan cetak biru dan pemetaan yang jelas. Target Pemerintah dalam perluasan sawit berapa banyak? Apabila telah memenuhi target maka tidak perlu lagi dilakukannya ekspansi lahan sawit dan diganti dengan peningkatan produksi dalam negeri melalui intensifikasi, pun sebaliknya.

“Bagaimana caranya? Dibikin regulasinya, perusahaan harus ada kompensasi dengan membayar kepada Negara, atau kepada petani kita putihkan secara gratis. Tetapi kalau sudah maksimal sesuai rencana Pemerintah, tidak boleh lagi ada perluasan. Jadi ada kepastian,” papar Firman.(Baca juga: Bolehkah Orang Asing Melakukan Usaha Perkebunan Sawit?)

Selain itu, Firman juga menyebutkan dalam RUU Perkelapasawitan akan diatur prinsip petanggungjawaban yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar pemenuhan hak dan tanggung jawab perusahaan terhadap negara dapat berjalan secara seimbang. Firman menyoal praktik penilaian clearing yang sering disalahgunakan oleh pelaku usaha yang baru memulai usaha di bidang sawit.

“Contohnya penilaian cealring, itu memanfaatkan masyarakat yang tidak paham hukum untuk membakar, lalu kemudian dia yang memanfaatkan lahan itu. Itu gak boleh,” tegas Firman.

Berikut Firman menuturkan RUU Perkelapasawitan yang mengadopsi sejumlah Pasal dari UU Perkebunan. Menurut Firman, UU Perkebunan yang telah ada saat ini mengatur 127 komoditi sehingga tidak mampu secara rijid mengatur khusus masing-masing komoditi. Ia menyebutkan nantinya UU Perkelapasawitan merupakan UU Khusus dari UU perkebunan yang telah ada.

“Karena lex specialis, perbedaannya adalah ini mengatur hulu sampai hilirnya, sampai kepada tenaga kerjanya, dan juga mengenai status hutan,” pungkas Firman.

Di tempat yang sama, Ketua Kebijakan Publik APINDO, Danang Girindrawardana memaparkan hasil riset yang dilakukan APINDO terkait pengimplementasian sejumlah aturan seperti Permen LHK, Permen Pertanian, dan Peraturan Komisi Indonesia Sustainabilty Palm Oil (ISPO) oleh perusahaan perkebunan sawit di tanah air.

Riset itu untuk mengetahui Apakah peraturan Mentri LHK, permen pertanian, dan Peaturan Komisi ISPO, itu di implementasikan atau tidak oleh perusahaan pekebunan. Jadi desain riset itu sendiri terhadap implementasi kebijakan.

Rekomendasi Kebijakan yang dihasilakan dari riset tersebut salah satunya juga adalah pendefinisian ulang terhadap deforestasi. Menurut Danang, Istilah deforestasi seharusnya tidak belaku bagi kawasan hutan yang sudah dilepaskan. “Hal ini dikarenakan, untuk merealisasikan investasi, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain dengan penebangan pohon,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait