Resiko Hukum Jika Tak Mau Minta Maaf ke Orang Tua Saat Lebaran
Melek Hukum Saat Berlebaran

Resiko Hukum Jika Tak Mau Minta Maaf ke Orang Tua Saat Lebaran

BW menyebut apa yang bisa dilakukan orang tua jika kesal atas sikap dan perilaku anak.

Oleh:
Hasyry Agustin/MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Setiap hari raya keagamaan, terutama Idul Fitri, dipakai masyarakat Indonesia untuk bersalam-salaman, bermaaf-maafan. Jutaan orang pulang ke kampung dari tempat perantauan untuk bertemu dengan anggota keluarga lain. Salah satu yang mendorong orang selalu pulang saat lebaran adalah ingin meminta maaf kepada orang tua (ayah dan ibu) yang masih ada.

Meminta maaf kepada orang tua seharusnya tak hanya dilakukan saat hari besar keagamaan. Setiap melakukan kesalahan, seharusnya anak langsung meminta maaf. Agama manapun menganjurkan anak menghormati orang tuanya. Ada banyak kisah dalam setiap agama, bahkan budaya masyarakat Indonesia, yang mengajarkan bagaimana harus menghormati orang tua dan meminta maaf jika melakukan kesalahan.

Sebenarnya, perundang-undangan Indonesia juga menganut pandangan yang senada. Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (terakhir diubah dengan UU No. 17 Tahun 2016), menyebutkan setiap anak berkewajiban untuk (a) menghormati orang tua, wali, dan guru; (b) mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; (c) mencintai tanah air, bangsa, dan negara; (d) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan (e) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Sebaliknya, Pasal 26 Undang-Undang yang sama mengatur bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

(Baca juga: Kewajiban Seorang Ayah Terhadap Anak)

Kaidah agama, kaidah hukum, dan kaidah sosial lainnya mendorong hubungan yang harmonis antara anak-anak dengan orang tua dalam satu keluarga. Tetapi hubungan anak dan orang tua tak selamanya harmonis. Buktinya ada beberapa kasus dimana anak menggugat orang tuanya ke pengadilan. Bahkan ada yang tega mengusir orang tuanya dari rumah.

(Baca juga: Kewajiban Anak Memelihara Orang Tua Setelah Dewasa)

Pasal 298 BW (KUH Perdata) menyebutkan ‘tiap-tiap anak, dalam usia berapapun, wajib menaruh hormat dan segan terhadap bapak ibunya”. Sebaliknya, orang tua wajib memelihara dan mendidik anaknya hingga dewasa. Pasal 299 menegaskan juga selama dalam perkawinan ayah-ibu, si anak tetap dalam kekuasaan mereka, sepanjang mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun memuat aturan hubungan itu. Pasal 45-46 UU Perkawinan mengatur empat poin dalam hubungan orang tua dan anak. Pertama, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kedua, kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak berlaku sampai anak mereka kawin atau dapat berdiri sendiri. Dan penting diingat, kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan ayah dan ibu putus.

Ketiga, anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik. Keempat, jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. (Baca juga: Hak Orang Tua Atas Warisan Anaknya yang Sudah Berkeluarga)

Jika hubungan orang tua dan anak memburuk, BW dan UU Perkawinan lebih menekankan pada pencabutan kekuasaan orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka. Kekuasaan orang tua bisa dicabut, dan pemeliharaan anak diberikan kepada wali atau negara. Pasal 49 UU Perkawinan menyebutkan dua syarat yang berpotensi menyebabkan pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anak, yaitu: (i) orang tua melalaikan kewajiban terhadap anak; atau (ii) orang tua berkelakuan buruk sekali.

(Baca juga: Kewajiban Anak Memelihara Orang Tua Setelah Dewasa)

Bagaimana kalau dibalik? Anak berkali-kali melakukan kesalahan terhadap orang tua, melakukan kejahatan di luar rumah yang merepotkan ayah ibunya dan membuat orang tua kesal? Anggota keluarga sudah menasehati agar si anak meminta maaf pada saat lebaran, tapi si anak enggan melakukan. Kalau menggunakan kaidah agama si anak mungkin disebut anak durhaka. Pertanyaannya, adakah resiko dari sisi kaidah hukumnya? Bolehkah orang tua tersebut memutus hubungannya dengan anak?

Pasal 302 BW menyebutkan kemungkinan ayah-ibu memiliki alasan yang sungguh-sungguh untuk merasa tak puas karena kelakuan anaknya. Dalam kondisi semacam ini, menurut Pasal 302, yang bisa orang tua lakukan adalah meminta pengadilan menetapkan agar anak mereka ditampung dalam waktu tertentu di penampungan tertentu. Syaratnya, jika anak belum berusia 14 tahun, penampungan hanya boleh maksimal 6 bulan. Kalau lewat 14 tahun dan belum dewasa, paling lama penampungannya satu tahun. Dan, pengadilan harus mendengar versi si anak!

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gemala Dewi, mengatakan keluarga sangat dimuliakan dalam pandangan agama, khususnya Islam. Karena itu menjaga silaturrahim dengan anggota keluarga sangat penting, apalagi antara anak dengan orang tua. Kalaupun anak membuat kejahatan di luar sehingga membuat orang tua kesal, bukan berarti orang tua bisa lepas tangan. Orang tualah yang seharusnya mengambil peran untuk mengarahkan anaknya ke jalan yang benar.

Demikian pula sebaliknya, jika kesal dengan orang tua seharusnya anak tak memutus silaturahmi. Tak ada namanya mantan anak, atau mantan ibu dan mantan ayah. Anak adalah titipan atau amanah Tuhan melalui orang tuanya. Kalaupun anak tak bersedia minta maaf saat lebaran, tidak lantas bisa memutus haknya untuk mewarisi. Kalau sekadar tidak minta maaf, hak anak mewarisi dari orang tuanya tak bisa dihapus.

Dengan merujuk pada Pasal 838 BW, seorang ahli waris (anak) bisa menjadi tidak pantas menjadi ahli waris dan tak mendapatkan warisan dari orang tuanya, jika terjadi perbuatan yang bernuansa pidana. Pertama, si anak dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal (orang tuanya sebagai pewaris).

Kedua, anak memfitnah orang tuanya telah melakukan kejahatan yang diancam lima tahun atau lebih, dengan syarat anak itu telah dihukum berdasarkan putusan hakim.

Ketiga, anak menghalangi orang tuanya sebagai pewaris dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya. Dalam hal ini, anak memaksa orang tuanya membuat suatu wasiat tertentu atau menarik kembali wasiat yang telah dibuat.

Keempat, anak menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat yang telah dibuat orang tuanya sebagai pewaris. (Baca juga: Adakah Cara Agar Ahli Waris Tidak Mendapatkan Warisan?)

Jadi, menurut Anda, adakah resiko hukum jika tak minta maaf kepada orang tua?
Tags:

Berita Terkait