Ini Poin Revisi PP Biaya Operasi Usaha Hulu Migas
Berita

Ini Poin Revisi PP Biaya Operasi Usaha Hulu Migas

Mulai dari kewajiban kontraktor membawa modal dan teknologi hingga penetapan besaran dan pembagian First Tranche Petroleum (FTP).

Oleh:
Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Ini Poin Revisi PP Biaya Operasi Usaha Hulu Migas
Hukumonline
Pada pertengahan Juni lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Sebagaimana dilansir dari laman resmi setkab.go.id, revisi dilakukan dalam rangka meningkatkan penemuan cadangan minyak dan gas bumi nasional dan menggerakkan iklim investasi serta memberikan kepastian hukum pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

Salah satu poin revisi adalah, kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko dalam rangka pelaksanaan operasi perminyakan berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KKS) pada suatu wilayah kerja. Selain itu, seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola SKK Migas.

Poin lainnya terkait dengan peningkatan produksi dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan produksi, mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjamin adanya penerimaan negara, dalam PP disebutkan bahwa menteri menetapkan besaran dan pembagian First Tranche Petroleum (FTP).

(Baca: ESDM Kaji Aturan Investasi Deep Water)

Sedangkan dalam mendorong pengembangan wilayah kerja, menteri dapat menetapkan bentuk dan besaran insentif kegiatan usaha hulu. “Terhadap Insentif Kegiatan Usaha Hulu berupa Imbalan DMO Holiday, Menteri dapat menetapkan insentif tersebut setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan,” bunyi Pasal 10 ayat (3) PP ini.

Pada ayat berikutnya, dalam rangka membantuk ekonomi kegiatan usaha hulu, menteri keuangan memberikan insentif perpajakan dan insentif penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, PP juga menyebutkan, bahwa menteri dapat menetapkan besaran bagi hasil yang dinamis (sliding scale split) pada KKS.

PP ini juga menyebutkan, biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan Operasi Perminyakan di Wilayah Kerja Kontraktor yang bersangkutan di Indonesia.

Kedua, menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa. Ketiga, pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktik bisnis dan keteknikan yang baik. Keempat, kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran yang telah mendapatkan persetujuan Kepala SKK Migas.

(Baca: ESDM Yakin Skema Gross Split Efisienkan Bisnis Migas)

PP ini juga mengatur mengenai jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan. Antara lain meliputi biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang Participating Interest, dan pemegang saham.

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama SKK Migas dan Kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia, serta harta yang dihibahkan.

Sedangkan fasilitas perpajakan yang diberikan kepada Kontraktor pada tahap eksplorasi dalam rangka operasi perminyakan, terdiri atas pembebasan pungutan bea masuk atas impor barang yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan. Serta, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut.

Untuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut atas perolehan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu, impor Barang Kena Pajak tertentu, pemanfaatan Barang Kena pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan.

Pada tahap eksploitasi, termasuk kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dalam rangka operasi perminyakan, kontraktor dapat diberikan sejumlah fasilitas.

(Baca: Sejumlah Masukan Guspenmigas Terkait Industri Penunjang Migas di Indonesia)

Pertama, pembebasan pungutan bea masuk atas impor barang yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan. Kedua, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut atas perolehan barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu, impor barang kena pajak tertentu, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang digunakan dalam rangka operasi perminyakan.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II ayat (2) PP Nomor 27 Tahun 2017, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 19 Juni 2017 itu.
Tags:

Berita Terkait